Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi suasana brainstorming para developers menggunakan otomatisasi AI (freepik.com/pressfoto)

Intinya sih...

  • 50 persen seluruh pekerjaan white collar tingkat entry-level bisa lenyap dalam lima tahun ke depanGelombang otomatisasi yang didorong oleh kecerdasan buatan kini menjadi ancaman nyata bagi pekerjaan tingkat entry-level (pemula).

  • AI benar-benar menguji pekerja senior dan menyingkirkan pekerja juniorTekanan terbesar dari adopsi AI saat ini justru dirasakan oleh dua kelompok dalam dunia kerja yaitu mereka yang baru memulai dan mereka yang telah lama berkecimpung di dalamnya.

  • Apakah AI lebih berbahaya bagi pekerja muda atau justru veteran berpenghasilan tinggi yang sulit beradaptasi?Ketika CEO Amazon, Andy Jassy, menyatakan bahwa penggunaan

Ketakutan akan hilangnya pekerjaan karena kecerdasan buatan (AI) ternyata bukan lagi sekadar wacana. Di era ini, kekhawatiran terbesar tak hanya berkutat pada etika atau keamanan teknologi, tetapi juga pada nasib dan mimpi para pekerja muda. Perlahan tapi pasti, AI mulai mengambil alih tugas-tugas rutin dan operasional, yang selama ini menjadi ajang belajar bagi para pekerja baru. Akibatnya, posisi entry level yang selama ini menjadi pintu gerbang bagi lulusan baru diprediksi bisa lenyap dalam lima tahun ke depan.

Benar, kamu tidak salah baca. PHK massal yang terjadi di perusahaan besar seperti Amazon dan Microsoft menjadi bukti nyata bahwa efisiensi tenaga kerja kini dipicu oleh kehadiran AI. Teknologi ini bukan lagi sekedar pelengkap, melainkan berperan sebagai katalis utama dalam pengurangan jumlah karyawan. Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin ke depannya banyak orang akan mulai ragu untuk masuk ke dunia kerja. Apakah pengalaman kerja dan pendidikan tinggi yang dimilikinya masih bisa menjamin perlindungan di masa depan kelak?

Faktanya, tidak ada yang bisa menjamin umur panjang di dunia kerja. Apalagi jika AI terus menggantikan manusia dalam tugas-tugas yang sifatnya administratif. Temuan dari NotebookCheck menunjukkan bahwa AI mulai “menyingkirkan” para pekerja muda, sekaligus menguji ketangguhan para pekerja yang sudah berpengalaman. Di tengah semangat meraih pekerjaan pertama, para lulusan baru justru harus menelan pil pahit yaitu posisi entry-level pun kini tak lagi aman. Lantas, apa yang harus dilakukan? Hanya diam dan meratapi nasib atau mulai bersiap menghadapi dunia kerja yang baru?

1. 50 persen seluruh pekerjaan white collar tingkat entry-level bisa lenyap dalam lima tahun ke depan

Illustrasi freelancer membawa cv. (vista.com/Igor Vetushko)

Gelombang otomatisasi yang didorong oleh kecerdasan buatan kini menjadi ancaman nyata bagi pekerjaan tingkat entry-level (pemula). Menurut prediksi Dario Amodei, CEO perusahaan AI Anthropic, separuh dari seluruh pekerjaan white-collar di tingkat pemula bisa lenyap dalam lima tahun ke depan sebagaimana dihimpun NotebookCheck. Penyebab utamanya adalah kemampuan AI dalam mengerjakan tugas-tugas rutin yang selama ini ditangani oleh karyawan pemula, mulai dari entri data, penjadwalan, penanganan tiket layanan pelanggan, hingga coding dasar. Fungsi-fungsi yang dulunya menjadi gerbang awal untuk membangun karier dan mengumpulkan pengalaman, kini mulai tergantikan oleh sistem otomatis yang bekerja lebih cepat, biaya lebih murah, dan terus bergerak tanpa jeda.

