Mama Bolapala bersama putrinya, Sara, yang berjualan kelapa muda di Air Terjun Tanggedu di Sumba Timur. (IDN Times/Rochmanudin)
Sekitar pukul 11.00 WIT, kami akhirnya tiba di Air Terjun Tanggedu. Seperti tempat wisata lainnya di Sumba Timur, destinasi wisata ini juga masih dikelola warga lokal. Karena itu, fasilitas di tempat ini masih sangat minim.
Sebelum masuk air terjun, mobil yang kami tumpangi parkir di tempat parkir sederhana, tapi sudah beralas konblok, dengan kapasitas sekitar 10 minibus. Meski dilengkapi dua toilet, tapi tidak tersedia air. Teman kami yang akan buang air kecil terpaksa mengurungkan niatnya.
Di sekitar tempat parkir tak jauh dari pintu masuk, terdapat warung kecil, yang menjual beberapa jajanan dan hasil kerajinan yang terbuat dari daun lontar, seperti topi dan tas kecil.
Setiap pengunjung Air Terjun Tanggedu dikenakan tarif masuk Rp10 ribu. Dari pintu masuk, kami naik ojek dengan tarif Rp50 ribu pulang pergi, karena jarak lumayan jauh, sekitar 1 kilometer dari pintu masuk menuju air terjun. Ya, itung-itung bantu warga setempat.
Setelah naik ojek, kami harus berjalan kaki yang berjarak sekitar 50 meter, dengan jalan menurun. Beruntung, jalannya mudah dilalui, berupa anak tangga dan pagar yang cukup kokoh.
Oya, sebelum pintu masuk, tersedia beberapa gazebo yang bisa dipakai pengunjung untuk beristirahat sejenak, usai naik tangga dari air terjun. Maklum, buat yang tidak terbiasa berolah raga, dijamin bakal terengah-engah saat naik tangga.
Saat kami menuruni anak tangga, terlihat air terjun dari kejauhan. Kamu kurang beruntung, karena kebetulan sungai sedang banjir. Airnya terlihat keruh. Tapi kami masih beruntung, satu sungai di sisinya tidak banjir. Air Terjun Tanggedu memang unik, pertemuan antara dua sungai.
Begitu kami sampai di air terjun, rasa kagum yang tiada habisnya. Karena matahari sangat terik, ingin rasanya lekas berenang, tapi sayang sedang banjir. Di bawah air terjun juga ternyata dilarang untuk berenang, karena terlalu dalam.
Nyaris kecewa tak bisa berendam, tapi setelah kami naik ke atas air terjun, ternyata ada lukisan alam nan indah sudah menanti. Sungai yang jernih, tenang, mengalir di hamparan bebatuan kapur. Warna airnya sedikit putih karena hasil erosi batu kapur. Lumut hijau di bebatuan juga turut memberikan kesan yang alami dan menenangkan.
Yang lebih mengesankan lagi, kami disambut Mama Bolapala bersama anaknya. Setiap hari dia menunggu warungnya yang sekilas seperti rerimbunan pohon. Seperti kamuflase. Gubuknya dibangun sedemikian rupa, dengan bahan yang terbuat dari ranting kayu dengan atap jerami.
Mama Bolapala menjual kelapa muda dan kopi, serta beberapa jajanan. Mama Bolapala melayani kami dengan ramah dan sigap, dibantu anaknya, yang bolak-balik mengambil kelapa muda dari gubuk ke tempat kami berteduh. Mama Bolapala juga dengan lihai mengayunkan parangnya untuk membuka kelapa muda.
Sambil menikmati kelapa muda, kami duduk santai di tepi sungai dengan udara yang tetap sejuk, meski matahari begitu terik. Sesekali kami berbincang dengan Mama Bolapala sembari membuka kelapa muda untuk kami.
Sedangkan, anak Mama Bolapala duduk menyendiri agak jauh dari kami, usai mengambil kelapa untuk kami. Bocah 15 tahun itu malu-malu saat kami mengajak ngobrol.
"Siapa nama kamu, dek," tanya saya.
"Sara," ucapnya lirih.
"Sara kelas berapa sekarang?" tanya saya.
"Sudah gak sekolah," ujar Sara, seraya menggelengkan kepala.
Lebih dari tiga puluh menit berlalu, kelapa muda dan kopi hitam pun habis. Kami beranjak meninggalkan Air Terjun Tanggedu. Kami harus melanjutkan agenda berikutnya, menuju destinasi lainnya di Sumba Timur.
Salah seorang teman kami mendekati Sara, mengulurkan selembar uang kertas merah.
"Sara, kita pulang dulu ya, semoga kita ketemu lagi," ucap teman kami, yang dibalas dengan senyuman dan ucapan terima kasih.
Mama Bolapala dan Sara melambaikan tangannya, saat kami mulai menyusuri sungai. Sebelum kami meninggalkan Air Terjun Tanggedu, sekali lagi kami mengambadikan momen indah ini dengan kamera drone. Setelahnya, kami menapaki anak tangga yang cukup curam, yang membuat napas kami ngos-ngosan.
Begitu sampai di atas lereng, warga yang sebelumnya mengantar kami dengan sepeda motor, sudah menunggu di gazebo dan siap mengantar kami ke parkiran mobil.