Delapan tahun berturut-turut, pertunjukan jazz tertinggi di Indonesia, Jazz Gunung, aku lewatkan. Entah karena waktunya yang tak tepat, atau malah dananya yang terbatas. Padahal, menurut pengunjung yang rutin datang, perhelatan musik berkelas ini begitu sayang dilewatkan begitu saja. Performer, ambience, tata panggung, dan penonton yang berasal dari beragam latar belakang menjadi alasan mengapa penyuka musik dan pecinta alam harus rela datang dari jauh, berbaur bersama dalam satu ruang terbuka, untuk menikmatinya.
Dengan tabungan terbatas, awal Agustus, kuputuskan membeli tiket pesawat dari Jakarta menuju Surabaya. Kupilih dengan harga yang paling murah, penerbangan 18 Agustus, dinihari. Subuh-subuh, burung besi itu membawaku terbang dari barat Jawa menuju timur. Sampai di Bandara Internasional Juanda Surabaya, tim Jazz Gunung menjemput.