Sejumlah ahli menyebut bahwa pekerja pemula menjadi kelompok paling rentan. Tugas mereka yang tergolong sederhana justru paling mudah diotomatisasi. Dario Amodei bahkan memperingatkan bahwa teknologi AI dapat “menggerus” hingga setengah dari seluruh posisi pemula dalam pekerjaan white-collar dalam lima tahun ke depan. Kekhawatiran ini kian menguat seiring meningkatnya angka pengangguran di kalangan lulusan baru, meskipun belum dapat dipastikan bahwa AI menjadi penyebab langsungnya.

Fenomena ini bukan hanya akan mengguncang pasar kerja, tetapi juga mengubah arah masa depan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja. Jika posisi entry-level semakin langka, maka lulusan baru akan menghadapi krisis pertama mereka bahkan sebelum mereka menunjukkan potensi terbaik yang dimilikinya. Tanpa akses untuk menyicip karier dari posisi entry-level, bagaimana mereka bisa berkembang dan melangkah ke jenjang berikutnya? Apakah sistem pendidikan dan kurikulum saat ini masih relevan jika dunia kerja tak lagi membuka ruang bagi pemula? Jika prediksi ini terbukti benar, maka dunia harus bersiap menghadapi realitas baru dimana masa depan di mana pengalaman pertama diperoleh bukan dari tempat kerja, melainkan dari kecerdasan buatan yang sekaligus menjadi pengajar dan pengganti tugas manusia.

Meski prediksi ini berangkat dari konteks global, Indonesia bukan berarti aman. Di sektor-sektor yang telah terdigitalisasi, seperti layanan pelanggan, perbankan digital, dan startup teknologi, gejala serupa mulai tampak. Beberapa perusahaan mulai mengurangi perekrutan entry-level untuk posisi yang bisa digantikan oleh chatbot, sistem otomatis, atau AI generatif. Meskipun laju perubahannya lebih lambat dibanding negara maju, Indonesia tetap harus mewaspadai potensi hilangnya tangga awal bagi lulusan baru yang ingin memasuki dunia kerja.

2. AI benar-benar menguji pekerja senior dan menyingkirkan pekerja junior

ilustrasi pekerja senior dipecat dari tempat kerja (freepik.com/gpointstudio)

Tekanan terbesar dari adopsi AI saat ini justru dirasakan oleh dua kelompok dalam dunia kerja yaitu mereka yang baru memulai dan mereka yang telah lama berkecimpung di dalamnya. Pekerja pemula menghadapi risiko tinggi karena tugas-tugas mereka dianggap paling mudah untuk diotomatisasi. Pekerjaan dasar yang dulunya menjadi tangga awal pembelajaran kini bisa diselesaikan oleh AI dalam hitungan detik. Para lulusan baru pun tidak hanya bersaing dengan sesama manusia, tetapi juga teknologi yang tidak pernah lelah, tidak menuntut upah, dan terus-menerus dilatih. Bagi perusahaan, efisiensi ini sangat menggoda. Namun, bagi pekerja pemula, ini justru menjadi penghalang besar dalam membangun fondasi karier.

Data awal di lapangan turut memperkuat tekanan tersebut. Berdasarkan catatan ADP, jumlah pekerja dengan masa kerja di bawah dua tahun dalam bidang komputasi turun sekitar 25 persen sejak mencapai puncaknya pada 2023. Pekerjaan di sektor layanan pelanggan menunjukkan pola penurunan serupa. Bahkan, ketika Italia sempat memberlakukan larangan sementara terhadap ChatGPT, hasilnya menunjukkan bahwa programmer pemula memang menyelesaikan tugas sedikit lebih cepat. Namun, yang lebih mencolok, justru pengembang tingkat menengah (mid-level developer) berhasil memanfaatkan AI untuk mengawasi rekan kerja dan menangani tugas lintas bahasa pemrograman sehingga meningkatkan value mereka di mata perusahaan.

