Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Air Terjun Tanggedu di Sumba Timur
Air Terjun Tanggedu di Sumba Timur. (IDN Times/Rochmanudin)

Intinya sih...

  • Menikmati keindahan air terjun Tanggedu di Sumba Timur

  • Terpesona dengan pemandangan savana dan hewan ternak di jalanan

  • Bertemu dengan Mama Bolapala yang ramah dan anaknya, Sara, di sekitar air terjun

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Sumba Timur, IDN Times - Berwisata ke Sumba Timur, tidak lengkap rasanya jika tidak mampir ke air terjun Tanggedu. Lokasi destinasi favorit misawatan lokal maupun mancanegara ini berada di Desa Tanggedu, Kecamatan Kanatang, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).

IDN Times bersama sejumlah media berkesempatan mengunjungi air terjun Tanggedu bersama Artotel Group, Kamis, 27 November 2025. Kami menginap di Myze Hotel yang baru dua hari ldiresmikan.

Rombongan kami yang berjumlah belasan orang, menumpang minibus. Kami berangkat pukul 09.00 WIT dari hotel.

1. Dimanjakan pemandangan gelombang bukit savana yang megah

Air Terjun Tanggedu di Sumba Timur. (IDN Times/Rochmanudin)

Sebelum berangkat, kami lebih dulu sarapan di Mayze Hotel. Perjalanan dari tempat penginapan kami ke Air Terjun Tanggedu sekitar 1,5 jam. Pagi itu matahari sudah tinggi, dan terasa terik.

Sekitar 15 menit pertama, perjalanan kami masih didominasi view suasana permukiman warga yang mayoritas memelihara hewan ternak seperti kuda, sapi, kambing, dan kerbau. Rumah warga di Sumba Timur rata-rata memiliki pekarangan rumput yang luas, dan berpagar tanaman.

Seperti Sumbawa, di Sumba Timur juga tak kalah banyak kuda. Hampir di setiap pekarangan rumah terdapat kuda yang sedang memakan rumput. Maklum, di Sumba Timur memang kuda sebagai mahar bagi laki-laki untuk meminang perempuan, selain perhiasan yang terbuat dari batu serta kain tenun.

Pria di Sumba Timur saat meminang wanita harus membawa mamuli atau kalung yang terbuat dari batu. Calon pengantin laki juga wajib membawa lulu amah alias kalung lebar yang terbuat dari jalinan kawat tembaga sebagai maskawin.

Selesai melewati permukiman warga, kami disambut hamparan bukit-bukit savana dan bebatuan karang. Sejauh mata memandang. Hewan-hewan ternak dibiarkan memakan rumput di savana, tak ada yang menggembala.

Beberapa titik jalan masih dalam perbaikan, sisanya jalanan relatif mulus. Sebagian kontur jalan datar dan lurus, tapi sebagian banyak lainnya naik turun bukit, yang kanan kiri jalan diapit hamparan savana dan bebatuan karang. Seperti melintas di Route 190, Texas, AS.

Hampir sepanjang jalan kami dibuat takjub dengan pemandangan yang menakjubkan. Kami tak henti-hentinya mengucap "masyaallah."

2. Penuh kejutan hewan ternak di jalanan

Perbukitan indah di sekitar Air Terjun Tanggedu di Sumba Timur. (IDN Times/Rochmanudin)

Penduduk Sumba Timur rata-rata memang berternak, tek heran jika hewan ternak ada di mana-mana, termasuk di jalanan. Mereka dibiarkan mencari makan sendiri. Kita harus ekstra hati-hati, karena kejutan-kejutan di jalan akan sering ditemui.

Sapi, kuda, hingga kambing bisa melintas sesuka mereka kapan saja di tengah jalan. Pengendara harus rajin-rajin klakson di jalan.

"Gak cuma hewan ternak, orang-orang di sini juga harus diklakson, kalau tidak mereka akan menyeberang seenaknya, dan marahi kita kalau tidak diklakson, 'kenapa tidak klakson?'" ujar pengemudi mobil travel yang kami tumpangi.

Benar saja, selama perjalanan ke Air Terjun Tanggedu, kami dikejutkan beberapa kali sapi dan kambing yang tiba-tiba nyelonong di tengah jalan. Otomatis mobil kami rem mendadak.

Ngomong-ngomong soal hewan ternak, warga Sumba Timur memang mayoritas berternak. Karena memang geografis di wilayah ini sangat berpotensi di bidang peternakan. Mereka yang berternak biasanya orang tua, sedangkan anak muda merantau.

"Mayoritas orang-orang di sini berternak dan bertani, dan anak-anak mudanya ada sebagian merantau," ujar Hendy, pemuda setempat yang juga pengemudi mobil travel yang kami tumpangi.

Meski perjalanan menuju Air Terjuan Tanggedu lumayan lama, tetapi tak terasa. Selain kami disuguhui pemandangan yang luar biasa, kami juga banyak berdiskusi tentang budaya Sumba Timur dengan Hendy, serta bercanda gurau. Alhasil, perjalanan kami begitu berkesan.

