"Selama ini memang belum pernah liburan yang fokusnya ke purpose, tapi mulai tahun depan, aku pengin banget melakukannya," ujar Ernia kepada IDN Times, Kamis, 11 Desember 2025.
10 Destinasi Purposeful Travel 2026, Liburan Penuh Makna dan Anti-Fomo

- Desa Nyambu, Bali: Desa wisata ekologis dengan 67 pura, aktivitas susur sawah dan susur budaya.
- Desa Les, Bali: Suasananya tenang, dekat pantai, ladang garam khas, makanan tradisional dan aktivitas nelayan.
- Pabrik Siropen Kota Lama Surabaya: Pabrik sirup pertama di Indonesia yang masih bertahan hingga sekarang, proses produksi manual.
Seperti yang kita tahu, perkembangan media sosial memunculkan ledakan informasi dalam segala bidang, tak terkecuali dalam bidang pariwisata. Berbagai tempat wisata yang mendadak viral atau dipopulerkan oleh influencer tertentu selalu berhasil menarik minat para wisatawan dalam sekejap.
Kebanyakan wisatawan seolah tak mau ketinggalan tren atau momen, mereka pun berbondong-bondong mengunjungi sederet destinasi yang sudah viral, hits, maupun populer. Tak heran akhirnya banyak pelaku bisnis wisata menggandeng sejumlah influencer, baik lokal maupun nasional, untuk mempopulerkan pariwisatanya.
Banyak yang berhasil mendatangkan jutaan wisawatan dalam waktu singkat. Namun, dampak buruk pun mengintai. Salah satunya overtourism hingga menyebabkan kerusakan ekosistem, sampah menggunung, dan hilangnya makna berlibur itu sendiri.
Bukan lagi ingin refreshing atau rehat sejenak, banyak wisawatan berlibur ke destinasi-destinasi viral hanya untuk kebutuhan konten media sosial. Kebutuhan untuk dianggap gaul, gak ketinggalan hits, atau bahkan "kebelet" viral juga menjadi motivasi kuat dibandingkan benar-benar merasakan makna dari suatu perjalanan dan merasa recharge setelah liburan.
Sebagian wisatawan akhirnya sadar liburan seperti itu tak selalu menyenangkan, bahkan seringkali terasa melelahkan. Alih-alih menikmati destinasi impian, justru dipertemukan dengan kemacetan, antrean panjang, tumpukan sampah, hingga kerusakaan tempat wisata sebagai akibat dari overtourism.
Alhasill, kini sebagian traveler mulai mencari pengalaman liburan yang lebih bermakna, relevan, dan memberi dampak positif. Bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk lingkungan dan masyarakat lokal.
Inilah yang kemudian melahirkan konsep purposeful travel, sebuah konsep berwisata yang menekankan tujuan, nilai, dan koneksi yang mendalam dengan tempat yang dikunjungi. Tren ini diprediksi akan semakin kuat pada 2026, seiring semakin banyak orang yang ingin berlibur tanpa rasa FOMO (Fear of Missing Out), tapi tetap mendapatkan pengalaman yang autentik dan bermakna.
Berikut deretan destinasi purposeful travel 2026 yang layak masuk ke dalam daftar jalan-jalanmu selanjutnya. Simak sampai habis, ya!
Table of Content
1. Desa Nyambu, Bali
Kalau kamu ingin wisata pedesaan di Bali, jangan hanya ke Ubud! Banyak orang belum mengenal Desa Nyambu. Desa ini berada di Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali. Jaraknya gak terlalu jauh dari pusat kota.
Lahan sawah masih mendominasi wilayah ini. Desa Nyambu diresmikan menjadi Desa Wisata Ekologis Nyambu oleh Bupati Tabanan, Ni Putu Eka Wiryastuti pada 29 April 2016. Pengembangannya mendapat dukungan pemerintah setempat, perusahaan swasta, British Council, dan Yayasan Wisnu.
Masyarakat desa terlibat langsung dalam pengelolaan wisata Nyambu. Mereka memiliki penyewaan sepeda, snack dan makan siang, serta tour guide. Sistem kerjanya berbasis upah dari para tamu. Jadi, warga tetap bisa menjalankan pekerjaan utama mereka.
