Pameran SingaPop! 60 Tahun Budaya Pop Singapura di ArtScience Museum (IDN Times/Asri Muspita Sari)
Setelah menyelesaikan pameran teamLab Future World, aku bergegas menuju pameran berikutnya di ArtScience Museum, yaitu SingaPop! 60 Tahun Budaya Pop Singapura.
Jika teamLab mengajakku menatap masa depan, maka SingaPop! membawaku menoleh ke belakang, menyusuri enam dekade perjalanan budaya pop di Negeri Singa.
Pameran ini menunjukkan bahwa musik, film, mode, dan media bukan hanya sekadar hiburan, tapi cerminan bagaimana masyarakat Singapura tumbuh, berubah, dan berinteraksi dengan dunia.
Menjelajahi pameran ini rasanya seperti masuk ke mesin waktu, aku bisa melihat dan merasakan budaya pop di Singapura dari era klasik 1960-an, gemerlap 80-an, hingga tren digital masa kini.
Salah satu sudut foto di pameran SingaPop! 60 Tahun Budaya Pop Singapura di ArtScience Museum (IDN Times/Asri Muspita Sari)
Begitu melewati pintu masuk, petugas akan memberikan sebuah gelang tipis dengan chip kecil di dalamnya. Awalnya aku mengira itu adalah tiket masuk biasa, tapi ternyata, gelang tersebut adalah cara untuk menikmati pameran ini dengan lebih personal.
Selama menyusuri pameran ini, kamu akan disuguhkan dengan lima instalasi super keren, informatif, dan seru. Penasaran ada apa saja? Keep scrolling, ya!
Instalasi “SingaWho?” di pameran SingaPop! 60 Tahun Budaya Pop Singapura di ArtScience Museum (Dok. Marina Bay Sands)
Begitu melangkah masuk ke area pertama pameran, aku langsung disambut oleh ruangan berwarna biru yang menjelaskan kisah perjalanan budaya pop Singapura. Ruangan ini menjadi semacam ‘prolog’ yang mengajakku untuk melihat budaya pop bukan hanya sebagai hiburan, melainkan sebagai cermin perjalanan bangsa.
Kisah perjalanan budaya pop Singapura dimulai dari Dick Lee, seorang penyanyi, penulis lagu, sekaligus ikon budaya pop Singapura yang menjelaskan tentang “Siapa Singapura sebenarnya?” lewat rangkaian video dan instalasi visual.
Di instalasi ini, aku juga melihat peta budaya pop Singapura yang tampak seperti jalinan benang warna-warni. Setiap garis mewakili unsur berbeda, mulai dari musik, fesyen, televisi, bahasa, hingga makanan yang membentuk identitas unik Singapura.
Area Rojak Lane di pameran SingaPop! 60 Tahun Budaya Pop Singapura di ArtScience Museum (IDN Times/Asri Muspita Sari)
Di instalasi ini aku baru mengetahui fakta bahwa rujak yang merupakan hidangan khas dari Jawa, ternyata digemari banyak orang Singapura. Tapi lebih dari itu, kata ‘rujak’ di sini merupakan metafora yang pas untuk menggambarkan keberagaman Singapura.
Dalam bahasa Melayu, kata ‘rujak’ sendiri memiliki arti ‘campuran’. Sama seperti halnya masyarakat Singapura yang terdiri dari berbagai ras seperti Tionghoa, Melayu, India, Eurasia, dan banyak komunitas lain yang hidup berdampingan.
Harmoni itu juga tercermin dalam lanskap kotanya. Misalnya, kuil Buddha yang berdiri berdampingan dengan masjid, katedral hanya berjarak beberapa langkah, atau sinagoga dan kuil Hindu yang bersebelahan. Semuanya menjadi bukti nyata keberagaman yang hidup di Singapura berdampingan secara damai.
Di instalasi Rojak Lane, aku bisa melihat keberagaman ini divisualisasikan lewat arsitektur, seni pertunjukan, hingga motif dekoratif. Setiap budaya tampil dengan ciri khasnya, namun bersatu membentuk identitas Singapura yang beragam.
Area RojakLand di pameran SingaPop! 60 Tahun Budaya Pop Singapura di ArtScience Museum (IDN Times/Asri Muspita Sari)
Seperti rujak yang menjadi metafora keberagaman, area RojakLand memadukan pengaruh dan identitas dalam satu pengalaman imersif. Setiap ruang dirancang interaktif, sehingga pengunjung bisa ikut serta dalam kisah budaya pop Singapura yang terus berkembang.
Di instalasi ini terdapat beberapa ruang bertema yang menyoroti esensi kehidupan sehari-hari di Singapura, mulai dari fesyen, parade Hari Nasional, musik, televisi dan film, Singlish, hingga budaya hawker.
✔ IconSG: Di area ini aku melihat para ikon yang pernah meramaikan layar kaca dan dunia hiburan Singapura, mulai dari Phua Chu Kang, komedian Kumar, hingga Singa the Kindness Lion yang menjadi simbol kebaikan.
Salah satu gaun yang dipamerkan di area SingaStyle pada pameran SingaPop! 60 Tahun Budaya Pop Singapura di ArtScience Museum (IDN Times/Asri Muspita Sari)
✔ SingaStyle: Menampilkan evolusi fesyen di Singapura. Mulai dari gaun kontes kecantikan era 60-an, kostum panggung musisi, sampai tren lainnya yang pernah hits. Setiap pakaian menunjukkan bahwa fesyen adalah bagian penting dari budaya pop yang membentuk identitas Singapura.
