Ancaman dan Risiko dari Maraknya RT/RW Net Ilegal

- Praktik RT/RW Net ilegal di Indonesia merugikan perusahaan telekomunikasi, memicu kebijakan batas pemakaian wajar (FUP) kepada konsumen.
- APJII membuat satuan tugas untuk menertibkan praktik ini, dengan ancaman sanksi pidana hingga 10 tahun penjara atau denda hingga Rp1,5 miliar.
- Penggunaan RT/RW Net ilegal dapat berdampak negatif pada stabilitas internet, kecepatan yang tidak optimal, dan ganggu bisnis operator.
Praktik RT/RW Net ilegal di Indonesia dianggap merugikan perusahaan telekomunikasi, utamanya bagi mereka yang menyediakan internet rumahan atau fiber to the home (FTTH).
Sejumlah pelaku industri telah menemukan tren pemakaian lalu lintas internet yang tidak wajar di sejumlah lokasi yang diduga merupakan hasil praktik RT/RW Net ilegal. Hasil penelusuran diduga menjadi pemicu perusahan menerapkan kebijakan batas pemakaian wajar atau fair usage policy (FUP) kepada konsumen.
Hal ini menjadi pembahasan dalam Seluler Business Forum "Darurat RT/RW Net, Tanggung Jawab Siapa?" di Jakarta, pada Selasa (09/10/2024).
Jenis-jenis yang ditemukan APJII
Zulfadly Syam, Sekretaris Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengatakan bahwa praktik ini sebenarnya dibutuhkan untuk pemerataan jaringan internet.
"Tetapi yang mengkhawatirkan ini yang tidak berizin alias ilegal," kata dia.
Mereka menemukan ada puluhan ribu RT/RW Net ilegal yang beroperasi dan mengidentifikasi empat jenis, di antaranya:
- Mazhab reseller yang benar.
- Mazhab kreatifitas.
- Mazhab Robin Hood.
- Mazhab pencuri.
Rencana pembentukan satgas

APJII akan membuat satuan tugas (satgas) untuk menertibkan praktik ini, yang di dalamnya diisi oleh pihak Kominfo dan Aparat Penegak Hukum (APH).
Mereka akan bertugas memberikan edukasi kepada APH soal tanda-tanda yang menjalankan bisnis RT/RW Net ilegal serta melakukan penindakan terhadap oknum.
Saat ini pembentukan satgas masih dalam tahap pembicaraan antara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), APJII dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (ATSI).
Jumlah oknum menurun
Pada 2022, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menangani 118 oknum yang menggelar RT/RW Net ilegal, di mana 89 di antaranya terbukti melakukan pelanggaran dan telah ditertibkan, sementara 139 pelaku tidak terbukti. Di tahun berikutnya, ada penurunan dengan jumlah total 195 pelaku usaha, di mana 77 terbukti melanggar dan 118 tidak terbukti.
"Penanganan praktik ilegal RT/RW Net dari tahun ke tahun mengalami penurunan," imbuh Direktur Pengendalian Pos dan Informatika, Ditjen PPI, Kementerian Kominfo, Dany Suwardany.
Sementara untuk 2024, ada 111 pelaku usaha dengan 51 terbukti melakukan pelanggaran dan telah ditertibkan dan 60 yang tidak terbukti.
Ancaman pidana dan denda

Penyelenggara RT/RW Net ilegal bisa terkena sanksi pidana hingga 10 tahun penjara atau denda hingga Rp1,5 miliar. Tidak sampai di sana, akses mereka juga diputus dan berlanjut ke penyitaan.
"Kita sosialisasikan ketentuan aturan mainnya bagaimana menjalankan reseller sesuai dengan Peraturan Menteri Kominfo 13 Tahun 2019, dan juga kita sosialisasikan kepada calon mitranya untuk menjadi reseller ISP," kata Dany.
Kominfo bersama APJII mengedukasi para penyelenggara mengajukan izin sebagai reseller resmi untuk menjual kembali layanan telekomunikasi melalui perjanjian kerjasama dengan penyedia layanan internet.
“Minimal di perjanjian kerja sama antara ISP dengan pelanggan mencantumkan bahwa dilarang menjual kembali layanan bandwidth atau akses internet tanpa izin, karena ada ancaman di situ," terang Dany.
Sosialisasi juga menyasar para penyelenggara internet ISP untuk mengawasi para pelanggan, termasuk mematuhi perizinan dan tidak menjual kembali bandwidth internet yang ilegal.
Efek buruknya
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Heru Sutadi mengungkap bahwa ada efek buruk penggunaan RT/RW Net ilegal, seperti:
- Internet tidak stabil.
- Rentan gangguan di musim hujan.
- Kecepatan internet tidak optimal.
- Negara merugi.
- Ganggu bisnis operator.
- Keamanan siber.
"Meski menawarkan harga yang murah, hak-hak konsumen tidak terpenuhi oleh pelaku bisnis. Seharusnya mereka memberikan layanan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, bagaimana memberikan perlindungan data konsumen saat adanya complain. Kecepatannya juga harus sesuai kualitas layanan," imbuh Heru.
Harga internet jadi beban

Padahal menurut pengamat telekomunikasi ITB, Ridwan Effendi menjelaskan bahwa potensi penetrasi internet masih tinggi. Misalnya saja pada 2018-2020, yang meraup banyak pengguna. Meski pada 2023-2024 persentasenya hanya sedikit, namuan belum semua masyarakat terkoneksi internet.
"Bukan hanya internet yang menjadi kebutuhan masyarakat, tapi juga rendahnya kemampuan mereka untuk membayar internet," ujarnya.
Masyarakat kita hanya sanggup membayar antara Rp10 ribu sampai Rp50 ribu. Menurutnya, sebagian besar masyarakat belum tahu berapa banyak yang harus mereka prioritaskan untuk internet.
Banyak juga masyarakat, baik konsumen maupun penyelenggara RT/RW Net, tidak mengetahui bahwa bisnis tersebut ilegal atau melanggar hukum.
"Banyak yang tidak sadar terkait hak dan kewajiban. Jadi, hak-hak dia mendapatkan layanan yang baik dari penyelenggara jasa itu belum sepenuhnya diperlukan, terima saja. Kalau ada internet Alhamdulillah, tapi enggak ada Astaghfirullah," lanjut Ridwan.
Keterbatasan di atas ini, serta penyedia jasa internet yang belum masuk ke semua daerah di Tanah Air membuat masyarakat menggunakan RT/RW Net ilegal.