Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Potret suasana di Pasar Pundensari, Desa Wisata Gunungsari, Madiun
Potret suasana di Pasar Pundensari, Desa Wisata Gunungsari, Madiun (IDN Times/Fasrinisyah Suryaningtyas)

Bagi sebagian orang, Minggu pagi menjadi waktu yang tepat untuk bersantai, quality time bareng keluarga di rumah, atau melakukan hobi dan kegiatan yang tak sempat dikerjakan pada hari-hari biasa. Namun, bagi masyarakat Desa Wisata Gunungsari, Madiun, Minggu adalah momen untuk "nguri-nguri" atau menjaga, merawat, dan melestarikan budaya Jawa di sebuah pasar tradisional bernama Pasar Pundensari.

Di tengah geliat modernisasi yang kian pesat, Pasar Pundensari hadir sebagai ruang temu yang merawat denyut tradisi sekaligus menggerakkan roda ekonomi warga. Bukan sekadar tempat jual beli, pasar yang pertama kali dibuka pada 14 April 20219 ini menjelma sebagai panggung hidup untuk seni budaya lokal, wadah interaksi sosial, dan cermin kearifan lokal yang diwariskan lintas generasi.

Dari aroma jajanan tradisional, tarian massal, hingga alunan musik dan kesenian rakyat, pasar yang hanya buka pada hari Minggu pagi ini menghadirkan cerita tentang identitas, kebersamaan, serta keberlanjutan budaya di tengah perubahan zaman.

Hal ini sejalan dengan purposeful travel yang kian diminati banyak orang. Konsep ini menawarkan pengalaman yang lebih dalam, yakni berinteraksi dengan masyarakat lokal, memahami budaya setempat, sekaligus memberi dampak positif bagi lingkungan dan ekonomi warga. Kunjungan ke Pasar Pundensari bukan hanya pengalaman wisata, tetapi juga proses belajar dan berbagi nilai bersama komunitas setempat.

IDN Times berkesempatan untuk mengunjungi Pasar Pundensari pada Minggu (14/12/2025). Simak keseruannya berikut ini, yuk!

1. Suasana tempo dulu di Pasar Pundensari Madiun

Potret Pasar Pundensari di Desa Wisata Gunungsari, Madiun (IDN Times/Fasrinisyah Suryaningtyas)

Tak ada hal istimewa saat memasuki kawasan Desa Wisata Gunungsari, hanya sebuah gerbang bertuliskan nama desa dan papan petunjuk menuju Pasar Pundensari. Posisinya yang berada di tepi Jalan Raya Madiun-Caruban membuatnya mudah ditemukan.

Beberapa meter dari gerbang utama, terparkir belasan mobil. Dua orang petugas berpakaian adat Jawa langsung menyambut dan mengarahkan pengendara mobil dan motor ke tempat yang disediakan.

Dari tempat parkir tersebut, langsung terdengar suara atau keriuhan khas pasar. Di balik dinding bambu bertuliskan "Pasar Pundensari," orang-orang sedang duduk lesehan dan terlihat santai di depan pendopo. Ada yang mengobrol, sarapan, berfoto, hingga mengawasi anak-anak yang sedang bermain.

Sementara itu, di bagian bagian kiri dari pintu masuk terdapat sebuah panggung sederhana. Beberapa orang sedang bersiap untuk mengatur pengeras suara dan menata alat musik, serta mengecek microphone, pertanda bahwa mereka akan menyanyi atau mengadakan live music untuk menghibur pengunjung di sini.

Potret pedagang sedang menari di Pasar Pundensari, Desa Wisata Gunungsari, Madiun (IDN Times/Fasrinisyah Suryaningtyas)

Di seberang panggung merupakan "nyawa" dari Pasar Pundensari, yakni stand kuliner yang menyajikan beragam makanan dan minuman tradisional. "Ada 24 stand, tapi yang saat ini terisi hanya 18," ujar inisiator Desa Wisata Gunungsari, Bernardi S. Dangin, saat ditemui IDN Times di Pasar Pundensari, Minggu (14/8/2025).

Stand atau booth tersebut terbuat dari bambu dengan atap pelepah kelapa, membuat suasana jadi seperti di pasar-pasar zaman dulu. Pedagang tersebut merupakan warga dari Desa Gunungsari. "Kami membuka kesempatan seluas-luasnya untuk warna Gunungsari menjadi pedagang (di sini)," ujarnya.

