Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Studi: Menulis Esai Gunakan ChatGPT sebabkan Hutang Kognitif

ilustrasi kecerdasan buatan (unsplash.com/@cgower)
ilustrasi kecerdasan buatan (unsplash.com/@cgower)
Intinya sih...
  • Penggunaan ChatGPT untuk menulis esai menyebabkan "hutang kognitif" dan penurunan keterampilan belajar.
  • Studi MIT menemukan bahwa aktivitas kognitif peserta yang menggunakan AI jauh lebih rendah dibandingkan dengan kelompok lain.
  • Pendidik dapat memanfaatkan AI dalam tugas-tugas yang sebelumnya tidak mungkin, tetapi tetap memerlukan keterlibatan yang signifikan.

Pernah gak kamu bertanya-tanya, ChatGPT ini sebenarnya membantu atau malah bikin kita jadi malas mikir? Di satu sisi, teknologi ini bisa jadi alat bantu luar biasa. Kita bisa belajar lebih cepat, dapat jawaban instan, dan bahkan bikin tulisan lebih rapi. Meski begitu di sisi lain muncul kekhawatiran besar soal dampaknya ke kemampuan berpikir kita sendiri. Apakah ini benar-benar membantu, atau justru membuat kita terlalu bergantung?

Perdebatan soal pemanfaatan ChatGPT dalam kehidupan sehari-hari makin ramai, terutama di dunia pendidikan. Beberapa orang melihatnya sebagai terobosan dalam pembelajaran yang lebih personal. Studi terbaru justru mengungkap sisi gelapnya: penggunaan AI seperti ChatGPT untuk menulis esai ternyata bisa menyebabkan “hutang kognitif". Ia membuat otak kita jadi gak berkembang karena terlalu sering dibantu. Alih-alih belajar, kita justru kehilangan kesempatan untuk melatih keterampilan berpikir kritis dan kreatif yang esensial.

Tamuan studi

Selama empat bulan, tim Institut Teknologi Massachusetts (MIT) meminta 54 orang dewasa untuk menulis serangkaian tiga esai menggunakan AI (ChatGPT), mesin pencariatau otak mereka sendiri (kelompok hanya otak). Tim mengukur aktivitas kognitif dengan menganalisis aktivitas listrik di otak dan melalui analisis linguistik esai-esai tersebut, mengutip situs The Conversation.

Aktivitas kognitif mereka yang menggunakan AI jauh lebih rendah dibandingkan dua kelompok lainnya. Kelompok ini juga kesulitan mengingat kutipan dari esai mereka dan memiliki rasa keterikatan yang lebih rendah.

Menariknya, peserta berganti peran untuk esai keempat dan terakhir (kelompok hanya otak menggunakan AI dan sebaliknya). Kelompok AI-ke-otak berkinerja lebih buruk dan memiliki keterlibatan yang hanya sedikit lebih baik daripada kelompok lain selama sesi pertama mereka, jauh di bawah keterlibatan kelompok hanya otak pada sesi ketiga.

Para penulis mengklaim bahwa hal ini menunjukkan bagaimana penggunaan AI dalam jangka waktu lama menyebabkan peserta menumpuk hutang kognitif. Ketika mereka akhirnya memiliki kesempatan untuk menggunakan otaknya, mereka tidak dapat mereplikasi keterlibatan atau berkinerja sebaik dua kelompok lainnya.

Para penulis mencatat bahwa hanya 18 peserta (enam per kelompok) yang menyelesaikan sesi keempat dan terakhir. Oleh karena itu, studi yang diterbitkan di jurnal Arxiv ini masih bersifat awal dan memerlukan pengujian lebih lanjut.

AI membuat bodoh?

gambar sinergi antara otak dan kecerdasan buatan (unsplash.com/@eclipticgraphic)
gambar sinergi antara otak dan kecerdasan buatan (unsplash.com/@eclipticgraphic)

Hasil ini tidak secara otomatis mengartikan bahwa siswa yang menggunakan AI menumpuk hutang kognitif. Temuan ini disebabkan oleh desain khusus dari studi tersebut.