Desa Nyambu cocok untuk kamu yang tertarik alam, adat, budaya, dan sejarah. Ada sekitar 67 pura di desa ini. Setiap pura mencatat perkembangan budaya Bali, sejak masa Bali Kuno hingga sekarang.
Menariknya, gotong royong menjadi pedoman hidup masyarakat Nyambu. Mereka saling mendukung, agar desanya dikenal lebih luas dan siap menerima wisatawan. Bahkan, warga yang memiliki lahan cukup luas juga membangun homestay, lho. Para seniman di sana pun ikut berkontribusi. Kamu bisa mengikuti kelas seni lukis milik Pak Nyoman.
Perempuan desa juga berperan dalam wisata budaya. Mereka mengajarkan cara membuat canang sari dan memberi sambutan dengan tari tradisional. Semua masyarakat punya peran dalam pengembangan Desa Wisata Ekologis Nyambu.
Ada dua kegiatan utama di desa ini. Salah satunya susur sawah. Kamu bisa menyusuri sawah sejauh dua kilometer. Di perjalanan, kamu belajar tentang sistem sawah tradisional Bali. Di dekat pintu air setiap petak sawah, terdapat pura kecil bernama pelinggih. Di sinilah para petani meletakkan sesajian untuk memohon berkah panen. Kamu juga bisa melihat lebih dekat tbagaimana sistem irigasi subak.
Aktivitas kedua adalah susur budaya. Kamu bisa mengenal adat, budaya, dan religi di desa ini. Bisa belajar tentang peran tiap pura di Desa Nyambu. Nah, pura yang paling bersejarah adalah Pura Rsi yang telah berusia ratusan tahun. Pura ini dibangun seorang pendeta atas permintaan warga Dusun Mundeh untuk menghilangkan wabah penyakit dan bencana.
Uniknya, sebelum memulai Susur Budaya, kamu akan didoakan di pura. Selain itu, disambut dengan Tari Pendet oleh para pemuda desa. Setelah itu, kamu bisa berkeliling desa naik sepeda atau bermain di sawah.
2. Desa Les, Bali

Ketika liburan ke Bali, kamu lebih sering melipir ke Canggu atau Kuta, kali ini cobalah ke Desa Wisata Les di Buleleng, Bali Utara. Suasananya lebih tenang dan autentik khas Bali. Desa tua ini dinobatkan sebagai Desa Wisata Terbaik dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia 2024.
Di sini, kamu bisa melihat kehidupan lokal yang masih memegang tradisi leluhur. Kamu juga bisa menikmati kuliner khas pedesaan dan mencoba pengalaman unik yang gak akan kamu temukan di destinasi wisata Bali lainnya.
Desa Les memiliki sejarah panjang. Tradisi leluhur di sana pun masih dijalankan. Suasananya jauh dari keramaian. Lokasi desa ini juga dekat pantai. Kamu bisa melihat ladang garam khas Desa Les. Garam mereka dibuat menggunakan batang kelapa sebagai media pengering. Hasilnya lebih sehat dan sudah diakui pasar internasional, lho. Rasanya asin dengan sedikit manis dan pahit.
Dekat ladang garam, kamu bisa makan di Warung Tasik. Tempat makan semi outdoor dan bisa menikmati pemandangan pantai. Kamu bisa mencicipi berbagai macam kuliner khas Bali, seperti blayag, laklak, bubur sumsum, buah-buahan, teh, hingga kopinya yang ciamik.
Nah, jika ingin melihat aktivitas warga lokal secara langsung, kamu harus keluar saat pagi hari. Inilah waktu terbaik untuk melihat perahu nelayan tradisional. Mereka melaut untuk mencari ikan tuna segar. Ikan tangkapan itu kemudian diolah menjadi sajian khas yang menggugah selera.
Kamu bisa menikmati hasil tangkapan nelayan di Dapur Bali Moela. Salah satu tempat makan rekomendasi TasteAtlas ini menyajikan kuliner Desa Les dengan teknik masak tradisional. Menunya mengikuti hasil tangkapan hari itu juga, sehingga segar. Uniknya, tidak ada harga per menu. Jadi, mereka menerapkan sistem donasi minimal Rp100 ribu per orang.
