Tentara Pembebasan Rakyat menduduki Presidential Palace di Nanjing (picryl.com/Wikimedia Commons)
Pasca kekalahan Jepang di Perang Dunia II, Nanjing kembali menjadi ibukota Republik Tiongkok sekaligus markas utama Partai Nasionalis. Di saat yang sama, tahun 1945 menandai kebangkitan kekuatan lain dari wilayah pedesaan Tiongkok bagian utara, yaitu Partai Komunis.
Partai Komunis semula hanya menguasai sekitar sepersepuluh dari wilayah Tiongkok. Secara mengejutkan, angka ini bertambah hingga sepertiga wilayah pada tahun 1948. Satu-satunya wilayah yang belum dikuasai oleh Partai Komunis adalah daerah-daerah di seberang Sungai Yangtze, di antaranya Nanjing dan Shanghai.
Di saat yang sama, pemerintahan Nasionalis di bawah Chiang Kai-shek diwarnai ketidakstabilan ekonomi dan protes dari berbagai kalangan pekerja. Situasi ini berujung pada mundurnya Chiang Kai-shek dari kursi presiden dan digantikan oleh Li Tsung-jen.
Mao Zedong selaku pimpinan Partai Komunis beberapa kali menawarkan kesepakatan damai kepada Li Tsung-jen dengan beberapa syarat, salah satunya menjadikan Mao sebagai presiden dan Li Tsung-jen sebagai wakil untuk pemerintahan transisi. Karena Li Tsung-jen menolak kesepakatan yang ditawarkan, Partai Komunis melalui Tentara Pembebasan Rakyat memulai operasi militer untuk menguasai Nanjing dan kota-kota di sekitar Sungai Yangtze. Pada 24 April 1949, Nanjing secara resmi jatuh ke tangan Partai Komunis dan mengakhiri pemerintahan Partai Nasionalis.
Walaupun Beijing dipilih sebagai ibukota Republik Rakyat Tiongkok sejak 1 Oktober 1949, Nanjing tercatat dalam sejarah sebagai tempat berakhirnya kekuasaan Partai Nasionalis melalui pembentukan Republik Tiongkok. Dalam perjalanannya, Nanjing tumbuh menjadi kota modern dan metropolitan, ditandai dengan berdirinya berbagai instansi serta fasilitas publik seperti Nanjing University of Science and Technology, Wu Taishan Sports Center, Nanjing Railway Station, juga Nanjing Lukou International Airport.