Keberadaan kecerdasan buatan (AI) kini semakin mempermudah aktivitas manusia. Tidak lagi diperlukan upaya besar untuk mencari informasi secara manual seperti di masa lalu. Cukup mengetikkan pertanyaan singkat, berbagai data, analisis, hingga rekomendasi dapat muncul dalam hitungan detik. Teknologi ini menjadikan proses berpikir dan bekerja jauh lebih efisien, terutama dalam dunia pendidikan, bisnis, maupun penelitian.
Meski begitu, kemudahan ini juga membawa risiko baru. Saat pengguna terlalu bergantung pada AI tanpa memverifikasi kebenaran informasi yang diberikan, risiko menerima data keliru atau hasil “halusinasi” dari sistem menjadi semakin tinggi. Halusinasi AI merujuk pada kondisi ketika sistem menghasilkan jawaban yang salah, tidak relevan, atau bahkan sepenuhnya fiktif. Fenomena ini menarik perhatian para peneliti karena menunjukkan adanya kesenjangan antara kemampuan AI memahami konteks dan realitas data yang sesungguhnya.
Menariknya, sebuah studi oleh Fulei Zhang dan Zhou Yu (2025) yang dipublikasikan di arXiv.org menemukan bahwa penyebab halusinasi AI tidak sepenuhnya bersumber dari algoritma atau model yang digunakan. Cara pengguna menulis prompt atau bentuk kalimat tanya ternyata ikut memengaruhi secara signifikan munculnya respons keliru. Artinya, pengguna sendiri secara tidak sadar dapat menjadi pemicu halusinasi AI. Lantas, apa sebenarnya temuan penelitian ini dan bagaimana peran manusia dalam memengaruhi cara AI berpikir?