IDN Times pun berkesempatan mengunjungi Dapur Bali Moela pada 30 Juli 2025. Ada sajian tuna, sate ikan kue, ikan GT, cumi bumbu Bali, sop ikan barakuda, sambal matah, usus perut ikan GT, dan cincau hijau khas mereka. Semua dimasak dengan metode slow cooking tanpa penyedap buatan. Tempat makan ini memiliki konsep menyerupai rumah tradisional dengan dapur terbuka. Kamu bisa melihat proses memasak dari dekat dan berinteraksi dengan chef.
Kamu juga bisa belajar memasak dari Chef Jero Yudi, pemilik Dapur Bali Moela. Di sini, kamu bisa melihat proses pembuatan gula cair dari lontar. Ada sekitar 200 kendi arak diolah saat musim panas. Kalau mau mencicipinya, kamu harus datang langsung. Araknya dijual dalam botol 750 ml seharga Rp150 ribu.
Soal penginapan, gak perlu khawatir. Kamu bisa menginap di Kampung Tetangga yang letaknya masih satu area dengan Dapur Bali Moela. Konsepnya rumah pedesaan yang asri. Kamarnya bersih, kamar mandinya luas dengan shower semi outdoor, staf ramah, udara segar, dan pemandangannya indah.
3. Pabrik Siropen

Kota Lama Surabaya dikenal sebagai kawasan bersejarah yang penuh bangunan peninggalan kolonial. Seiring perkembangan zaman, area ini makin hidup sebagai destinasi wisata yang selalu dipadati warga Surabaya maupun pelancong luar kota.
Salah satu daya tarik paling ikoniknya adalah Pabrik Siropen, pabrik sirup pertama di Indonesia yang berdiri sejak 1923 dan masih bertahan hingga sekarang. Keunikan pabrik ini terlihat dari proses produksinya yang tetap manual, mulai dari mengolah bahan, memasak, mendiamkan di dalam guci, hingga tahap pengemasan yang hanya memakan waktu sekitar dua hari. Bahkan, soal rasa, Siropen tetap mempertahankan keautentikannya sejak dulu.
Varian Telasih hadir dalam tujuh pilihan klasik seperti mawar, coco pandan, frambosen, leci, hingga vanila dan dibanderol Rp28 ribu per botol. Yang terbaru , ada juga varian premium dengan 19 rasa yang harganya Rp35 ribu serta sirup khusus untuk hotel, restoran, dan kafe.
Setiap harinya, produksi bisa mencapai seribu botol, dengan satu guci menghasilkan sekitar 150 botol. Untuk menjangkau generasi muda, pihak pabrik kini aktif memasarkan produknya lewat media sosial, agar semakin banyak orang mengenal sirup legendaris kebanggaan Surabaya ini.
Menariknya lagi, bangunan pabrik ini sudah menjadi salah satu cagar budaya berdasarkan Surat Keputusan (SK) cagar budaya itu dikeluarkan wali kota Surabaya bernomor 188.45/75/436.1.2/2015. Yang artinya, bangunan ini benar-benar dijaga keautentikannya, tidak boleh ada perubahan sedikit pun.
Tak heran banyak pengunjung yang datang bukan hanya untuk membeli sirup favorit mereka, tetapi juga untuk melihat langsung bangunan tua yang masih bertahan hingga saat ini. Saat berkunjung, wisatawan juga bisa mencicipi beberapa varian rasa karena terdapat stan minuman Siropen yang dibanderol mulai hanya Rp8.000 saja.
Kunjungan ke Pabrik Siropen tak hanya memberi pengalaman mencicipi sirup klasik sekaligus tertua di Indonesia, tetapi juga menggambarkan bagaimana sebuah industri kecil dapat bertahan bertahun-tahun lamanya. Di sinilah perjalanan berubah menjadi sebuah pengalaman yang bermakna, di mana wisata yang tidak mengejar FOMO atau viral, melainkan perjalanan memahami cerita, budaya, dan nilai yang membentuk Surabaya dari masa ke masa.
4. Kampung Lontong Surabaya
Kampung Lontong Banyu Urip menjadi salah satu kampung paling unik di pusat Kota Surabaya. Sesuai namanya, kawasan ini dikenal sebagai sentra penghasil lontong yang jadi bahan dasar penting berbagai kuliner favorit warga Kota Pahlawan.
