4 Tradisi Sakral Satu Suro yang Ada di Pulau Jawa 

Ungkapan syukur menyambut Tahun Baru Hijriah di Jawa

Setiap pergantian tahun, umat Muslim di seluruh dunia merayakan Tahun Baru Hijriah atau dikenal sebagai awal Muharram. Bagi masyarakat Jawa, Tahun Baru Hijriah juga dikenal sebagai Satu Suro.

Masyarakat Jawa mempercayai bahwa Satu Suro atau Malam Satu Suro (malam sebelum Tahun Baru Hijriah) merupakan hari atau malam yang sangat sakral dan keramat. Oleh karena itu, ada beberapa tradisi sakral yang dilaksanakan untuk menyambut satu suro di beberapa daerah di Pulau Jawa. Seperti apa tradisinya?

1. Kirab Kebo Bule

4 Tradisi Sakral Satu Suro yang Ada di Pulau Jawa Kirab Kebo Bule di Solo. (Pariwisatasolo.surakarta.go.id)

Pada malam satu suro, dilaksanakan kirab di Keraton Surakarta, Solo, Jawa Tengah. Pada pelaksanaan kirab ini, ribuan masyarakat berserta keluarga dan kerabat Keraton Solo turut berpartisipasi. Hal yang unik dari pelaksanaan kirab ini adalah ikut sertanya Kebo (kerbau) Bule. Kebo Bule ini merupakan kerbau keturunan dari Kebo Kyai Slamet. Kerbau-kerbau ini adalah salah satu pusaka yang sangat penting bagi Sri Susuhunan Pakubuwono II khususnya bagi Keraton Solo.

Barisan Kebo Bule akan berada paling depan, dan peserta kirab semuanya menggunakan beskap serba hitam. Saat melakukan kirab, peserta tidak mengucapkan satu patah kata pun (puasa berbicara). Hal ini memiliki makna sebagai refleksi diri terhadap apa yang telah dilakukan selama setahun sebelumnya.

Di akhir pelaksanaan kirab, masyarakat akan mengambil kotoran Kebo Bule. Sebagian masyarakat masih percaya bahwa kotoran tersebut memberikan berkah dan kemakmuran. Secara umum, tradisi kirab ini dilaksanakan sebagai wujud refleksi diri dan persiapan secara lahir dan batin untuk menyambut lembaran baru di tahun yang baru.

2. Petik Laut

4 Tradisi Sakral Satu Suro yang Ada di Pulau Jawa Tradisi Petik Laut di Pantai Lampon, Banyuwangi. (Banyuwangikab.go.id)

Tradisi Petik Laut dilaksanakan di Pesisir Pantai Lampon, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi. Masyarakat melaksanakan tradisi ini sebagai wujud rasa syukur atas hasil laut yang berlimpah selama setahun. Saat pelaksanaan tradisi Petik Laut ini, masyarakat melarung sesaji ke tengah laut.

Dalam sesaji ini terdapat kepala sapi serta sejumlah hasil laut dan bumi. Sesaji ini diangkut dalam perahu-perahu milik masyarakat untuk dibawa ke tengah laut, ke lokasi yang telah ditentukan. Selain melarung sesaji, di Pantai Lampon juga digelar wayang sebagai upacara selamatan yang bertujuan agar nelayan selalu diberikan keselamatan dan rezeki saat melaut.

Baca Juga: 8 Amalan Malam 1 Suro Sesuai Sunnah Islam

3. Mubeng Benteng dan Tapa Bisu

4 Tradisi Sakral Satu Suro yang Ada di Pulau Jawa Tradisi Mubeng Benteng di Yogyakarta. (Kebudayaan.jogjakota.go.id)

Mubeng Benteng dilaksanakan oleh masyarakat yang berada di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Mubeng Benteng di sini memiliki makna berjalan kaki mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta. Mubeng Benteng dilaksanakan pada Malam Satu Suro (malam Tahun Baru Hijriah). Prosesi Mubeng Benteng ini terinspirasi dari perjalanan suci hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah.

Sebelum melaksanakan Mubeng Benteng, terlebih dahulu masyarakat membaca doa akhir tahun, doa awal tahun, dan doa bulan Suro. Mirip dengan Kirab Kebo Bule di Solo, saat berjalan mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta, peserta tidak berbicara atau melakukan tradisi Tapa Bisu. Sebagian besar peserta juga tidak menggunakan alas kaki saat melaksanakan tradisi Mubeng Benteng ini. Tapa Bisu dan berjalan tanpa alas kaki ini sebagai simbol keprihatinan saat Nabi Muhammad SAW berjalan dari Mekkah ke Madinah yang penuh penderitaan.

4. Ritual Baritan Nelayan

4 Tradisi Sakral Satu Suro yang Ada di Pulau Jawa Ritual Baritan Nelayan. (Dkp.jatengprov.go.id)

Ritual Baritan Nelayan sering juga disebut sebagai upacara Sedekah Laut. Ritual Baritan Nelayan diadakah di Kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Asemdoyong, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang. Ritual ini dilaksanakan pada tanggal satu Suro atau satu Hijriah.

Tradisi masyarakat pesisir Pantai Utara ini bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur atas berkah dan rezeki dari hasil laut yang diterima selama setahun. Para nelayan ini berharap, sumber penghasilan nelayan ini (laut) tetap memberikan hasil yang tetap berlimpah dan memberikan keselamatan kepada para nelayan dan keluarganya.

Sesajen untuk upacara Baritan Nelayan ini disebut dengan Ancak. Ancak berisi kepala kerbau, berbagai macam jajanan pasar yang diletakkan pada kapal replika berukuran kecil yang telah dihias sedemikian rupa. Ancak ini terlebih dahulu akan diruwat. Setelah itu, masyarakat akan mengiringi ancak ini ke tengah laut, dan melarungnya.

Tradisi sakral satu suro di beberapa daerah di Pulau Jawa ini dilaksanakan secara turun-temurun, dari warisan nenek moyang atau leluhur mereka. Selain sebagai wujud refleksi atas apa yang telah terjadi pada tahun yang sudah berlalu, tradisi ini juga sebagai ungkapan suka cita dan syukur kepada Sang Penguasa Alam.

Baca Juga: Mitos-mitos Satu Suro yang Hingga Kini Masih Dipercaya

Ari Budiadnyana Photo Verified Writer Ari Budiadnyana

Menulis dengan senang hati

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Hella Pristiwa

Berita Terkini Lainnya