Sebuah pesan singkat menggetarkan smartphone-ku. “Rp 170 ribu saja untuk semalam ya, Nak,” pesan pendek dari Jero Purnama mendarat sore itu, awal Februari 2018. Ini adalah harga terakhir yang kami sepakati setelah sebelumnya terjadi negosiasi halus. “Oke,” saya jawab cepat, tanpa basa-basi.
Jero Purnama, pemilik Purnama Guest House, salah satu penginapan yang terletak di jantung Ubud, sebelumnya melempar harga sewa kamar Rp 200 ribu per malam. Namun, saya enggan mengiyakan lantaran tak sesuai budget.
Setelah jatuh di harga yang masuk kantong, saya tak mau kebanyakan menyundul tawaran lagi. Lagian, kepergian ke Ubud cukup mendadak. Esok saya sudah harus sampai di desa favorit wisatawan Eropa itu untuk keperluan kerja.
“Hati-hati, ya. Ibu tunggu. Jaga kesehatan.” Pesan pendek Jero kembali datang, membalas jawaban saya yang sekenanya. Saya tak berpikir banyak soal perempuan 40an tahun, asli Ubud, itu. Bagian dari hospitality adalah satu-satunya hal yang melintas sesaat setelah membaca pesan si ibu.
Hari selanjutnya, sore menuju petang, saya mengetik Purnama Guest House di GPS. Menurut peta digital, waktu yang harus ditempuh dari Kuta ke Ubud naik motor kira-kira 1 jam 10 menit. Sesuai dengan perhitungan GPS, kuda besi saya mendarat tepat di depan guest house di jam yang telah diperkirakan.