Hampir seluruh warganya menggantungkan hidup dari pembuatan lontong. Setiap harinya, aroma daun pisang yang dikukus, tumpukan karung beras, dan deretan panci besar yang mengepul jadi pemandangan khas yang menyambut siapa pun yang datang.
Sebagai sentra produksi lontong yang sudah melegenda, Kampung Lontong memiliki visi untuk mempertahankan tradisi lama sambil menyesuaikan diri dengan teknologi dan pemasaran modern. Mereka ingin tetap autentik, tetapi tetap relevan di tengah perubahan zaman.
Melalui misinya, kampung ini bertekad melestarikan budaya lokal, mendorong inovasi, memberdayakan masyarakat, dan menerapkan prinsip ramah lingkungan. Semua proses produksi menggunakan bahan alami dan dilakukan secara gotong royong, agar manfaat ekonominya kembali kepada warga.
Sebelum terkenal sebagai kampung lontong, kawasan ini justru sempat dijuluki “Bog Tempe” pada era 1960-an. Warga kala itu dikenal piawai membuat tempe dan memasarkannya ke berbagai daerah. Sayangnya, produksi tempe perlahan menurun pada 1970-an akibat persaingan pasar, tidak adanya regenerasi, dan minimnya lapangan kerja.
Melihat peluang baru, warga kemudian beralih ke produksi lontong. Permintaan pasar yang terus meningkat membuat perubahan ini menjadi langkah tepat. Dalam sehari, satu rumah bisa menjual hingga ratusan lontong, bahkan mencapai 2.000 lontong saat momen besar, seperti hari raya. Tradisi ini terus bertahan dan menjadi identitas kuat Kampung Lontong sampai hari ini.
Popularitas Kampung Lontong ini makin melejit setelah banyak public figure berkunjung, tak terkecuali chef terkenal seperti Arnold Poernomo dan para pejabat. Para wisatawan bisa melihat langsung proses produksi, belajar membuat lontong langsung dari perajin lokal, serta membeli lontong sebagai buah tangan.
Pengalaman ini menawarkan sudut pandang berbeda tentang Surabaya yang tidak hanya modern, tetapi juga punya tradisi kuliner kuat yang masih hidup di tengah permukiman padat.
Kampung Lontong Banyu Urip menjadi contoh bagaimana sebuah destinasi sederhana bisa memberi pengalaman bermakna. Wisatawan tidak hanya singgah dan mengambil foto, tetapi juga belajar tentang ketahanan ekonomi lokal, gotong royong, hingga peran warga setempat dalam menjaga warisan kuliner.
5. Kampung Herbal Surabaya
Selain Kampung Lontong, ada lagi satu kampung yang tak kalah menarik untuk dijelajahi, namanya Kampung Herbal. Kampung yang berada di RT 09/RW 05 Kelurahan Nginden Jangkungan ini berhasil mengembangkan tanaman empon-empon atau herbal di Surabaya. Warga setempat sudah lama menanam berbagai tanaman toga yang dikenal bermanfaat untuk meningkatkan imunitas tubuh, jauh sebelum pandemik COVID-19 muncul.
Budidaya tanaman herbal ini sudah dimulai sejak bertahun-tahun lalu dan semakin aktif pada 2015. Lahan yang dulunya berupa rawa milik Pemerintah Kota Surabaya sering menjadi sarang nyamuk penyebab demam berdara, kemudian disulap warga menjadi taman herbal yang tertata rapi. Setidaknya ada 172 jenis tanaman herbal yang dibudidayakan, mulai dari jahe, kunyit, temulawak, hingga ragam tanaman lain yang biasa dipakai untuk menjaga daya tahan tubuh.
Menariknya, seluruh proses pembibitan dilakukan secara swadaya, dengan pembagian tugas antarwarga yang terorganisir. Hasilnya tak hanya diolah menjadi minuman herbal, seperti sinom dan temulawak, tetapi juga dijual sebagai bibit untuk menambah pendapatan warga.
