Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi orang tua mendampingi anak dalam mengakses internet menggunakan tablet (pexels.com/Alex Green)
ilustrasi orang tua mendampingi anak dalam mengakses internet menggunakan tablet (pexels.com/Alex Green)

Intinya sih...

  • Meutya Hafid, Menteri Komunikasi dan Digital di Kabinet Merah Putih, dinyatakan memiliki kinerja terbaik dalam Rapor 100 Hari Pertama.
  • Revisi UU ITE mengatur perlindungan anak di ruang digital, termasuk batasan usia minimum pengguna dan pelaporan penyalahgunaan produk atau layanan yang melanggar hak anak.
  • Negara lain seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Australia telah menerapkan regulasi perlindungan anak di dunia maya yang menjadi contoh bagi Indonesia.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Tepat pada 28 Januari 2025, 100 hari pertama masa kerja kepemimpinan Presiden Prabowo bersama para menteri Kabinet Merah Putih telah berhasil dilalui. Berbagai arahan, catatan, capaian, dan gebrakan tentu menjadi perhatian masyarakat yang menantikan hasil kerja mereka selama ini. Center of Economic and Law Studies (CELIOS) merilis Rapor 100 Hari Pertama Kabinet Merah Putih di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran pada 21 Januari 2025. Dalam laporan evaluasinya, CELIOS menetapkan lima menteri yang berhasil meraih rapor hijau. Salah satu nama yang muncul adalah Meutya Hafid, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) sebagai menteri dengan kinerja terbaik.

Masih segar dalam ingatan bahwa Meutya Hafid pernah menggagas wacana untuk mewujudkan internet ramah anak. Wacana ini ia sampaikan sejak awal pelantikannya sebagai Menkomdigi RI. Meutya ingin memastikan anak-anak Indonesia dapat terlindungi dari bahaya digitalisasi yang semakin meluas.

Jika Kemkomdigi berhasil merealisasikan inisiatif ini, hal tersebut akan menjadi senyum termanis bagi anak-anak. Internet yang sering menjadi ladang ranjau berpotensi menjadi ancaman serius yang dapat merusak moral, mental, dan masa depan generasi muda, khususnya dalam menyongsong visi Indonesia Emas 2045. Sebagai bagian dari generasi muda, ada lima inspirasi penting yang perlu diwujudkan untuk mendukung terciptanya internet ramah anak. Mari cermati bersama.

1. Indonesia perlu payung hukum terkait perlindungan bagi anak di ruang digital

ilustrasi menonton konten digital melalui tablet (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Jika kamu mencermati revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disahkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024, ada perhatian khusus terkait perlindungan anak di ruang digital. Pasal 16A mengatur bahwa Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) wajib melindungi anak-anak yang menggunakan atau mengakses sistem elektronik. Perlindungan ini mencakup informasi tentang batasan usia minimum pengguna, mekanisme verifikasi pengguna anak, serta pelaporan penyalahgunaan produk, layanan, atau fitur yang melanggar hak anak.

Kehadiran Kementerian baru yang memiliki fokus pada aspek digital diharapkan dapat memperkuat upaya perlindungan anak di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo. Tentu saja, ini dimaksudkan guna menghindarkan anak-anak dari eksploitasi, penyalahgunaan data, dan konten tidak layak di dunia maya. Pemerintah diharapkan merumuskan kebijakan yang lebih tegas dan implementatif termasuk penguatan regulasi, pengawasan terhadap PSE, serta edukasi literasi digital kepada masyarakat. Regulasi yang hadir baik dalam bentuk produk undang-undang, peraturan pemerintah, atau peraturan menteri, seharusnya mampu meredam kekhawatiran sekaligus memberikan perlindungan konkret bagi anak-anak di dunia digital. Beberapa negara telah menjadi contoh dalam menerapkan perlindungan ini.

Di Amerika Serikat, terdapat Child Online Privacy Protection Act (COPPA) dan Child Internet Protection Act (CIPA). COPPA yang disahkan pada 1998 telah mengatur cara pengumpulan data oleh operator situs untuk anak-anak di bawah usia 13 tahun. Pada 2023, aturan ini diperbarui menjadi Children and Teens Online Privacy Act yang diajukan di Kongres AS. Jika disetujui, aturan baru ini akan meningkatkan batas usia perlindungan anak dari 13 tahun menjadi 16 tahun, serta melarang operator situs menargetkan iklan kepada anak-anak dan remaja.