Sementara itu, para pekerja senior pun tidak bisa merasa aman. Mereka kini dihadapkan pada tuntutan untuk membuktikan relevansi dan kemampuan beradaptasi di tengah perubahan teknologi yang masif. AI bukan lagi sekadar alat bantu untuk pekerjaan sederhana, melainkan sudah mampu menyusun klausul hukum, menulis kode produksi, bahkan menganalisis data kompleks. Tugas -tugas ini dulu hanya dapat dilakukan oleh tenaga ahli berpengalaman. Mereka yang terlalu nyaman dengan alur kerja lama sangat rentan tergilas jika enggan belajar. Adaptabilitas menjadi kunci untuk bertahan di era ini. AI pun tidak memandang senioritas, yang dihitung hanyalah efisiensi dan hasil akhir. Maka, siapa pun yang tidak mampu mengikuti dinamika perubahan ini, baik yang muda maupun yang berpengalaman sama-sama berisiko tersingkir.

3. Apakah AI lebih berbahaya bagi pekerja muda atau justru veteran berpenghasilan tinggi yang sulit beradaptasi?

Ilustrasi seorang pimpinan sedang membaca dokumen hukum dari tim legal (freepik.com/pch.vector)

Ketika CEO Amazon, Andy Jassy, menyatakan bahwa penggunaan kecerdasan buatan di perusahaannya akan “mengurangi jumlah total tenaga kerja” dalam beberapa tahun ke depan, kekhawatiran para pekerja pun semakin menjadi nyata. Pernyataan tersebut seolah mengonfirmasi ketakutan banyak orang bahwa AI benar-benar akan menggantikan peran manusia. Tak lama berselang, pada awal Juli 2025, Microsoft juga mengumumkan pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 9.000 karyawan, atau sekitar 4 persen dari total tenaga kerjanya. Dua kabar besar ini menjadi sinyal kuat bahwa ancaman AI terhadap dunia kerja bukan lagi sekadar wacana, melainkan kenyataan yang sedang berlangsung di depan mata. Namun, yang kini menjadi pertanyaan penting adalah siapa sebenarnya yang paling terdampak oleh gelombang otomatisasi ini?

Sebagian ahli teknologi menilai bahwa pekerja pemula adalah kelompok paling rentan. Alasannya cukup jelas yaitu tugas mereka cenderung rutin dan mudah diotomatisasi oleh mesin. Namun, pandangan berbeda datang dari kalangan dalam industri AI itu sendiri. Brad Lightcap, COO OpenAI, justru berpendapat bahwa pekerja senior yang sudah terbiasa dengan rutinitas lama lebih berisiko. Menurutnya, kelompok ini cenderung sulit beradaptasi dengan pola kerja baru yang didorong oleh kecerdasan buatan dan bisa menjadi hambatan dalam proses transformasi teknologi.

Ancaman terhadap pekerja berpengalaman memang tidak bisa dianggap remeh. Saat ini, sistem AI sudah mampu menyusun dokumen hukum dan menulis kode produksi. Firma hukum yang telah menerapkan AI bahkan melaporkan bahwa mereka hanya membutuhkan separuh jumlah pengacara kontrak dibanding sebelumnya. Di sisi lain, perusahaan teknologi besar mulai memangkas jumlah manajer dan insinyur senior sembari terus berinvestasi besar-besaran dalam otomatisasi.

Pertanyaan tentang siapa yang paling rentan bukanlah sekadar perdebatan teoritis, karena jawabannya akan berdampak besar pada struktur sosial dan ekonomi. Jika yang paling terancam adalah pekerja pemula, maka sistem pendidikan tinggi perlu ditinjau kembali, termasuk relevansi gelar sarjana dalam dunia kerja modern. Namun, jika justru pekerja senior yang lebih terdampak, maka gelombang PHK massal bisa terjadi di kalangan tenaga kerja mapan. Bukan hanya berpengaruh pada ekonomi keluarga, tetapi juga berpotensi memicu ketidakstabilan sosial dan politik. David Furlonger dari Gartner menekankan bahwa skenario ini harus menjadi perhatian serius dalam perumusan kebijakan ketenagakerjaan ke depan.