Popularitas kampung herbal ini pun kian meningkat. Tak hanya masyarakat lokal, banyak pengunjung dari luar kota, bahkan wisatawan asing datang untuk belajar pembibitan tanaman herbal secara langsung. Setiap kunjungan akan ditemani pemandu yang siap menjelaskan manfaat dan cara pengolahan tiap tanaman.
Sebagai tambahan, wisatawan bisa mencoba berbagai aktivitas seru, seperti tur edukatif mengenal tanaman herbal, melihat proses pembuatan minuman herbal, hingga membeli bibit atau produk olahan langsung dari warga.
Aktivitas seperti ini cocok banget untuk traveler yang menginginkan perjalanan yang lebih bermakna, selaras dengan konsep purposeful travel yang fokus pada pembelajaran, keberlanjutan, dan keterhubungan dengan masyarakat lokal. Salah satu inovasi paling menarik adalah penggunaan sistem barcode pada sejumlah tanaman.
Saat ini, ada sekitar 60 jenis tanaman yang sudah terpasang barcode. Pengunjung cukup memindainya lewat smartphone untuk mengetahui nama latin, manfaat, hingga cara pengolahan tiap tanaman. Praktis dan edukatif banget, kan?!
6. Kampung Boneka Bandung

Kamu akan menemukan pengalaman berbeda saat berkunjung ke Kampung Boneka di Bandung. Lokasinya berada di Desa Sayati, Kecamatan Margahayu, Kabupaten Bandung.
Kawasan ini dikenal sejak 1980-an dan masih bertahan hingga sekarang. Mereka menawarkan harga boneka yang terjangkau dan kualitas produknya bagus. Sesuai namanya, kampung ini dihuni para perajin boneka. Sebagian besar sudah masuk generasi kedua.
Proses pembuatan boneka biasanya mengikuti pesanan. Para perajin menyiapkan bahan, membuat pola, memotong kain, menjahit, lalu mengisi, dan menutup jahitannya. Satu pesanan biasanya selesai dalam dua hari.
Harga boneka mulai dari Rp15 ribu-Rp250 ribu. Produk yang sudah jadi dikirim ke berbagai daerah di Indonesia atau dijual di toko-toko sekitar. Ada konsumen yang membeli untuk keperluan pribadi, ada juga yang menjual kembali.
Selain boneka kain, kamu juga bisa membeli boneka kayu. Produk ini dibuat Indra Audipriatna yang awalnya ingin memanfaatkan limbah kayu furnitur menjadi barang bernilai jual. Usahanya berkembang pesat dan kini menerima pesanan desain untuk perorangan. Boneka kayu di sana terbuat dari balok kayu mahoni yang dibentuk menjadi boneka dengan mesin pengukir. Setelah itu, diwarnai menjadi berbagai karakter kartun atau tema lainnya.
Proses kreatif ini dilakukan di industri rumahan yang bernama KayaKayu. Lokasinya berada di Gang Pesantren Tengah Nomor 6, Cigadung, Kecamatan Cibeunying Kaler, Bandung. Kamu bahkan bisa membuat boneka dengan wajah sendiri. Ukurannya tersedia mulai dari 7 cm, 9,5 cm, dan 11 cm, tetapi kamu bisa meminta ukuran khusus.
Ada juga kelas membuat boneka kayu yang dimulai dari sketsa. Setelah sketsa jadi, kamu bisa mewarnainya dengan cat lukis. Satu boneka kecil selesai sekitar 30 menit. Harganya mulai dari Rp20 ribu-Rp175 ribu. Boneka kayu ini lebih tahan lama, ramah lingkungan, dan cocok dijadikan souvenir pernikahan.
7. Kampung Tempe Surabaya
Di Surabaya, ada satu kampung yang dikenal karena hampir seluruh warganya menggeluti profesi yang sama, yakni produsen tempe. Kampung ini berada di Jalan Tenggilis Kauman, Gang Buntu 27 RT 04/RW 03, Surabaya.
Sebenarnya, Kampung Tempe sudah populer sejak 1970-an dan dulunya dihuni lebih dari 200 perajin. Namun, seiring alih generasi, jumlah pembuat tempe menurun drastis hingga kini hanya tersisa lima orang saja. Meski demikian, kreativitas warga tetap berjalan.