Dari stand depan hingga belakang, penulis melihat beragam jenis makanan dan minuman yang menggugah selera. Di antaranya seperti nasi jagung, mangut lele, mangut nila, gudeg, sego manten, sop manten, garang asem, aneka jenang atau bubur, es dawet, es gempol, es janggelan, es susu tape, ketan ireng, klepon, jongkong, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Uniknya lagi, para pedagang yang menjual makanan dan minuman di sana mengenakan pakaian tradisional. Kaum perempuan dengan kebaya dan bawahan jariknya, sementara laki-laki dengan baju luriknya dan ada pula yang mengenakan beskap modern. Tak lama setelah penulis datang, para pedagang menuju halaman utama dan mereka menari bersama. Seru banget, ya?

2. Penggunaan uang bambu sebagai sistem pembayaran

Potret uang bambu untuk transaksi jual beli di Pasar Pundensari, Desa Wisata Gunungsari, Madiun (IDN Times/Fasrinisyah Suryaningtyas)

Selain kuliner dan suasananya, keunikan dari Pasar Pundensari ini adalah penggunaan uang bambu sebagai alat pembayaran atau transaksi jual-beli. Untuk mendapatkan uang ini, pengunjung harus menukarnya dengan uang rupiah di loket yang terletak persis di samping gerbang masuk Pasar Pundensari.

Setiap uang bambu memiliki warna yang melambangkan mata uang. Contohnya, warna putih setara dengan Rp2.000, kuning Rp5.000, hijau Rp10.000, dan merah Rp20.000. Saat membeli makanan atau minuman, uang bambu harus diserahkan kepada penjual. Penjual akan memberikan kembalian apabila nominalnya lebih dari jumlah makanan atau minuman yang dibeli.

Potret penjual dan pembeli di Pasar Pundensari, Desa Wisata Gunungsari, Madiun (IDN Times/Fasrinisyah Suryaningtyas)

Bernardi menuturkan ada tiga alasan khusus di balik penggunaan uang bambu di Pasar Pundensari. Pertama, hal yang "dijual" dari uang tersebut adalah kenangan dan nostalgia.

"Generasi yang lahir tahun 80-an, 90-an, itu masa kecilnya pasti pernah ngerasain temannya jualan, kita yang pura-pura beli pakai daun," ujar Bernardi. Dalam konsep "dolanan" masyarakat Jawa, permainan ini disebut sebagai pasaran.

Alasan kedua, menurut Bernardi, uang bambu menjadi alat kontrol pengelola terhadap pedagang. "Jadi, kami bisa tahu berapa omset pedagang. Setiap pukul 11.00 WIB, kegiatan pasar selesai dan pedagang akan menukar uang bambu yang didapat kepada pihak pengelola. Omset yang didapat pada hari itu akan dicatat. Sejak pasar pertama kali dibuka, per pedagang itu kami punya datanya," kata pria yang akrab disapa Pak Bernard ini.

Terakhir, bentuk uang bambu yang seperti es krim dengan warna-warni cerah ini akan menarik anak kecil, terutama balita. Mereka menganggapnya sebagai mainan.

Biasanya, jika tidak habis untuk bertransaksi, uang bambu tersebut dapat ditukarkan kembali di loket penukaran. Namun, anak-anak yang tertarik kepada benda tersebut akan meminta kepada orang tuanya untuk membawa uang bambu tersebut pulang. "Bagi dia, ini menjadi souvenir dan bagi kami menjadi income, karena sama saja kami jualan uang bambu itu," ujarnya.

3. Mengusung konsep ramah lingkungan

Potret besek untuk membungkus makanan di Pasar Pundensari, Desa Wisata Gunungsari, Madiun (IDN Times/Fasrinisyah Suryaningtyas)

Pasar Pundensari juga mengusung konsep ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan menerapkan kebijakan zero plastic. Alat makan yang digunakan berupa piring bambu yang dilapisi daun pisang atau menggunakan piring peling yang nantinya bisa ducuci. Sendok yang digunakan juga terbuat dari stainless steel dan tidak boleh menggunakan sendok plastik.

Wadah minumannya juga menggunakan gelas atau mangkuk beling. Untuk beberapa jenis minuman, seperti es dawet, penjual menggunakan batok kelapa. Para pengunjung, terutama yang sudah paruh baya atau berusia lanjut, akan diajak bernostalgia saat menyantap minuman dengan wadah tersebut.