Di Asia, Korea Selatan telah menerapkan perlindungan serupa melalui Undang-Undang Perlindungan Informasi Pribadi (Personal Information Protection Act). Regulasi ini menyediakan layanan penghapusan informasi pribadi bagi anak-anak di bawah usia 19 tahun sehingga memberikan mereka kendali lebih besar atas data pribadi mereka. Sementara itu, Australia baru-baru ini juga mengesahkan undang-undang yang melarang anak-anak di bawah usia 16 tahun menggunakan media sosial. Menurut laporan Reuters, aturan ini merupakan salah satu regulasi paling ketat di dunia terhadap perusahaan teknologi besar (Big Tech). Undang-undang ini juga menjadi acuan bagi negara lain yang sedang mempertimbangkan kebijakan serupa dengan tujuan melindungi kesehatan mental anak-anak yang dianggap rentan terhadap dampak negatif media sosial. Melihat langkah-langkah progresif yang telah diambil oleh Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Australia, muncul pertanyaan soal kapan Indonesia akan memiliki aturan serupa untuk menata internet yang ramah anak?

2. Anak-anak menjadi kelompok paling rentan terhadap dampak buruk internet

ilustrasi anak sedang depresi (pexels.com/Pixabay)

Internet berhasil membuka akses ke dunia tanpa batas, tempat di mana informasi, komunikasi, dan peluang tersedia bisa ditelusuri hanya melalui sentuhan jari. Tak pelak, baik muda maupun tua, termasuk anak-anak, dapat dengan mudah memasuki ruang maya ini. Namun, tanpa perlindungan memadai, risiko kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain menjadi sangat nyata. Konten di ruang maya sering kali membawa dampak negatif. Pencurian data, pemerasan daring, kekerasan berbasis gender online (KBGO), perundungan digital, hingga judi online menjadi ancaman nyata akibat lemahnya batasan dalam dunia digital.

Anak-anak menjadi kelompok paling rentan yang menelan dampak buruk ini. Data dari National Center for Missing & Exploited Children (NCMEC) mencatat 5.566.015 kasus konten pornografi anak di Indonesia dalam empat tahun terakhir. Ancaman ini sering tersebar melalui media sosial, aplikasi pesan instan, dan situs web yang sulit diawasi. Riset "Tren Digital pada Anak" dari Indonesia Indicator juga mencatat bahwa pada semester pertama 2024 (Januari--Juli), unggahan kekerasan digital terhadap anak di media sosial mencapai 24.876 dengan tanggapan warganet mencapai 3.004.014. Kekerasan ini tidak hanya berupa eksploitasi seksual, tetapi juga perundungan digital, pelecehan verbal, hingga ancaman fisik yang bermula dari interaksi online.

Kamu juga perlu memahami bahwa kekerasan anak di dunia maya tidak hanya sebatas eksploitasi seksual, tetapi juga mencakup perundungan digital, pelecehan verbal, hingga ancaman fisik yang bermula dari interaksi online. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya literasi digital, baik dari anak-anak maupun orang tua mereka. Anak-anak yang rentan sering kali menjadi korban. Sementara pelaku memanfaatkan teknologi untuk berlindung di balik anonimitas. Oleh karena itu, perlu ada langkah serius untuk membenahi regulasi, memperkuat pengawasan platform digital, dan meningkatkan literasi digital masyarakat. Langkah ini harus melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, penyedia platform digital, serta lembaga pendidikan dan masyarakat umum.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) perlu berkolaborasi untuk menciptakan ruang digital yang aman, ramah anak, dan edukatif. Langkah ini penting agar risiko paparan konten berbahaya dapat diminimalisasi dan anak-anak dapat menggunakan internet secara positif dan produktif.

3. Pemerataan koneksi internet di wilayah 3T

Peta Pulau Kalimantan (commons.wikimedia.org/Gunkarta)

Pemerataan koneksi internet di wilayah 3T (tertinggal, terluar, dan terdepan) menjadi langkah penting untuk memastikan semua anak di Indonesia memiliki akses yang setara, tanpa terkecuali. Banyak daerah terpencil masih minim atau bahkan sama sekali tidak memiliki akses internet. Kondisi ini membuat anak-anak di wilayah tersebut tertinggal dalam pendidikan dan pengembangan diri di era digital. Mereka kehilangan peluang besar untuk memanfaatkan internet sebagai sumber belajar, informasi, dan pengembangan potensi diri.

Untuk mewujudkan internet ramah anak yang inklusif, pemerataan akses internet harus menjadi prioritas utama. Pemerintah, penyedia layanan internet, dan masyarakat perlu bekerja sama memperluas dan memperbaiki infrastruktur di daerah yang membutuhkan. Selain itu, pelatihan dan pendampingan bagi masyarakat setempat sangat penting agar teknologi yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimal.