Selain menjual tempe mentah, mereka juga mengembangkan olahan lain, seperti keripik tempe yang justru memiliki pasar lebih stabil dan menguntungkan. Warga setempat juga pernah mendapat pelatihan dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Surabaya untuk terus berinovasi. Misalnya membuat bakso tempe dan nugget tempe, agar nilai jualnya terus meningkat.
Sebagai wisatawan, kamu bisa berkeliling kampung ditemani aroma tempe yang baru difermentasi, melihat langsung proses pembuatan tempe dari awal hingga siap edar, belajar cara membuat tempe atau keripik tempe bersama warga, hingga berfoto di spot mural tempe yang estetik. Jika beruntung, kamu bisa membeli tempe atau keripik langsung dari pembuatnya yang rasanya jauh lebih fresh dibanding yang dijual di pasaran.
Berjalan menyusuri Kampung Tempe tidak hanya memberi pengalaman kuliner khas Surabaya, tetapi juga mengajak kamu memahami perjuangan perajin lokal yang masih mempertahankan kerajinan turun-temurun. Kunjungan seperti ini sejalan dengan konsep purposeful travel, di mana kamu turut mendukung komunitas setempat dan memberi dampak nyata bagi keberlangsungan usaha tradisional di tengah hiruk pikuk kota besar.
8. Pasar Pundensari Madiun

Bagi warga Madiun dan sekitarnya, keberadaan Pasar Pundensari bukanlah hal yang asing lagi. Pasar yang dibuka sejak 7 April 2019 ini tumbuh dan berkembang menjadi destinasi wisata, sekaligus tempat pelesatarian budaya Jawa. Lokasinya berada di Dusun Pelempayung, Desa Gunungsari, Kecamatan Madiun, Kabupaten Madiun. Buka setiap hari Minggu pukul 06.00-11.00 WIB.
Semula, tempat ini merupakan area punden yang disakralkan masyarakat setempat. Pundennya berupa empat pohon utama yang menjadi penanda titik peradaban, yakni pohon tuba, pohon tanjung, pohon mangga, dan pohon kemiri. Di sekitar pepohonan tersebut, terdapat sebuah pendopo dan tempat lapang yang jarang digunakan.
Melalui diskusi panjang, muncullah gagasan dari Pokdarwis Setopuro (Kelompok Sadar Wisata Sentono Taruno Puroboyo) untuk memanfaatkan area punden tersebut menjadi tempat yang bermanfaat untuk masyarakat. Mereka juga dilibatkan dan menjadi pengisi stand makanan untuk meningkatkan perekonomian.
Pasar Pundensari mengusung konsep nuansa pedesaan tempo dulu. Para penjual, baik laki-laki maupun perempuan, mengenakan pakaian tradisional Jawa, seperti kebaya dan baju motif lurik. Untuk kulinernya, pengunjung bisa membeli beragam makanan dan minuman tradisional. Mulai dari nasi pecel, buntil, nasi tiwul, nasi urap, tahu campur, lontong, nasi sambal tumpang, bubur sumsum, nasi gudeg, othok-othok bandeng, lontong opor, aneka jajanan pasar, aneka gorengan, es dawet, wedang cemue, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Hal unik yang menarik perhatian pengunjung saat berkunjung ke sini adalah transaksi pembayarannya menggunakan token bambu. Token ini dapat ditukar di loket pintu masuk dan memiliki beberapa warna berbeda-beda melambangkan setiap pecahan uang. Misalnya bambu kuning untuk nominal Rp5.000 dan bambu hijau Rp10.000.
Pengunjung juga akan dibuat terpesona dengan komitmen Pasar Pundensari terhadap lingkungan, yakni tidak menggunakan plastik sebagai wadah atau pembungkus makanan. Piring bambu, daun pisang, dan daun jati menjadi wadah utama yang digunakan pengunjung untuk menikmati sarapannya. Bahkan, wadah es dawetnya menggunakan batok kelapa. Unik banget, kan?
Asyiknya lagi, pengunjung Pasar Pundensari akan disuguhi berbagai pertunjukan live music yang melantunkan lagu-lagu Jawa, baik tradisional atau modern. Pada momen-momen tertentu, akan ada atraksi tari, pencak silat, dan kegiatan budaya lainnya.