Untuk makanan atau jajanan yang akan dibawa pulang, penjual menyediakan besek atau wadah kotak yang terbuat dari bambu. Pengunjung juga boleh membawa wadah sendiri dari rumah untuk mengurangi adanya sampah.

4. Kegiatan dan paket wisata di Desa Wisata Gunungsari

Potret interaksi penjual dan pembeli di Pasar Pundensari, Desa Wisata Gunungsari, Madiun (IDN Times/Fasrinisyah Suryaningtyas)

Rupanya, Pasar Pundensari hanya satu dari sekian banyak atraksi atau paket wisata yang ditawarkan Desa Wisata Gunungsari. Desa ini memiliki banyak potensi wisata, baik itu dari segi alam, seni, budaya, dan sejarah. Mengusung konsep community based tourism, pengelola Desa Wisata Gunungsari telah tumbuh dan berkembang bersama masyarakat setempat selama hampir satu dekade.

Pengunjung yang datang ke sini tidak hanya belanja di pasar dengan konsep tempo dulu atau melihat sawah di kampung pada umumnya, tetapi juga belajar budaya dan kearifan lokal, hingga menginap di homestay atau rumah warga setempat. Ada pun paket wisata ditawarkan oleh Desa Wisata Gunungsari, sebagai berikut:

  1. Paket Wisata Edukasi Budaya Jawa A (1 Day Tour),

  2. Paket Wisata Edukasi Budaya Jawa B (Live In 1 Night),

  3. Paket Wisata Edukasi Budaya Jawa C (Live In 2 Night),

  4. Paket Wisata Edukasi Manuskrip Aksara Jawa Lontar,

  5. Paket Wisata Kelas Memasak Rajamangsa Mantyasih,

  6. Paket Wisata Pengolahan Sampah Organik,

  7. Paket Wisata Pengolahan Sampah Anorganik,

  8. Paket Wisata Pirolisis Sampah Plastik,

  9. Paket Wisata Batik (Tulis dan Ecoprint),

  10. Paket Wisata Budidaya Maggot BSF,

  11. Paket Wisata Budidaya Jangkrik,

  12. Paket Wisata Budidaya Tawon Lanceng,

  13. Paket Wisata Budidaya Merpati Kontes,

  14. Paket Wisata Budidaya Bibit Padi,

  15. Paket Wisata Budidaya Lele,

  16. Paket Wisata Pusaka Tosan Aji,

  17. Paket Wisata Kelas Memasak Bahan Olahan Singkong,

  18. Paket Wisata Kelas Memasak Bahan Olahan Ketan,

  19. Paket Wisata Kelas Memasak Bahan Olahan Pisang,

  20. Paket Wisata Kelas Memasak Bahan Olahan Tahu,

  21. Paket Wisata Festival Tahu Cap Go Meh (Live In 1 Night),

  22. Paket Wisata Festival Buncah Gunungan (Live In 1 Night), dan

  23. Paket Wisata Kirab Pusaka Pager Desa (Live In 1 Night).

Salah satu kegiatan menarik yang ditawarkan di sini adalah Paket Wisata Edukasi Budaya Jawa Live In. Wisatawan dari dalam dan luar negeri pernah mengikuti program ini. Mereka akan diajak belajar tentang budaya Jawa, mengikuti workshop, tinggal atau menginap di rumah warga, berinteraksi langsung, dan terlibat dalam kegiatan sehari-hari warga yang bersifat situasional. Artinya, beberapa kegiatan tidak sengaja dirancang dan mengalir begitu saja. Misalnya kegiatan kenduri warga, melayat, hajatan, atau bersih desa.

Selain itu, para peserta juga diajak untuk lebih dekat dengan alam. "Kita ajak juga melihat kondisi ekosistem sungai yang kita punya. Dikenalkan lagi tentang alam, dikenalkan lagi tentang hutan bambu, fungsinya hutan bambu kalau dalam ekosistem masyarakat pemukiman," ujar Bernardi.

Bernardi menambahkan pengetahuan tentang kearifan lokal yang sudah diturunkan dari nenek moyang ternyata memiliki arti yang sangat penting untuk masyarakat. Dalam petualangan melihat hutan bambu, wisatawan akan diberi tahu bahwa hutan tersebut berfungsi sebagai pemecah angin, terutama angin besar dan puting beliung. Angin tersebut tidak langsung menghantam kawasan pemikiman karena terhalang hutan bambu.

