ilustrasi jurnalis (pexels.com/hermaion)
Perubahan besar-besaran yang dibawa AI ke ruang redaksi memunculkan pertanyaan krusial tentang kepercayaan publik. Publik cenderung skeptis dan waspada, terutama ketika mereka tahu sebuah konten dibuat oleh AI. Sebuah studi menunjukkan bahwa banyak orang khawatir berita yang dihasilkan AI mungkin mengandung misinformasi dan tidak dapat dipercaya. Ini adalah tantangan serius bagi industri jurnalisme yang kredibilitasnya sangat bergantung pada kepercayaan.
Untuk mengatasi hal ini, transparansi menjadi kunci utama. Pavlik menekankan pentingnya kejujuran tentang bagaimana dan kapan AI digunakan dalam proses pembuatan berita. Solusi konkretnya termasuk penggunaan watermark digital pada konten visual yang dibuat AI, serta pelabelan yang jelas pada artikel. Dengan begitu, pembaca dapat membuat penilaian sendiri dan membedakan antara konten yang sepenuhnya buatan manusia dan yang dibantu oleh AI.
Di tengah upaya menjaga kepercayaan, muncul pula fenomena disintermediasi yang menjadi ancaman. Situs seperti News by AI yang sepenuhnya dibuat oleh AI tanpa pengawasan manusia menjadi contoh nyata. Konten yang dihasilkan terlihat asli, lengkap dengan foto-foto palsu, seperti foto LeBron James yang tampak nyata padahal buatan AI.
Situasi ini mengaburkan batas antara berita asli dan berita palsu, membuat publik semakin sulit membedakan mana yang kredibel. Oleh karena itu, bagi jurnalis, mempertahankan standar etika dan transparansi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan untuk memastikan keberlanjutan jurnalisme yang berkualitas di era disrupsi ini.
Jelas bahwa AI telah mengubah lanskap jurnalisme secara mendalam, dari cara berita diproduksi hingga bagaimana publik mengonsumsinya. Tantangan dan peluang yang dihadapi media global kini juga akan dirasakan oleh media di Indonesia.
Maka, muncul pertanyaan reflektif yang penting untuk masa depan jurnalisme di Indonesia, apakah AI akan menjadi asisten terpercaya yang memperkuat profesi jurnalis dan membantu kita menemukan kebenaran, atau justru menjadi ancaman eksistensial yang mengikis kepercayaan publik dan mengaburkan batas antara fakta dan fiksi?