Tanpa pemerataan koneksi internet, anak-anak di wilayah 3T akan tetap terisolasi dan tertinggal dari perkembangan dunia digital. Langkah ini bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang memberikan peluang yang adil bagi setiap anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai potensi mereka.

4. Kesehatan mental anak juga perlu menjadi perhatian

ilustrasi pengawasan orang tua saat anak mengakses internet (pexels.com/Julia M Cameron)

Kesehatan mental anak harus menjadi perhatian utama saat mewujudkan ruang maya yang aman dan ramah. Dunia digital memang menawarkan banyak manfaat, tetapi juga membawa risiko yang dapat memengaruhi psikologi anak. Masalah-masalah yang muncul seperti konten yang tidak pantas, perundungan daring, dan tekanan sosial di media sosial berpotensi memicu gangguan mental seperti kecemasan, depresi, atau rasa rendah diri. Anak-anak yang sering terpapar informasi negatif atau kekerasan daring mungkin merasa terisolasi dan tidak dihargai.

Membenahi ruang maya yang sehat memerlukan pembatasan paparan terhadap konten berbahaya dan memastikan perlindungan yang memadai bagi anak. Edukasi tentang menjaga kesehatan mental di dunia digital juga menjadi langkah penting. Anak perlu memahami cara menghindari tekanan di ruang maya dan menjaga keseimbangan antara aktivitas digital dan kehidupan nyata.

Orang tua, sekolah, dan lembaga terkait memegang peran penting dalam memberikan pendampingan. Program edukasi digital dapat membantu anak memahami dampak perilaku dan interaksi online terhadap kesehatan mental mereka. Keamanan dan kenyamanan di dunia maya harus menjadi prioritas agar anak-anak tumbuh sehat secara fisik dan mental.

Anak-anak menginginkan pengalaman positif di dunia digital, tempat mereka bisa belajar, berkreasi, dan bersenang-senang. Tanpa pengawasan yang tepat, ruang maya bisa menjadi tempat yang membingungkan dan berbahaya. Oleh karena itu, penting memastikan anak dapat menggunakan internet secara produktif dan aman. Berbekal pendekatan bijak, internet bisa menjadi alat luar biasa untuk mendukung perkembangan anak sekaligus memberi mereka ruang aman untuk berinteraksi dan berekspresi.

5. Orang tua perlu dilibatkan dalam penciptaan ruang digital yang aman

ilustrasi orang tua sebagai madrasah pertama anak dalam mengenalkan internet (pexels.com/Monstera Production)

Orang tua memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan perkembangan anak, termasuk mengenalkan mereka pada dunia digital. Sebagai madrasah pertama, orang tua bertanggung jawab memberikan pemahaman dasar tentang cara anak berinteraksi lewat internet secara aman dan bijak. Orang tua yang aktif mendampingi anak saat menggunakan teknologi dapat mencegah mereka terpapar konten negatif yang merusak perkembangan mereka.

Orang tua perlu terus belajar tentang dunia digital dan memahami alat serta fitur yang melindungi anak dari ancaman di dunia maya. Mereka juga harus mengawasi dan membatasi penggunaan internet di rumah, menjadi teladan dalam penggunaan teknologi, serta mengajarkan etika digital. Aturan jelas mengenai waktu dan jenis aktivitas online harus diterapkan untuk melahirkan ruang digital yang aman bagi anak. Penciptaan internet ramah anak bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan penyedia layanan teknologi, tetapi juga keluarga sebagai fondasi utama tumbuh kembang anak. Anak yang terlindungi dalam dunia digital akan tumbuh di lingkungan yang mendukung perkembangan positif mereka.

Internet ramah anak merupakan gagasan yang bukan hanya sekadar impian atau angan-angan. Bila gagasan tersebut benar-benar diejawantahkan dalam kebijakan yang konkret dan terintegrasi, tentu saja anak-anak tidak ditakuti lagi oleh bayang-bayang bahaya seperti perundungan daring, eksploitasi, atau paparan konten negatif. Sebagai generasi muda, ruang digital sudah sepatutnya menjadi tempat yang aman dan mendukung perkembangan kreativitas serta pembelajaran.

Masa depan anak-anak adalah tanggung jawab bersama. Mereka berhak menjelajahi dunia maya dengan aman tanpa rasa khawatir atau ancaman dari konten berbahaya. Konten berkualitas sejatinya merupakan dambaan agar sumber daya manusia Indonesia bisa selangkah lebih maju dalam menghadapi tantangan global.

Pastinya kita tidak mau bila Pemerintah ingin menyongsong Indonesia Emas, tetapi masih ada rasa cemas yang membuat orang tua jadi lemas. Semoga upaya menggagas internet ramah anak segera membuahkan hasil yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat, terutama anak-anak yang menjadi harapan bangsa.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team