"Sebenarnya, secara lokal orang Jawa itu sudah mengantisipasi risiko-risiko kebencanaan. Namun, saat ini banyak orang melupakan itu semua," ujar Bernardi.

Potret Bernardi S. Dangin menunjukkan koleksi Museum Purabaya, Desa Wisata Gunungsari, Madiun, Minggu (14/12/2025) (IDN Times/Fasrinisyah Suryaningtyas)

Selain alam, Desa Wisata Gunungsari juga memiliki Museum Purabaya. Lokasinya tak jauh dari Pasar Pundensari, hanya berjalan kaki sekitar 3-5 menit. Memiliki bangunan berarsitektur joglo, museum ini juga menjadi kediaman pribadi Bernardi dan berfungsi sebagai homestay, terutama untuk wisatawan dari luar negeri.

Museum Purabaya ini diharapkan menjadi destinasi edukasi sejarah di wilayah Madiun Raya. Berbeda dengan museum pada umumnya yang memiliki koleksi sama selama bertahun-tahun, museum ini berkonsep tematik periodik. "Artinya, setiap enam bulan sekali koleksi yang dipajang akan disesuaikan dengan babak atau periodisasi sejarah di Madiun Raya," ujar Bernardi.

Untuk babak awal, dimulai dari era prasejarah dengan memamerkan koleksi berupa fosil binatang purba dan artefak manusia purba, zaman berburu dan meramu, era sejarah kerajaan dan kolonialisme, hingga pascakemerdekaan RI. Saat ke sana, penulis melihat ada fosil gading gajah purba, fosil rahang kuda nil, gigi hewan purba, dan beragam fosil binatang laut.

5. Dampak Pasar Pundensari dan Desa Wisata Gunungsari bagi masyarakat lokal

Potret Pasar Pundensari di Desa Wisata Gunungsari, Madiun (IDN Times/Fasrinisyah Suryaningtyas)

Pasar Pundensari dan Desa Wisata Gunungsari sudah eksis selama (hampir) tujuh dan sembilan tahun. Sejak berdiri hingga sekarang, keduanya memiliki dampak yang dirasakan secara nyata untuk masyarakat, terutama dalam hal sosial dan ekonomi. "Ekonomi jelas, ya. Bisa dilihat kegiatan pedagang di hari Minggu seperti ini, income yang mereka dapatkan (cukup banyak)," ujar Bernardi.

Beberapa orang pedagang di Pasar Pundensari memiliki usaha (jualan) di rumah, tapi pendapatan atau keuntungannya cenderung sedikit. Kalau berjualan di Pasar Pundensari, pendapatannya bisa 3-4 kali lipat dalam sehari.

"Jualan di rumah itu dari pagi sampai malam setiap hari, dapatnya segitu. Kenapa dapatnya sedikit? Karena pembelinya hanya orang lokal desa sini saja. Nah, di pasar, durasi (jualan) jam 6 sampai jam 11, yang datang orang dari luar kota, luar provinsi. Itu dampak ekonominya," tutur Bernardi.

Agar tidak memberatkan pedagang, pengelola tidak menerapkan sistem sewa kepada pedagang, melainkan hanya menarik sebesar delapan persen dari keuntungan yang didapat setiap Minggu. Selain pedagang, ada juga tutor atau pelatih yang memberikan pelatihan atau workshop bagi wisatawan yang belajar tentang budaya Jawa, seperti penulisan manuskrip lontar atau kelas memasak makanan tradisional.

"Siapa pun yang terlibat di dalam atraksi paket wisata tadi, itu mereka juga sudah dapat honornya masing-masing sesuai porsi dan tugasnya," jelasnya.

Sementara itu, dari segi sosial, dengan terbentuknya Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Setopuro di Desa Wisata Gunungsari ini justru membuat masyarakat dan pengelola jadi makin solid. "Yang saya sering sampaikan ke anggota, 'Anda mengejar mimpi sendiri itu akan terasa berat, tetapi ketika Anda berkelompok dan mimpinya ini digabung jadi satu, jadi lebih cepat sampainya."

Untuk meningkatkan skill para tutor, Bernardi mengatakan ada pelatihan rutin untuk mereka. Mereka melaksanakan pelatihan internal secara mandiri sesuai dengan kebutuhan para pedagang.

