Satu individu orang utan bermain di ranting pohon dalam kawasan Stasiun Penelitian Ketambe, Aceh Tenggara, Aceh (IDN Times/Muhammad Saifullah)
Asap tipis terlihat menyembur dari empat gelas kopi di atas meja yang ada di hadapanku, Arwin, Yulham, dan Junaidi. Minuman itu baru saja dihidangkan seorang perempuan paruh baya untuk kami yang sedang asik berbincang tentang orangutan.
“Bi, saya gak bisa kenak kopi pagi-pagi. Gak tahan lagi lambung. Saya dibuatkan teh saja,” ujar Junaidi meminta minumannya diganti dengan teh kepada wanita yang akrab disapa Bibi tersebut.
“Lah, tapi biasanya ngopi!” sahut Bibi, perempuan yang bertugas sebagai juru masak dari Stasiun Penelitian Ketambe ini.
Junaidi dan Bibi memang sudah saling kenal, sebab pria berprofesi sebagai fotografer ini memang terbilang sering mengunjungi tempat yang dikenal sebagai salah satu kawasan habitat orangutan di Indonesia tersebut.
Tak hanya dengan Bibi, Junaidi juga akrab dengan Arwin, pria yang sebelumnya menyambut kedatangan saya, Zulham, dan Junaidi ke tempat itu pada, Minggu (4/4/2021).
Arwin sendiri merupakan orang penting di tempat riset yang masuk kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dan dikelola oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) serta Forum Konservasi Leuser (FKL) tersebut. Ia menjabat sebagai kepala Stasiun Penelitian Ketambe.
Matahari masih berupaya menembus sela pepohonan di kawasan Leuser, Aceh Tenggara yang masih berselimut kabut. Sedangkan perbincangan kami masih hangat dengan orangutan meski tak ada kacang ataupun makanan ringan lainnya di meja yang kami duduki.
Sambil menyerut kopi dihadapannya, Arwin pun berkeluh bagaimana upaya ia beserta anggota stasiun lainnya yang dalam beberapa hari terakhir mencari keberadaan orangutan namun tak menemukannya.
“Sudah lebih dua hari ini orangutan gak nampak. Padahal sudah kami cari juga sampai masuk ke dalam,” keluh Arwin menceritakan sulitnya menemukan primata yang keberadaannya kini mulai langka.
Jauh sebelum ketibaan kami ke stasiun penelitian ini, pria berusia 41 tahun itu memang telah berjanji kepada saya, Junaidi, Yulham, dan beberapa rekan jurnalis lainnya untuk menunjukkan keberadaan orangutan ketika rombongan akan berkunjung ke stasiun penelitian yang ada sejak 1971 tersebut.
Disela pembicaraan, Bibi kembali datang sambil membawa segelas teh yang diminta Junaidi. Teh itu diseruputnya berlahan sambil matanya melirik ke arah dahan pepohonan di belakang dapur Stasiun Penelitian Ketambe tak jauh dari tempat kami berkumpul.
Pria itu lalu beranjak dari tempat duduknya. Ia melangkah masuk ke dalam hutan dan meninggalkan saya, Zulham, dan Arwin yang masih asik membahas keberadaan orangutan di pusat riset tersebut.
Dari posisi kami duduk, alur Sungai Alas jelas terlihat. Tak sampai seujung mata. Gemuruh airnya menghantam bebatuan pun dapat dengan mudah ditangkap oleh indera pendengaran, selain alunan kicauan burung dan raungan serangga yang saling bersahutan.
Asap tipis masih menyembul di gelas milik Junaidi meski sebagian isinya telah diserut. Tiba-tiba pria itu kembali dengan langkah terpacu sembari menebarkan senyum.
“Ada orangutan satu, di pohon situ,” kata Junaidi, seolah memberitahu kepada kami bertiga yang sedari tadi masih asik membahas tentang primate langka tersebut.
Pembicaraan kami pun terhenti. Sejurus kemudian, gelas berisi kopi dan teh yang sebelumnya telah dihidangkan langsung sontak tak bertuan.
Langkah kami saling memacu menyusur masuk ke dalam hutan. Sedangkan setiap mata tertuju pada dahan yang mengayun tanpa melodi.
“Jangan ribut-ribut ya," ujar Junaidi meminta kepadaku agar tidak menimbulkan kegaduhan ketika menunjukkan posisi salah satu satwa kunci di Taman Hutan Gunung Leuser itu.
Di balik dedaunan hijau, terlihat satu orangutan yang menggantung di ujung dahan pohon rambong uahuah. Ia tanpak begitu tenang memetik buah berukuran biji kopi robusta tersebut dari tangkai dan memakannya.
Bukannya beranjak masuk ke dalam hutan, primata tersebut malah semakin mendekati pohon di belakang dapur. Sehingga buah rambong uahuah yang masih terselip di mulutnya jelas terlihat tanpa bantuan teropong sekalipun.
Penampakan seperti ini berlangsung lebih kurang dua jam. Setelah itu, orangutan itu pun kembali masuk ke dalam belantara Taman Nasional Gunung Leuser.
“Klik, klik, klik,” beberapa momentum aktivitas satwa langka itu pun tak ingin dilewatkan begitu saja dari lensa kameraku.
Orangutan itu dikatakan Arwin bernama Kelly. Ia berusia lebih 20 tahunan dan berjenis kelamin betina.
Penampakannya di dahan pohon jenis ficus itu, seolah menyambut kedatangan kami. Padahal sebelumnya tak ada satupun primata langka ini menenjukkan batang hidungnya selama beberapa hari terakhir meski telah dicari ke dalam hutan.