Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Potret Trinity Traveler
Potret Trinity Traveler (IDN Times/Triadanti)

Semua hal tentang liburan selalu menarik dibahas. Setiap tahunnya, tren wisata selalu bergeser, meningkat, dan ada saja perkembangannya. Setelah beberapa tahun terakhir destinasi wisata viral atau hits merajai tren pariwisata, kini perilaku wisatawan sedikit bergeser.

Banyak di antaranya yang mulai sadar tentang makna penting di balik traveling, tak sekadar berburu foto estetik untuk mengisi konten media sosial semata. Tren ini disebut sebagai purposeful travel alias liburan dengan tujuan tertentu. Dalam konsep pursposeful travel, kita sebagai wisawatan turut berkontribusi dalam keberlangsungan lingkungan maupun masyarakat lokalnya.

Tren ini diprediksi akan semakin kuat pada 2026, seiring semakin banyak orang yang ingin berlibur tanpa rasa FOMO (Fear of Missing Out), tetapi tetap mendapatkan pengalaman yang autentik dan bermakna. Ade Perucha Hutagaol alias Trinity Traveler pun mengemukakan pendapatnya tentang purposeful travel ini.

Selengkapnya, simak pendapat Trinity, traveler senior yang telah melancong ke lebih dari 111 negara berikut, yuk!

1. Perbedaan purposeful travel dan wisata viral

Trinity melihat perbedaan purposeful travel dan wisata viral cukup jelas. Menurut dia, tren wisata viral muncul karena media sosial. Sebelum adanya perkembangan media sosial semasif ini, banyak orang berlibur karena benar-benar ingin mengenal budaya baru dan menjelajahi tempat-tempat baru.

Ia menambahkan kebanyakan orang kini mencari destinasi lewat TikTok atau Instagram. FOMO (Fear Of Missing Out) alias ketakuan untuk ketinggalan tren semakin kuat. Banyak orang pergi hanya karena ramai di medsos, bukan sebenar-benarnya ingin mengunjungi suatu tempat karena keinginan sendiri atau tujuan tertentu lainnya.

Purposeful travel, kata dia, bukanlah hal yang baru. Hal ini sudah terjadi jauh sebelum media sosial muncul. Ia sendiri masih sering melakukan perjalanan seperti itu. Tempat-tempat wisata viral justru kurang menarik baginya.

Meski demikian, Trinity menegaskan kedua konsep traveling tersebut tidaklah salah. Hal yang penting adalah siapa pun tetap bisa jalan-jalan. Nah, yang menjadi tantangan adalah masyarakat Indonesia yang memiliki waktu libur terbatas. Dengan jatah cuti rata-rata 12 hari dalam setahun untuk para pekerja, hal ini membuat purposeful travel terasa sulit dilakukan.

“Purposeful travel ini bisa diterapkan kalau memang dia sudah mature, ya, baik dari segi umur, pekerjaan, dan penghasilan, di mana mereka bisa pergi bukan sekedar sightseeing,” kata Trinity saat dihubungi IDN Times pada 11 Desember 2025.

Kegiatan yang dimaksud bisa berupa volunteering, menanam mangrove, atau mengikuti kelas memasak. Konsep ini lebih cocok untuk yang sering bepergian tanpa terbatas waktu tertentu.

“Kalau pemula sulit, ya, apalagi orangnya FOMO. Mau dia punya uang dan kesempatan, mereka akan cari yang viral,” ucapnya. "Karena tujuannya adalah tampil di media sosial dan ada rasa gak mau kalah."

2. Hal yang diprioritaskan agar perjalanan lebih bermakna

Potret wisata ke alam (pexels.com/PNW Production)

Saat pilihan destinasi, Trinity sendiri mengutamakan destinasi yang belum pernah ia datangi. Namun, ia juga sering kembali ke lokasi yang sama jika menyukainya. Keunggulannya adalah waktu yang fleksibel. Ia bisa mengikuti berbagai aktivitas lokal.

