Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
PXL_20250924_043028308.jpg
Prof. Dr. Ir. Esther Irawati Setiawan, Google Developer Expert & IDCamp 2025 Curriculum Designer (IDN Times/Misrohatun)

Intinya sih...

  • Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia (Kemkomdigi) menyusun Buku Putih Peta Jalan Kecerdasan Artifisial Nasional dan Konsep Pedoman Etika Kecerdasan Artifisial.

  • Prof. Dr. Ir. Esther Irawati Setiawan, Google Developer Expert & IDCamp 2025 Curriculum Designer, menjelaskan pentingnya pembicaraan AI dalam bidang pendidikan.

  • Mahasiswa dapat menggunakan AI untuk brainstorming, riset, dan penyusunan skripsi dengan catatan etika penggunaannya tetap dijaga.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia (Kemkomdigi) telah menyusun Buku Putih Peta Jalan Kecerdasan Artifisial Nasional dan Konsep Pedoman Etika Kecerdasan Artifisial.

Dari pembahasan dengan pemerintah, Prof. Dr. Ir. Esther Irawati Setiawan, Google Developer Expert & IDCamp 2025 Curriculum Designer, menjelaskan bahwa pembicaraannya melingkupi semua bidang, terutama di bidang pendidikan, di Jakarta, pada Rabu (24/09/2025).

Membentuk mahasiswa yang beretika

Kampus menjadi tombak untuk edukasi. Dia mengarahkan supaya akal imitasi (artificial intelligence/AI) digunakan dengan maksimal di berbagai sektor, agar mahasiswa bisa bertanggung jawab dan beretika dalam penggunaannya.

"Misalkan kampus-kampus sekarang kan juga harus memberi batasan, tugas mana yang boleh dengan AI, tugas mana yang tidak boleh. Ujian mana yang boleh dengan AI, ujian mana yang tidak boleh. Jadi kita semua udah ngatur bersama," ujar Prof. Esther.

Pemanfaatan AI

Ilustrasi robot kecerdasan buatan (unsplash/Xu Haiwei)

Lebih dalam dijelaskan, ketika mahasiswa menggunakan AI untuk brainstorming atau berdiskusi soal ide, itu tidak menjadi masalah. Misalnya, punya ide tapi merasa ada yang kurang, maka AI bisa membantu melengkapinya. Namun, ide awal dan pemikiran dasarnya tetap harus datang dari mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa juga harus memiliki kemampuan critical thinking dan problem solving agar tugas akhirnya bermanfaat.

Research question atau rumusan masalah tetap harus lahir dari diri mahasiswa. AI bisa digunakan untuk memperdalam riset, misalnya mencari tahu kondisi di Indonesia maupun di luar negeri, serta apa saja yang sudah dilakukan terkait masalah yang diangkat, baik di sektor lain maupun tempat lain.

"Itu sah-sah saja, tetapi pemikiran utamanya harus berasal dari mahasiswa," kata Prof. Esther lebih dalam.

Dalam penyusunan skripsi, AI juga boleh dipakai untuk hal-hal teknis seperti memperbaiki grammar atau tata bahasa. Apalagi sekarang, sudah ada opsi tugas akhir berbasis proyek. Mahasiswa bisa memanfaatkan AI dalam magang atau proyek tertentu, kemudian membuat laporan dari sana.

Hal itu justru bernilai tinggi. Jadi ke depan, tugas akhir bisa lebih project-based, dengan catatan etika penggunaannya tetap dijaga.

Fokus pada etika

Menurut Prof. Esther aturan penggunaan AI sebaiknya berfokus pada etika. Penggunaan AI yang wajar adalah ketika model AI tersebut:

  • Memberikan manfaat untuk semua pihak secara adil (fairness), tidak menguntungkan satu pihak saja, dan tidak bias.

  • Bisa diaplikasikan secara luas, tidak hanya relevan untuk Jakarta atau kota besar, tetapi juga bisa dijalankan di daerah dengan sumber daya yang lebih terbatas.

  • Tetap memberi kredit. Dalam penyusunan skripsi atau karya ilmiah, mahasiswa harus menyebutkan dengan jujur di bagian mana AI digunakan, misalnya untuk riset, memperbaiki rumusan masalah, mencari referensi, atau fact-finding.

"Yang paling berbahaya adalah ketika seseorang mengakui sesuatu yang dibuat AI seolah-olah murni hasil pemikirannya. Karena itu, edukasi tentang penggunaan AI secara jujur sangat penting," katanya.

Editorial Team