9. Kampung Abon Padmosusastro Surabaya
Di balik tingginya gedung-gedung modern dan tinggi di Surabaya, terdapat sebuah kampung yang menghasilkan abon berkualitas dan disukai banyak orang. Namanya Kampung Abon Padmosusastro yang terletak di Jalan Padmosusastro, Kelurahan Pakis, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya.
Masyarakat di kampung ini merupakan produsen abon legendaris. Salah satunya adalah rumah Ibu Sarti sebagai orang yang pertama kali menggagas bisnis kuliner ini pada 1995. Semula, Bu Sarti adalah ibu rumah tangga biasa yang bekerja sebagai buruh masak. Kemudian, ia belajar membuat abon, meramu resep terbaik, hingga akhirnya bisa mendirikan usaha dengan merek Abon Sapi Bu Sarti.
Varian abon yang diproduksi Abon Sapi Bu Sarti ini adalah manis dan pedas dengan kualitas terjamin dan bisa awet sekitar enam bulan, jika disimpan dengan tepat. Siapa pun dijamin ketagihan, apalagi saat disantap dengan nasi putih hangat. Pembelinya pun tidak hanya orang Surabaya, tetapi juga dari berasal dari Jakarta, Balikpapan, Medan, bahkan ada dibawa ke luar negeri.
Orang-orang yang dulu bekerja dengan Bu Sarti, bahkan anaknya sendiri, kemudian mendirikan usaha abon mandiri di sekitar rumah beliau. Karena hal inilah, kawasan ini ditetapkan sebagai Sentra Abon sejak 2012. Kamu bisa berkunjung ke Kampung Abon ini, melihat langsung proses pembuatan abon sapi, hingga belajar memasak abon sapi secara langsung. Pengalaman seru dan berharga akan kamu dapatkan. Jangan lupa borong abonnya juga, ya!
10. Walking Tour Pasar Baru, Jakarta

Untuk warga Jakarta dan sekitarnya, atau kamu yang ingin wisata urban, bisa ikut walking tour. Salah satunya bersama komunitas Jakarta Good Guide. Mereka menawarkan pengalaman menjelajahi Jakarta dengan berbagai rute.
Fokusnya pada sejarah, budaya, dan kehidupan lokal. Gak perlu khawatir soal tarifnya, sistem pembayaran mereka sukarela, lho. Kegiatan ini bisa mengurangi emisi karbon, karena traveling tanpa kendaraan. Kamu juga bisa berkontribusi mendukung UMKM yang belum banyak orang tahu.
IDN Times mengikuti walking tour di Pasar Baru, Jakarta Pusat, pada 9 Desember 2025. Kawasan Pasar Baru berdiri sejak 1820. Lokasinya strategis karena dekat kawasan elit, pusat pemerintahan, dan perdagangan.
Kamu bisa mengeksplorasi berbagai spot bersejarah. Perjalanan dimulai dari pertokoan di Pasar Baru. Kamu akan melewati gapura ikonik dari batu bata berwarna oranye bertuliskan Passer Baroe yang didirikan pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1820.
Gapura tersebut menjadi pintu masuk pusat perbelanjaan tertua di Jakarta. “Gerbang pintu masuk pasar baru ini dari jaman dulu dan kokoh banget,” kata pemandu Jakarta Good Guide, Darma Pratama, di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, pada 9 Desember 2025.
Masuk ke jalur pertokoan, kamu menemukan toko baju, alat musik, sepatu, bangunan tua, dan kuliner legendaris. Ada toko es krim Tropic yang berdiri sejak 1951. Tokonya berada di ruko tua dengan suasana vintage.
Ada juga Toko Kompak yang ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya sejak 2022. Dahulu tempat tinggal seorang kapitan, pemimpin komunitas etnis Tionghoa. Bangunan ini sudah ada sejak abad ke-19.
Masuk lebih dalam, kamu menemukan Gang Kelinci. Nama gang ini diambil dari judul lagu Titiek Puspa. “Jadi, menggambarkan tempat yg sempit tapi pertumbuhannya cepat, lalu diadopsi sebagai nama gang ini,” kata Darma.