“Karena purposeful travel itu lebih aktif (berkegiatan), bukan pasif, ya. Kalau pasif kita datang ke sana, lihat-lihat, foto-foto gitu. Kalau aktif, artinya melakukan sesuatu,” katanya. Aktivitas yang dimaksud dapat berupa kegiatan alam, interaksi dengan warga lokal, atau aktivitas yang membawa manfaat. Ia mencontohkan trekking untuk kegiatan fundraising.

Lebih jauh Trinity menceritakan dirinya kerap pergi ke suatu tempat memang untuk menulis. Apalagi ia telah merilis buku terbarunya Di Luar Radar yang terbit pada 28 November 2025. “Jadi, mau gak mau, kan memang harus ketemu dengan orang lokalnya, serta ngobrol buat belajar budayanya,” ujar perempuan asal Sukabumi itu.

3. Rekomendasi destinasi purposeful travel di Indonesia ala Trinity

Trinity menyebutkan beberapa rekomendasi destinasi yang dapat dikunjungi dengan konsep purposeful travel. “Gak usah jauh-jauh, misalnya kita yang tinggal di Jakarta bisa ke Pulau Seribu. Di sana ada pulau yang punya program,” katanya. Kegiatan yang bisa dilakukan seperti menanam mangrove atau menginap di penginapan eco-friendly.

Ia menekankan pentingnya memperhatikan keberlanjutan lingkungan. “Misalnya kita makan di warung lokal atau restoran lokal, penginapannya juga di lokal, beli oleh-oleh segala macamnya yang lokal,” tuturnya. Menurut Trinity, langkah sederhana ini akan mengurangi jejak karbon.

Ia juga pernah melakukan purposeful travel ke Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah. Pengunjung naik kapal, menyusuri sungai, melihat cara kerja ranger memberi makan orang utan, hingga mencicipi makanan berbahan lokal.

Pengalaman lainnya adalah mengunjungi candi-candi di Jawa Timur. “Aku ke sana gak hanya melihat-lihat candi, tetapi aku ditemani guide yang berpengalaman dan tahu tentang sejarah,” ujarnya. Bagi Trinity, penjelasan mendalam membuat perjalanan jauh lebih bermakna dibandingkan sekadar berburu foto atau video demi konten media sosial semata.

4. Bentuk kontribusi kecil saat bepergian

Potret botol minum (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Kontribusi kita sebagai wisatawan, menurut Trinity, yakni dapat memberi manfaat pada destinasi yang dikunjungi. “Biasanya kalau ke taman nasional, itu pasti ada tiket untuk taman nasionalnya, sebutannya dalam Bahasa Inggris itu green fee."

Ia menekankan kontribusi bukan hanya berupa biaya, tetapi juga perilaku kita sendiri. “Sesederhana membawa botol minuman yang diisi ulang. Jadi, gak bawa sampah karena kita kumpulin, itu kita sudah berkontribusi, lho,” pungkasnya.

Hal lain yang dapat dilakukan yakni tetap menjaga lingkungan dan tidak merusaknya hanya demi konten semata. Seperti yang terjadi di berbagai destinasi viral selama ini. Banyak wisatawan sibuk berfoto di tengah kebun bunga hingga menginjak-injak tanaman dan menyebabkannya mati. Hal lain juga dilakukan para pendaki FOMO yang enggan membawa sampahnya kembali turun, sehingga menyebabkan gunungan sampah di sepanjang pendakian maupun di puncak gunung.

Perilaku-perilaku buruk tersebut tidak akan terjadi jika masing-masing wisatawan benar-benar memahami motivasinya untuk berlibur ke suatu tempat, memiliki makna tersendiri saat mengunjungi sebuah destinasi, dan peduli akan keberlangsung ekosistem lingkungan.

Semoga ke depannya purposeful travel dapat menjadi bagian dari gaya hidup kita semua, agar perjalanan kita jadi lebih bermakna, baik untuk diri kita sendiri, lingkungan, maupun masyarakat lokalnya. Dengan menerapkan purposeful travel ini, kita juga semakin sadar dan mindful dalam setiap perjalanan. Ada makna yang lebih mendalam di setiap perjalanan dan membuat kita merasa lebih recharge sepulang liburan.

Kalau kamu sendiri gimana? Bagikan pengalaman purposeful travel yang pernah kamu lakukan di kolom komentar, ya!

Editorial Team