Perubahan konektivitas saraf pada kelompok yang hanya menggunakan otak selama tiga sesi pertama kemungkinan disebabkan oleh semakin terbiasanya mereka dengan tugas penelitian, fenomena yang dikenal sebagai efek familiarisasi. Seiring peserta penelitian mengulangi tugas tersebut, mereka menjadi lebih terbiasa dan efisien dan strategi kognitif mereka beradaptasi sesuai dengan itu.

Ketika kelompok AI akhirnya menggunakan otak, mereka hanya melakukan tugas tersebut sekali. Akibatnya, mereka tidak dapat menandingi pengalaman kelompok lain. Peserta hanya mencapai tingkat keterlibatan yang sedikit lebih baik daripada kelompok otak saja pada sesi pertama.

Untuk sepenuhnya membenarkan klaim para peneliti, peserta AI-ke-otak juga perlu menyelesaikan tiga sesi menulis tanpa AI.

Demikian pula, fakta bahwa kelompok otak-ke-AI menggunakan ChatGPT secara lebih produktif dan strategis, kemungkinan disebabkan oleh sifat tugas menulis keempat yang mengharuskan menulis esai tentang salah satu dari tiga topik sebelumnya.

Karena menulis tanpa AI memerlukan keterlibatan yang lebih substansial, mereka memiliki ingatan yang jauh lebih baik tentang apa yang telah mereka tulis sebelumnya. Oleh karena itu, penggunaan AI seharusnya untuk mencari informasi baru dan menyempurnakan apa yang telah mereka tulis sebelumnya.

Apa yang bisa dilakukan pendidik?

Untuk memahami situasi saat ini dengan AI, kita dapat melihat kembali apa yang terjadi ketika kalkulator pertama kali tersedia.

Pada tahun 1970-an, dampaknya diatur dengan membuat ujian menjadi jauh lebih sulit. Alih-alih melakukan perhitungan secara manual, siswa diharapkan menggunakan kalkulator dan mengarahkan upaya kognitif mereka pada tugas-tugas yang lebih kompleks.

Secara efektif, standar ditingkatkan secara signifikan, yang membuat siswa bekerja sama kerasnya daripada sebelum kalkulator tersedia. Tantangan dengan AI adalah bahwa pendidik belum menaikkan standar dengan cara yang membuat AI menjadi bagian dari sebuah proses. Pendidik masih mengharuskan siswa menyelesaikan tugas yang sama dan mengharapkan standar kerja yang sama seperti lima tahun lalu.

Dalam situasi seperti itu, AI memang dapat merugikan. Siswa pada umumnya dapat mendelegasikan keterlibatan kritis dalam belajar kepada AI, yang mengakibatkan “kemalasan metakognitif”.

Namun, sama seperti kalkulator, AI dapat dan seharusnya membantu kita menyelesaikan tugas-tugas yang sebelumnya tidak mungkin—dan tetap memerlukan keterlibatan yang signifikan. Misalnya, kita mungkin meminta siswa untuk menggunakan AI dalam menyusun rencana pelajaran yang detail, yang kemudian akan dievaluasi kualitas dan keabsahannya secara oral dalam ujian lisan.

Dalam studi MIT, peserta yang menggunakan AI menghasilkan esai yang “sama seperti biasa”. Mereka menyesuaikan keterlibatan mereka untuk memenuhi standar kerja yang diharapkan.

Hal yang sama akan terjadi jika siswa diminta melakukan perhitungan kompleks dengan atau tanpa kalkulator. Kelompok yang melakukan perhitungan secara manual akan berkeringat, sementara mereka yang menggunakan kalkulator hampir tidak berkedip.

Share
Topics
Editorial Team
Achmad Fatkhur Rozi
EditorAchmad Fatkhur Rozi
Follow Us