Di Gang Kelinci, kamu bisa menemukan banyak tempat makan hidden gem. Salah satunya Bakmi Gang Kelinci yang berdiri sejak 1957. Ada juga Cakue Ko Atek yang sudah ada sejak 1971. Mereka menjual cakwe dan kue bantal yang digoreng dadakan. Minyaknya dari kelapa, agar rasanya tetap terjaga. Harga satuannya Rp7.000 dengan minimal pembelian lima buah.
Jangan lupa mampir ke Toko Roti Bistro yang berdiri sejak 1980-an. Tempatnya kecil, tetapi selalu ramai. Menu best seller mereka adalah Roti Sobek Lima Rasa, Keju, dan Cokelat. Harganya Rp6.000 sampai Rp18 ribuan. Rotinya disajikan dalam keadaan hangat.
Kalau ingin ngopi, kamu bisa ke Toko Kopi Maru. Kafe ini menempati gedung tua bergaya art deco yang sudah berusia puluhan tahun. Lokasinya tersembunyi di ujung gang. Bangunannya mempertahankan eksterior lama. Daya tariknya ada pada sejarah dan nilai budayanya, bukan estetika. Kamu bisa menikmati kopi, non-kopi, dan camilan dengan harga mulai Rp25 ribuan.
Selanjutnya, kamu bisa mampir ke Museum Graha Bhakti ANTARA, kantor berita pertama yang menyebarkan informasi kemerdekaan Indonesia. Bangunannya berwarna putih dan menjadi cagar budaya kelas A. Koleksi fotonya diganti berkala. Tidak ada tiket masuk alias gratis.
Terakhir, kamu bisa mengunjungi Kelenteng Sin Tek Bio yang berdiri sejak 1698. Lokasinya di gang sempit. Meski terhimpit gedung-gedung tinggi dan terpencil, kelenteng ini tetap ramai pengunjung. Kata Darma, lampion yang terpasang merupakan donasi warga.
Tujuan terakhir adalah GPIB PNIEL atau Gereja Ayam. Disebut demikian karena ada simbol ayam di atas gedung. Gereja ini dibangun pada 1913. Semua yang ada di dalamnya masih asli. “Dulu yang datang cuma kalangan menengah ke bawah, biasanya orang-orang lansia yang datang ke sini,” ucap Darma.
Seorang traveler, Ernia Karina, mengatakan purposeful travel akan menjadi 'tren liburan.' Sesuai namanya, liburan kita akan jadi punya makna tertentu untuk keberlangsungan lingkungan dan masyarakat lokalnya.
Destinasi pertama yang ingin dia kunjungi sebagai purposeful travel yakni Wae Rebo yang berada di Kabupaten Manggarai, Pulau Flore, Nusa Tenggara Timur. Menurut dia, Wae Rebo merupakan pioneer desa wisata di Indonesia yang masih alami hingga saat ini. "Kita bisa berbaur dan tinggal bersama warga lokal, mempelajari budaya mereka secara langsung, gak ada internet, jadi beneran bisa mindful dan merasakan culture aslinya," tutur wanita berusia 36 tahun tersebut.
aku tuh jujur pengen ke wae rebo, karena bener2 desa wisata yang masih alami. karena merupakan pionerr desa wisata di indo. sudah terkenal. utk ke sana juga masih sangat alami, bisa jalan kaki atau naik ojek. di sana bener2 tidak ada tinggal lain, hanya ada rumah warga yg masih rumah asli. harus live in di sana. makan dan mandi di sana. berbaur dg culture di sana. gak ada internet.
Dia berharap ketika mengunjungi Wae Rebo, dia akan memiliki standar soal desa wisata yang masih alami dan menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia.
Demikian deretan destinasi yang menawarkan kebermaknaan dari sebuah perjalanan, mengutamakan nilai-nilai budaya, sejarah, dan pemberdayaan masyarakat lokalnya yang akan terangkai dalam cerita wisata. Perjalananmu akan jauh lebih bermakna, baik untuk dirimu sendiri, maupun lingkungan sekitar dan masyarakat lokalnya, bukan lagi berfokus pada konten demi meraup ratusan, bahkan jutaan likes di media sosial.
Jadi, destinasi mana yang ingin kamu kunjungi selama 2026? Atau kamu punya ide destinasi purposeful travel lainnya? Bagikan pendapatmu di kolom komentar, ya!


















