Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
potret musim gugur di Jepang
potret musim gugur di Jepang (unsplash.com/Kishor)

Intinya sih...

  • Tradisi momijigari, seni menikmati daun gugur

    • Momijigari adalah tradisi kuno menikmati keindahan dedaunan musim gugur

  • Momijigari memiliki makna reflektif dalam budaya Jepang

  • Menyaksikan momijigari seperti melihat lukisan yang bernapas

  • Festival musim gugur yang sarat makna budaya

    • Jepang kaya akan festival musim gugur dengan perayaan rasa syukur atas hasil panen dan pergantian musim

  • Festival-festival ini menciptakan pengalaman multisensorial yang sulit ditemukan di negara lain

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Musim gugur di Jepang selalu punya daya tarik yang susah digantikan. Saat daun-daun mulai berubah warna menjadi merah menyala, oranye keemasan, dan kuning lembut, seluruh negeri seolah disulap jadi lukisan hidup. Suasana sejuk, aroma tanah basah setelah hujan, serta cahaya matahari sore yang lembut membuat setiap langkah terasa seperti berjalan di dalam cerita klasik.

Namun, yang membuat musim gugur di Jepang terasa begitu spesial bukan cuma pemandangannya. Ada keunikan budaya, tradisi, dan detail kecil yang membuat pengalaman wisata di negeri sakura ini terasa jauh lebih mendalam dibanding negara lain. Dari cara masyarakatnya menghargai perubahan musim, sampai bagaimana kuliner musiman jadi bagian penting dalam keseharian, semuanya membentuk harmoni yang khas dan penuh makna.

1. Tradisi momijigari, seni menikmati daun gugur

potret musim gugur di Jepang (commons.wikimedia.org)

Di Jepang, musim gugur bukan sekadar pergantian warna dedaunan. Ada tradisi kuno bernama momijigari yang secara harfiah berarti “berburu daun merah”. Aktivitas ini dilakukan masyarakat untuk menikmati keindahan dedaunan musim gugur, terutama pohon momiji yang daunnya berubah warna begitu dramatis. Orang-orang rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk melihat panorama itu secara langsung, entah di taman, kuil, atau pegunungan.

Berbeda dari sekadar berjalan-jalan, momijigari punya makna reflektif. Banyak yang memaknainya sebagai cara untuk merenungi waktu, perubahan, dan kefanaan hidup, nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam budaya Jepang. Tidak heran, tradisi ini terus hidup hingga sekarang, bahkan menjadi daya tarik besar bagi wisatawan. Saat cahaya matahari sore menembus dedaunan yang memerah, rasanya seperti melihat lukisan yang sedang bernapas.

2. Festival musim gugur yang sarat makna budaya

potret Festival Jidai Matsuri, Kyoto (commons.wikimedia.org/Corpse Reviver)

Selain keindahan alamnya, Jepang juga kaya akan festival yang digelar khusus di musim gugur. Misalnya Jidai Matsuri di Kyoto, yang menampilkan parade besar dengan peserta berpakaian tradisional dari berbagai era sejarah Jepang. Ada juga Takayama Autumn Festival di Gifu yang memamerkan yatai atau kereta hias berornamen rumit yang melintasi jalanan tua dengan suasana magis.

Festival-festival ini bukan cuma tontonan, tapi juga perayaan rasa syukur atas hasil panen dan pergantian musim. Penduduk lokal ikut meramaikan dengan penuh semangat, membuat wisatawan bisa merasakan kehangatan komunitas yang tulus. Nuansa historis, musik tradisional, dan aroma makanan khas yang menguar di udara menciptakan pengalaman multisensorial yang sulit ditemukan di negara lain.

3. Kuliner musim gugur yang kaya rasa dan filosofi

potret sanma shioyaki (commons.wikimedia.org/ayustety)

Ketika suhu mulai menurun, dapur Jepang justru semakin hidup. Makanan khas musim gugur seperti kuri gohan (nasi kastanye), sanma shioyaki (ikan pacific saury panggang), dan tempura kabocha (labu goreng renyah) menjadi sajian wajib. Setiap hidangan menghadirkan cita rasa yang sederhana tapi dalam, mencerminkan filosofi shun yaitu menikmati bahan makanan saat berada di puncak musimnya.

Menariknya, setiap gigitan terasa seperti penghormatan pada alam. Para koki memilih bahan dengan cermat, menonjolkan rasa alami tanpa banyak tambahan bumbu. Di restoran maupun warung kecil, kehangatan makanan musim gugur seolah mampu menyatukan rasa syukur dan kenikmatan dalam satu mangkuk. Rasanya sulit untuk tidak jatuh cinta pada cara Jepang menghargai hubungan antara makanan dan musim.

4. Suasana kuil dan taman yang memikat saat senja

potret musim gugur di Jepang (unsplash.com/Lucas Calloch)

Tidak ada tempat yang bisa menandingi suasana kuil Jepang di musim gugur. Bayangkan berjalan di jalur berbatu menuju kuil tua, dikelilingi pepohonan mapel dan ginkgo yang berwarna keemasan. Saat matahari mulai tenggelam, dedaunan yang diterpa cahaya oranye menciptakan efek visual yang menenangkan sekaligus memukau.

Taman-taman seperti Eikando di Kyoto atau Rikugien di Tokyo jadi destinasi favorit untuk menikmati pemandangan ini. Banyak kuil bahkan membuka sesi khusus illumination di malam hari, di mana pepohonan diterangi lampu lembut sehingga refleksinya di kolam tampak seperti dunia paralel. Momen seperti ini bukan sekadar indah secara visual, tapi juga menenangkan batin yang mengingatkan bahwa keindahan sejati sering hadir dalam keheningan.

5. Suhu dan suasana yang ideal untuk menjelajah

potret musim gugur di Jepang (unsplash.com/Caleb Jack)

Musim gugur di Jepang punya cuaca yang nyaris sempurna untuk bepergian. Tidak terlalu panas seperti musim panas, tapi juga belum sedingin musim dingin. Suhu rata-rata sekitar 15–20°C membuat tubuh terasa segar sepanjang hari, cocok untuk berjalan kaki menjelajahi kota-kota bersejarah atau mendaki gunung ringan tanpa kelelahan berlebih.

Selain itu, udara di musim gugur terasa lebih jernih. Langit biru cerah, awan tipis, dan angin lembut membuat pemandangan Gunung Fuji atau Danau Kawaguchi terlihat lebih dramatis. Kombinasi ini menciptakan atmosfer yang menenangkan sekaligus penuh energi positif, menjadikan setiap perjalanan terasa seperti terapi alami bagi pikiran.

Musim gugur di Jepang bukan sekadar musim, tapi pengalaman yang menyentuh seluruh indra dan emosi. Dari tradisi yang penuh makna hingga suasana yang begitu memanjakan mata, semuanya menciptakan harmoni antara manusia dan alam. Setiap kunjungan di musim ini selalu meninggalkan kesan hangat dan reflektif, seolah Jepang sedang mengajak untuk berhenti sejenak, menikmati perubahan, dan belajar dari keindahan yang sederhana.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team