Di luar masyarakat dan pengelola Pokdarwis, ada juga pihak lain yang mendapat keuntungan dari hadirnya Pasar Pundensari ini, yakni talent muda dalam bidang musik. Mereka dipersilakan mengisi panggung musik setiap Minggunya. Talent atau calon pengisi acara tersebut selalu "berebut" untuk pentas di sini. Pihak Pokdarwis kemudian membuat jadwal untuk mereka, sehingga bisa bergantian. "Jadi kami gak kekurangan talent untuk ngisi, kan?"

6. SDM merupakan tantangan paling besar yang harus dihadapi

Potret live music di Pasar Pundensari, Desa Wisata Gunungsari, Madiun (IDN Times/Fasrinisyah Suryaningtyas)

Tidak ada keberhasilan yang diraih dengan mudah. Selalu ada hambatan atau tantangan yang mengiringinya. Apalagi Pasar Pundensari dan Desa Wisata Gunungsari ini tidak dikelola satu orang, melainkan dari, oleh, dan untuk masyarakat setempat. Menurut Bernardi, tantangan terberat bagi tempat ini adalah SDM (Sumber Daya Manusia).

Seperti yang ditulis di awal artikel ini, bahwa secara fisik, Desa Wisata Gunungsari ini tidak ada bedanya dengan desa-desa atau kampung lainnya. Jalan desanya tidak terlalu lebar, rumah-rumah penduduk yang berdekatan, hingga sawah yang luas. Tidak ada gapura yang megah atau penanda yang semarak yang menjadi ikon desa ini.

Hal ini dikarenakan Desa Wisata Gunungsari tidak ingin menonjolkan fisiknya, tetapi Sumber Daya Manusianya. "Bagaimana SDM-nya ini bisa memberikan jaminan pelayanan kepada tamu yang datang. Itu (termasuk) tantangan terberat." ujar Bernardi.

Bernardi menambahkan bahwa sejak ADWI (Anugerah Desa Wisata Indonesia) pertama kali digelar oleh Kementerian Pariwisata, tidak semua pemenang tahun-tahun sebelumnya bisa sustain atau bertahan hingga saat ini. Salah satu faktor yang berpengaruh tentu saja SDM pengelola. "Yang paling penting itu adalah kualitas dari SDM. Kami juga punya paket wisata budaya yang macem-macem," katanya.

Tantangan lainnya adalah berasal dari faktor eksternal, yakni para pemangku kepentingan. Dalam beberapa tahun terakhir, desa wisata menjamur di berbagai wilayah di Indonesia. Sebenarnya, hal ini bukan hanya tuntutan dari Kementerian Pariwisata, tetapi juga Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Kementerian Desa mempunyai standar bahwa desa itu harus naik kelas melalui IDM (Indeks Desa Membangun). Dari yang tadinya itu desa tertinggal, naik menjadi desa berkembang, kemudian mejadi desa maju dan desa mandiri.

"Desa didorong mulai menggali potensi-potensi pendapatan asli desa. Salah satu yang digenjot adalah desa wisata. Nah, sayangnya, ketika pemerintah desa itu mendapatkan tekanan dari Kementerian Desa ataup dinas setempat di daerahnya, mereka justru malah keluar dari koridor batas-batas pariwisata itu sendiri," ujar Bernardi.

Di sisi lain, Kementerian Pariwisata berharap munculnya desa wisata ini diimbangi dengan perencanaan yang matang, agar berkelanjutan. "Di satu sisi, desa didorong untuk segera menciptakan pendapatan asli, tapi nabrak itu tadi, prinsip-prinsip sustainable tourism. Nah, di sisi lain, Kementerian Pariwisata berharap justru jangan hanya mempentingkan ekonominya, tapi yang paling penting itu adalah dampaknya dan keberlanjutannya untuk lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat," pungkasnya.

Pasar Pundensari dan Desa Wisata Gunungsari di Madiun bukan sekadar ruang transaksi, melainkan destinasi yang merepresentasikan perjalanan dengan makna atau purposeful travel. Wisatawan bisa terlibat langsung dalam denyut kehidupan lokal, mengapresiasi seni budaya, mendukung ekonomi masyarakat setempat, sekaligus belajar tentang nilai-nilai kearifan lokal yang masih terjaga.

Melalui pengalaman autentik seperti ini, perjalanan tak hanya meninggalkan jejak kenangan, tetapi juga kontribusi nyata yang berdampak positif bagi komunitas yang dikunjungi. Kamu tertarik ke sini?

Editorial Team