4. Dampak sosial ekonomi akibat otomatisasi AI

ilustrasi pekerja tech sedang menggarap coding (unsplash.com/charlesdeluvio)

Pergeseran besar akibat otomatisasi AI tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga mengguncang struktur sosial dan ekonomi secara luas. Hilangnya posisi entry level dan mid-level menciptakan kekosongan dalam struktur piramida kerja. Perusahaan cenderung hanya merekrut sedikit pekerja junior yang didukung AI, serta segelintir manajer senior sebagai pengawas. Akibatnya, jumlah karyawan secara keseluruhan menyusut. Artinya, semakin sedikit orang menerima gaji tetap, membayar pajak, dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.

Ketika struktur tenaga kerja bergeser seperti ini, peran pekerja tingkat menengah terancam punah. Hal ini memperkecil basis pembayar pajak dan meningkatkan tekanan terhadap program dukungan sosial seperti tunjangan pengangguran. Beberapa negara mulai mengambil langkah antisipatif yakni merancang kebijakan pelatihan ulang (reskilling) bagi tenaga kerja terdampak agar manfaat produktivitas AI tidak hanya dinikmati oleh elite korporat.

Lebih jauh, penurunan lapangan kerja dapat memperbesar beban negara dalam bentuk jaminan sosial. Kelas menengah berpotensi menyusut, ketimpangan ekonomi melebar, dan stabilitas sosial ikut terganggu. Oleh karena itu, pemerintah dituntut untuk segera menghadirkan strategi transisi menuju ekonomi digital yang inklusif, memastikan tak ada kelompok masyarakat yang tertinggal. Tanpa intervensi kebijakan yang tepat, AI memang menjanjikan efisiensi, tetapi juga berisiko menciptakan dunia yang semakin timpang secara sosial.

Dampaknya mungkin belum terasa secara masif di Indonesia, tetapi bibit-bibit ketimpangan digital mulai tumbuh. Jika otomatisasi hanya menguntungkan segelintir pelaku ekonomi besar, maka ketimpangan dan pengangguran struktural bisa jadi ancaman nyata. Pemerintah telah memulai langkah dengan mendorong digitalisasi UMKM dan program pelatihan keterampilan, namun implementasinya perlu diperluas dan dipercepat. Tanpa intervensi kebijakan yang tepat, AI bisa menjadi alat efisiensi ekonomi sekaligus sumber ketimpangan sosial yang baru.

Ketika AI mulai mendominasi ruang kerja, tekanan ganda pun dirasakan oleh para pekerja muda. Bukan hanya semakin sulit menembus pasar kerja, tetapi kesempatan untuk belajar dari pengalaman nyata di industri pun kian menyempit. Cepat atau lambat, dunia kerja akan berubah mengikuti arus otomatisasi yang tak terbendung. Tanpa strategi adaptasi yang cermat dan kesiapan mental yang kuat, generasi muda berisiko menjadi korban pertama dari revolusi AI yang tengah berlangsung.

Di Indonesia, tantangan ini menjadi semakin kompleks karena masih terbatasnya akses terhadap pelatihan berbasis teknologi, ketimpangan digital antarwilayah, dan lambatnya integrasi AI dalam sistem pendidikan formal. Jika tidak diantisipasi sejak sekarang, potensi bonus demografi justru bisa berubah menjadi beban sosial baru. Maka, bukan hanya teknologi yang harus dikejar, tetapi juga kebijakan, kurikulum, dan kesiapan mental generasi muda yang harus segera dikuatkan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team