3. Bertemu Mama Bolapala yang ramah

Mama Bolapala bersama putrinya, Sara, yang berjualan kelapa muda di Air Terjun Tanggedu di Sumba Timur. (IDN Times/Rochmanudin)

Sekitar pukul 11.00 WIT, kami akhirnya tiba di Air Terjun Tanggedu. Seperti tempat wisata lainnya di Sumba Timur, destinasi wisata ini juga masih dikelola warga lokal. Karena itu, fasilitas di tempat ini masih sangat minim.

Sebelum masuk air terjun, mobil yang kami tumpangi parkir di tempat parkir sederhana, tapi sudah beralas konblok, dengan kapasitas sekitar 10 minibus. Meski dilengkapi dua toilet, tapi tidak tersedia air. Teman kami yang akan buang air kecil terpaksa mengurungkan niatnya.

Di sekitar tempat parkir tak jauh dari pintu masuk, terdapat warung kecil, yang menjual beberapa jajanan dan hasil kerajinan yang terbuat dari daun lontar, seperti topi dan tas kecil.

Setiap pengunjung Air Terjun Tanggedu dikenakan tarif masuk Rp10 ribu. Dari pintu masuk, kami naik ojek dengan tarif Rp50 ribu pulang pergi, karena jarak lumayan jauh, sekitar 1 kilometer dari pintu masuk menuju air terjun. Ya, itung-itung bantu warga setempat.

Setelah naik ojek, kami harus berjalan kaki yang berjarak sekitar 50 meter, dengan jalan menurun. Beruntung, jalannya mudah dilalui, berupa anak tangga dan pagar yang cukup kokoh.

Oya, sebelum pintu masuk, tersedia beberapa gazebo yang bisa dipakai pengunjung untuk beristirahat sejenak, usai naik tangga dari air terjun. Maklum, buat yang tidak terbiasa berolah raga, dijamin bakal terengah-engah saat naik tangga.

Saat kami menuruni anak tangga, terlihat air terjun dari kejauhan. Kamu kurang beruntung, karena kebetulan sungai sedang banjir. Airnya terlihat keruh. Tapi kami masih beruntung, satu sungai di sisinya tidak banjir. Air Terjun Tanggedu memang unik, pertemuan antara dua sungai.

Begitu kami sampai di air terjun, rasa kagum yang tiada habisnya. Karena matahari sangat terik, ingin rasanya lekas berenang, tapi sayang sedang banjir. Di bawah air terjun juga ternyata dilarang untuk berenang, karena terlalu dalam.

Nyaris kecewa tak bisa berendam, tapi setelah kami naik ke atas air terjun, ternyata ada lukisan alam nan indah sudah menanti. Sungai yang jernih, tenang, mengalir di hamparan bebatuan kapur. Warna airnya sedikit putih karena hasil erosi batu kapur. Lumut hijau di bebatuan juga turut memberikan kesan yang alami dan menenangkan.

Yang lebih mengesankan lagi, kami disambut Mama Bolapala bersama anaknya. Setiap hari dia menunggu warungnya yang sekilas seperti rerimbunan pohon. Seperti kamuflase. Gubuknya dibangun sedemikian rupa, dengan bahan yang terbuat dari ranting kayu dengan atap jerami.

Mama Bolapala menjual kelapa muda dan kopi, serta beberapa jajanan. Mama Bolapala melayani kami dengan ramah dan sigap, dibantu anaknya, yang bolak-balik mengambil kelapa muda dari gubuk ke tempat kami berteduh. Mama Bolapala juga dengan lihai mengayunkan parangnya untuk membuka kelapa muda.

Sambil menikmati kelapa muda, kami duduk santai di tepi sungai dengan udara yang tetap sejuk, meski matahari begitu terik. Sesekali kami berbincang dengan Mama Bolapala sembari membuka kelapa muda untuk kami.

Sedangkan, anak Mama Bolapala duduk menyendiri agak jauh dari kami, usai mengambil kelapa untuk kami. Bocah 15 tahun itu malu-malu saat kami mengajak ngobrol.

"Siapa nama kamu, dek," tanya saya.

"Sara," ucapnya lirih.

"Sara kelas berapa sekarang?" tanya saya.

"Sudah gak sekolah," ujar Sara, seraya menggelengkan kepala.

Lebih dari tiga puluh menit berlalu, kelapa muda dan kopi hitam pun habis. Kami beranjak meninggalkan Air Terjun Tanggedu. Kami harus melanjutkan agenda berikutnya, menuju destinasi lainnya di Sumba Timur.

Salah seorang teman kami mendekati Sara, mengulurkan selembar uang kertas merah.

"Sara, kita pulang dulu ya, semoga kita ketemu lagi," ucap teman kami, yang dibalas dengan senyuman dan ucapan terima kasih.

Mama Bolapala dan Sara melambaikan tangannya, saat kami mulai menyusuri sungai. Sebelum kami meninggalkan Air Terjun Tanggedu, sekali lagi kami mengambadikan momen indah ini dengan kamera drone. Setelahnya, kami menapaki anak tangga yang cukup curam, yang membuat napas kami ngos-ngosan.

Begitu sampai di atas lereng, warga yang sebelumnya mengantar kami dengan sepeda motor, sudah menunggu di gazebo dan siap mengantar kami ke parkiran mobil.

Editorial Team