Ketakutan akan hilangnya pekerjaan karena kecerdasan buatan (AI) ternyata bukan lagi sekadar wacana. Di era ini, kekhawatiran terbesar tak hanya berkutat pada etika atau keamanan teknologi, tetapi juga pada nasib dan mimpi para pekerja muda. Perlahan tapi pasti, AI mulai mengambil alih tugas-tugas rutin dan operasional, yang selama ini menjadi ajang belajar bagi para pekerja baru. Akibatnya, posisi entry level yang selama ini menjadi pintu gerbang bagi lulusan baru diprediksi bisa lenyap dalam lima tahun ke depan.
Benar, kamu tidak salah baca. PHK massal yang terjadi di perusahaan besar seperti Amazon dan Microsoft menjadi bukti nyata bahwa efisiensi tenaga kerja kini dipicu oleh kehadiran AI. Teknologi ini bukan lagi sekedar pelengkap, melainkan berperan sebagai katalis utama dalam pengurangan jumlah karyawan. Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin ke depannya banyak orang akan mulai ragu untuk masuk ke dunia kerja. Apakah pengalaman kerja dan pendidikan tinggi yang dimilikinya masih bisa menjamin perlindungan di masa depan kelak?
Faktanya, tidak ada yang bisa menjamin umur panjang di dunia kerja. Apalagi jika AI terus menggantikan manusia dalam tugas-tugas yang sifatnya administratif. Temuan dari NotebookCheck menunjukkan bahwa AI mulai “menyingkirkan” para pekerja muda, sekaligus menguji ketangguhan para pekerja yang sudah berpengalaman. Di tengah semangat meraih pekerjaan pertama, para lulusan baru justru harus menelan pil pahit yaitu posisi entry-level pun kini tak lagi aman. Lantas, apa yang harus dilakukan? Hanya diam dan meratapi nasib atau mulai bersiap menghadapi dunia kerja yang baru?