✔ NDPop: Sebagai orang Indonesia, aku bisa ikut merasakan kemeriahan Pawai Hari Nasional Singapura di ruangan ini. Mulai dari lagu-lagu ikonik, kostum meriah, hingga rekaman parade dari masa ke masa.
✔ SingaSong: Perhatianku langsung tertuju pada sebuah jukebox interaktif raksasa yang berdiri megah di ruangan. Bukan sekadar pajangan, di jukebox ini aku bisa memilih lagu dan mendengar cerita di baliknya.
Area ini sekaligus mengajak pengunjung untuk menyelami bagaimana musik menjadi bahasa universal yang menyatukan berbagai generasi dan latar budaya di Singapura.
Area Screening Room di pameran SingaPop! 60 Tahun Budaya Pop Singapura (IDN Times/Asri Muspita Sari)
✔ Screening Room: Di ruangan ini pengunjung diajak bernostalgia lewat potongan film, serial TV, hingga iklan yang pernah mewarnai layar kaca Singapura. Ruang ini menghadirkan kembali momen ketika televisi dan film menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari, sekaligus menunjukkan bagaimana media visual ikut membentuk budaya pop dari masa ke masa.
Salah satu area di instalasi SingaMakan (IDN Times/Asri Muspita Sari)
✔ SingaMakan: Area yang menghadirkan suasana hawker centre khas Singapura dengan deretan makanan legendaris seperti kopitiam, chicken rice, satay, laksa, rojak, dan lain-lain. Ingat gelang interaktif yang diberikan di pintu masuk pameran?
Nah, gelang itu bisa kamu pakai untuk mencoba berbagai aktivitas seru di area ini. Misalnya, ikutan kuis yang menguji seberapa kenal kamu dengan jajanan ikonik Singapura, meracik makanan di hawker stall versi kamu, atau voting jajanan paling disukai di Singapura. Seru banget!
Di instalasi ini aku diajak untuk mendengarkan cerita-cerita yang membentuk wajah budaya pop Singapura. Ruangan dibuat seperti rumah, sehingga aku bisa merasakan bagaimana masyarakat Singapura mengenang masa kecil mereka.
Aku bisa merasakan seperti apa momen menonton serial TV bersama keluarga. Bagaimana mereka bercerita tentang parade Hari Nasional pertama yang mereka saksikan, atau sekadar cerita sederhana tentang makanan favorit yang selalu bikin rindu rumah.
Ada juga video yang memperlihatkan momen-momen budaya pop penting per dekade, mulai dari tahun 60-an sampai era digital seperti sekarang, sebagai visualisasi nyata bagaimana budaya berubah dan berkembang
Area SingaVoices di pameran SingaPop! 60 Tahun Budaya Pop Singapura (IDN Times/Asri Muspita Sari)
Kunjunganku di pameran SingaPop! berakhir di instalasi SingaVoices ini. Tidak hanya musik atau lagu, ruang ini menyoroti semua ‘suara’, mulai dari penyanyi legendaris, pengisi suara karakter ikonik, hingga iklan dan program radio yang melekat di ingatan masyarakat.
Sebagai penutup, kamu akan disuguhkan video penghormatan melalui virtual choir yang melibatkan lebih dari 900 suara dari Singapura dan 26 negara lain. Mereka menyanyikan lagu “Home” (1998) karya Dick Lee.
Video ini dibuat pada puncak pandemik COVID-19 pada tahun 2020 dan mereka semua bernyanyi dari rumah masing-masing. Suaranya menyatu menjadi suara kolektif yang menguatkan bersama.
Menjelajahi pameran Future World dan SingaPop! 60 Tahun Budaya Pop Singapura membuatku lebih mengenal Singapura. Setiap sudut pameran memberi perspektif baru tentang kreativitas, identitas, dan cara masyarakat Singapura mengekspresikan diri.
Miracle Coffee di ArtScience Museum (IDN Times/Asri Muspita Sari)
Setelah lelah mengeksplorasi, aku menutup hari dengan segelas es caffe latte di Miracle Coffee, sambil menikmati suasana di pinggir kolam teratai ArtScience Museum. Tapi di kepalaku masih terbayang satu spot ikonik yang belum sempat dikunjungi selama di Singapura, yaitu Gardens by the Bay.
Pastinya kalau liburan ke Singapura lagi, tempat ini wajib masuk itinerary-ku untuk aku jelajahi sampai ke setiap sudutnya. Aku penasaran banget bagaimana rasanya berjalan di antara Supertree Grove yang menjulang tinggi, menjelajahi Flower Dome dan Cloud Forest, lalu menutup hari dengan menonton pertunjukan cahaya memukau di Garden Rhapsody saat malam tiba.
Dari ArtScience Museum, aku bergegas menuju Bandara Changi dengan MRT. Yap, naik MRT jadi salah satu cara tercepat dan terjangkau untuk menuju Changi. Yang bikin perjalanan ini makin nyaman, karena aku pakai Garuda x bluDebit Card.
Garuda x bluDebit Card bisa digunakan untuk transportasi MRT di Singapura (IDN Times/Annisyah Ramadhania)
Praktis banget, tinggal tap di gate MRT, saja! Gak perlu ribet nyari uang tunai atau antre beli tiket, pakai kartu ini semua serba cepat dan gampang. Benar-benar solusi praktis buat traveler yang pengen eksplor Singapura tanpa ribet soal pembayaran.
Aku naik dari stasiun MRT terdekat dari hotel, yaitu Stasiun MRT Maxwell. Kemudian transit di Marina Bay dan City Hall. Dari City Hall aku mengambil jalur hijau (East-West Line) menuju Stasiun Tanah Merah. Dari Tanah Merah, aku turun dan berpindah ke MRT dengan tujuan akhir Bandara Changi.