Kupinang Kau dengan Kapur dan Sirih

Pinang bisa menjadi identitas budaya, tidak hanya suku dan daerah tertentu, tetapi identitas bangsa

Bagi para jomblo, apalagi yang baru saja putus cinta dan ditinggal nikah kayak kamu, kata pinang dan meminang pasti jadi hal sensitif di telingamu, bukan? Iya iya, saya tahu, kata itu pasti mengingatkanmu pada pinanganmu yang ditolak dan pinangan orang lain yang diterima itu. Iya iya, saya tahu, hatimu pasti tersayat-sayat 'kan? Sudah sudah tidak apa-apa, nggak usah sampai punya ide buat unjuk rasa gitu. 

Ya kalau mau unjuk rasa teh yang keren dikit, ini malah pengen unjuk rasa menuntut penghapusan kata pinang dari KBBI, ya nanti apa jadinya panjat pinang tanpa pinang? Ya nggak enaklah, masa jadinya panjat aja. Apa? Kamu mau ganti kata pinang dengan jambe? Ya, boleh sih, tapi kebanyakan orang tidak tahu kalau pinang dan jambe itu adalah dua hal yang sama. Saya juga gitu lho. Hiks....

ini saya ceritain mblo daripada kamu galau terus. Jadi, dua bulan lalu pas saya di Papua, saya minta ditunjukkan pohon pinang, soalnya dinsana pinang fenomenal banget. Sehabis ditunjukkan pohon pinang, ternyata itu pohon sejenis yang saya sering lihat sepuluh tahun yang lalu karena ada di halaman rumah dan sering saya panjati. Terus saya nyeletuk, “Lah itu kan jambe?”, terus temen saya yang wong mbantul nyamber, “Lah kan memang iya!”. Duh, saya kira seumur hidup saya tuh belum pernah lihat pohon pinang, mblo. Ya pohon pinang selain di panjat pinang itu. Ternyata eh ternyata pinang dan jambe itu sama.

Gini lho mblo, kenapa saya penasaran banget pengen lihat pohon pinang itu soalnya fenomenal. Ya gimana nggak fenomenal, hampir semua orang yang saya temui waktu itu di Papua, terutama di Kabupaten Supiori, makan pinang. Mereka makan pinang seolah makan permen karet, membuat orang yang melihatnya ingin merasakan pinang juga. Akhirnya, saya coba tuh makan pinang. Ternyata ada tata cara dan ramuan tersendiri untuk makan pinang, terutama untuk menghasilkan warna kemerahan sampai warna merah sekali di gigi dan mulut.

Apa? Kamu mau tahu caranya? Ya, sini sini saya kasih tau, mblo. Buah pinang, yang mirip buah kedondong di rujak-rujak itu, dikupas dulu. Biasanya dikupasnya dengan menggunakan mulut. Biji pinang biasanya berada di tengah-tengah dilindungi serabut-serabut gitu. Nah karena bijinya itu mudah sekali hancur dan tertelan, maka biasanya dimakan berbarengan dengan serabut yang mirip serabut kelapa. Tujuannya selain agar tidak langsung tertelan, juga agar bisa tahan sampai batang sirih yang dicocol dengan kapur bubuk masuk ke mulut. Setelah itu dikunyah, kunyah, kunyah seperti mengunyah permen karet. Lama-kelamaan mulut akan berwarna merah.

Yang menarik, air yang dihasilkan dari buah pinang, kapur, sirih serta bercampur air liur itu harus dikeluarkan. Ludah berwarna merah menjadi indikator apakah sudah benar makan pinangnya atau belum. Ludah pinang pamornya mengalahkan sampah lho, mblo. Di kantor-kantor pemerintahan dan bank, peringatan dilarang membuang ludah pinang sembarangan lebih sering ditemui dibandingkan peringatan dilarang membuang sampah sembarangan. Tak jarang, di jalanan juga ada bercak-bercak berwarna merah mirip darah hasil dari ludah pinang.

Jadi gitu lho, mblo. Selain saya ceritain ke kamu, dengan bangganya saya ceritain juga ke ibu saya. Iya dong, saya kan bangga udah mau mencoba budaya masyarakat lain. Eh, ibu malah dengan santainya menjawab, “Disini pan ada juga”, kemudian beliau menjelaskan tata cara makan pinang masyarakat Sunda yang biasanya disebut nyirih atau nyeupah. Apa? Di tempatmu juga ada? Ya, iya aku baru tahu, mblo.

Masyarakat Jawa juga punya budaya makan pinang, biasanya mereka menyebutnya dengan nginang atau nyirih. Yang membedakan budaya pinang di masyarakat Papua dan di masyarakat Sunda dan Jawa menurut saya cuma dua. Pertama, sirih yang digunakan biasanya berbeda, masyarakat Papua lebih senang memakai buahnya yang panjang-panjang itu, sedangkan masyarakat Jawa dan Sunda lebih sering memakai daunnya. Tata caranya juga berbeda-beda, mblo. Tapi ramuannya tetap sama: pinang, kapur dan sirih. Kedua, yang membedakan ialah, masihkah budaya makan pinang itu dijalankan?

Di Papua, jelas masyarakatnya masih menjalankannya. Terlebih memakan pinang dianggap sebagai identitas dan sarana komunikasi, ya setara dengan rokok dan kopi. Apa kabar di masyarakat Jawa dan Sunda? Budaya makan pinang tentu masih dijalankan juga tetapi biasanya hanya ditemui pada nenek-nenek sepuh. Menjamurnya pasta gigi mengalahkan budaya makan pinang terutama dikalangan remaja. Bahkan, saya pun tidak pernah mencoba makan pinang sebelumnya.

Sangat berbeda dengan masyarakat Papua yang hampir semua masyarakatnya makan pinang tanpa batasan umur. Adik-adik kecil saja sudah makan pinang, lho. Padahal mblo, pinang itu punya banyak manfaat buat kesehatan gigi. Terutama pinang yang dimakan bersama kapur dan sirih, katanya punya kandungan kalsium yang tinggi dan berperan dalam proses pencegahan demineralisasi gigi. Ya, pokoknya mah bermanfaat buat gigi.

Pinang bisa menjadi identitas budaya, tidak hanya suku dan daerah tertentu, tetapi identitas bangsa. Lebih indah lagi kalau pinang bisa jadi perekat antar suku dan daerah tertentu, jadi kalau ada dialog antar suku dan daerah di Indonesia, disuguhi pinang deh. Lebih sehat kan ngobrol sambil makan pinang? Jadi, sekarang teh kamu maunya gimana, mblo? Kalau kamu masih aja galau padahal udah saya ceritain, sini deh kupinang kau dengan kapur dan sirih.

Rebiyyah Salasah Photo Writer Rebiyyah Salasah

Afeksi berlebih pada tidur dan kasur

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya