Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Potret wisatawan di Pulau Padar, Labuan Bajo, NTT (IDN Times/Dewi Suci Rahayu)

Saat merencanakan liburan ke suatu tempat wisata, sering kali kita berekspekasi sesuatu. Membayangkan tempatnya akan begini dan begitu, pengalaman yang penuh petualangan tanpa drama, dan lain sebagainya. Tentu saja sering kali apa yang kita bayangkan tak selalu sama dengan yang kita alami.

Apalagi ketika kita mengunjungi suatu tempat yang jauh dan sama sekali berbeda dengan kota tempat tingal kita. Misalnya seperti di Labuan Bajo yang berada di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.

Di kepulauan yang terkenal dengan keindahan alamnya ini, kita akan mendapatkan pengalaman liburan yang menyenangkan dan mengesankan. Di sisi lain, banyak hal yang akan membuat kita kaget alias culture shock setibanya di Labuan Bajo, termasuk ketika kita mengikuti tur island hopping-nya.

Berikut beberapa culture shock yang kerap dialami para turis selama liburan di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Kira-kira ada yang pernah kamu alami juga, gak, ya? 

1. Banyak turis asing

Potret Pulau Padar, Labuan Bajo, NTT (IDN Times/Dewi Suci Rahayu)

Hal pertama yang membuat shock adalah banyaknya turis asing. Awalnya, penulis berpikir Labuan Bajo akan dipenuhi turis lokal. Nyatanya tidak, jumlah turis asing lebih mendominasi, bahkan sejak di penerbangan menuju ke Labuan Bajo. Rasanya seperti berlibur di Bali, karena banyak turis asing.

Pemandangan serupa juga terjadi di berbagai penginapan, termasuk hostel, hotel, dan resor sekali pun. Tentunya hal yang sama juga terjadi di pusat kota, pelabuhan, dan selama tur di berbagai destinasi.

Kemungkinan besar hal tersebut disebabkan karena Labuan Bajo dianggap sebagai destinasi mahal bagi orang lokal Indonesia. Tiket pesawatnya saja cukup mahal, belum lagi jika harus mengikuti open trip sailing ke berbagai destinasi dan pulau-pulaunya. Paling tidak harus menyiapkan bujet Rp6—7 jutaan.

Soal wisatawan mancanegara, ada perbedaan karakteristik antara mereka yang di Bali dan Labuan Bajo. Di Bali, seolah semuanya bisa liburan ke Pulau Dewata dan berperilaku seenaknya, seperti kebut-kebutan di jalan, tak memakai baju di kafe atau restoran, hingga berbikini di sembarang tempat.

Di Labuan Bajo, turis asingnya tampak lebih "terfilter." Rasanya mereka lebih "beradab" dan tertib dibanding para turis asing di Bali (tentu tidak semuanya).

2. Harga makanan di kafe dan restoran mahal

Potret kopi dari coffee shop di Labuan Bajo (IDN Times/Dewi Suci Rahayu)

Hal kedua yang bikin kaget adalah harga makanan di kafe dan restoran. Rata-rata harga menu utamanya berkisar Rp70 ribu ke atas dan minumannya Rp30—40 ribu ke atas. Harga yang sama seperti kafe dan restoran di Jakarta.

Jika dibandingkan dengan Bali, kita masih bisa menjumpai berbagai kafe dan restoran dengan harga terjangkau. Tentu saja tempat dan fasilitasnya sudah proper, serta rasanya enak. Di Labuan Bajo, kita perlu merogoh kocek lebih dalam. Bahkan, di kafe-kafe kecil, harga secangkir kopi bisa mencapai Rp40—50 ribu.

Di pulau-pulau destinasinya, seperti di Pink Beach, harga kelapa muda dipatok Rp40 ribu. Air mineral Rp10 ribu dan air minum dalam kemasan bisa mencapai Rp20 ribu, yang mana harganya hanya Rp3.000 di Pulau Jawa.

Sebenarnya tak mengherankan bila harganya cenderung lebih mahal. Pasalnya, akomodasi untuk mengangkut berbagai bahan baku dan kebutuhan lainnya pun mahal. Mereka harus "mengimpor" berbagai bahan dan kebutuhan penunjang lainnya dari Pulau Jawa via pesawat terbang dan kapal laut.

3. Street food-nya belum banyak pilihan

Potret suasana kota Labuan Bajo (IDN Times/Dewi Suci Rahayu)

Bukan berarti semua yang ada di Labuan Bajo jadi serbamahal. Kita tetap bisa menjumpai harga makanan murah yang dijual para pedagang kaki lima atau warung pinggir jalan.

Bisa dibilang harganya murah meriah, sama seperti di Pulau Jawa. Misalnya, untuk sebungkus nasi kuning atau nasi putih dengan lauk ayam di pinggir jalan harganya Rp10 ribu. Nasi padang dengan lauk telur di warung sederhana harganya Rp15 ribu, sedangkan lauk rendang daging sapi harganya Rp30 ribu. Air mineral dalam kemasan pun dibanderol dengan harga normal, yakni Rp3.000—Rp5.000.

Hanya saja, variasi street food di Labuan Bajo bisa dibilang belum banyak. Jika dibandingkan di Pulau Jawa atau Bali, kita bisa menjumpai aneka jajanan yang menggiurkan, seperti seblak, batagor, martabak telur dan manis, roti bakar, dan sebagainya.

Atau makanan berat seperti soto, nasi goreng, mi goreng, nasi uduk, dan sebagainya. Kita bisa mendapatkan semuanya sepanjang hari, bahkan tengah malam sekali pun. Nah, di Labuan Bajo, kita agak kesulitan untuk menemukannya. Bisa dibilang street food-nya belum terlalu "hidup."

Street food yang paling mentereng di Labuan Bajo berupa pasar seafood yang bernama Kampung Ujung. Lokasinya di dekat area pelabuhan dan Hotel Meruorah. Selain seafood, kita bisa menemukan beberapa aneka jajanan, seperti roti bakar, jagung bakar, jus buah, dan seblak. Namun, jumlah dan pilihannya terbatas.

4. Pusat kotanya cukup berkembang, tapi quite dan chill

Potret suasana kota Labuan Bajo, NTT (IDN Times/Dewi Suci Rahayu)

Kesan pertama ketika menginjakkan kaki di Labuan Bajo, terutama di pusat kotanya, adalah chill dan menyenangkan. Tak ada kemacetan di sana-sini yang membuat kepala pening. Udaranya segar, meski bukan sejuk-dingin, tetapi banyak angin dan oksigen menyegarkan.

Jalanan pusat Kota Labuan Bajo mengingatkan penulis dengan jalanan Kuta di Bali. Bedanya, Kuta sudah penuh sesak.

Quite and chill, begitulah penulis menggambarkan Labuan Bajo. Berjalan-jalan santai pada sore dan malam hari terasa begitu menyegarkan pikiran. Tak ada kemacetan, tak ada kepadatan turis, tak ada bising suara musik dari bar atau kafe, dan tentu saja tak ada kepenatan yang menyelinap masuk ke dalam pikiran maupun perasaan.

5. Masyarakatnya friendly dan kotanya aman

Potret lanskap kota Labuan Bajo, NTT (IDN Times/Dewi Suci Rahayu)

Sebagian besar orang Indonesia "termakan" stereotip bahwa orang (Indonesia) Timur itu galak dan keras. Alhasil, banyak yang takut dan waswas pelesiran ke Indonesia Timur, termasuk di Nusa Tenggara Timur. Faktanya, masyarakat Indonesia Timur, khususnya Labuan Bajo dan NTT, sangat friendly dan helpful.

Penulis mengalaminya sendiri. Ketika keluarga dan para sahabat dekat tahu saya sedang di NTT, mereka selalu berpesan untuk ekstra hati-hati dan jangan mudah percaya dengan orang baru. Padahal, mereka tak biasa berpesan demikian ketika saya bepergian.

Pada kenyataannya, saya tidak menangkap kesan demikian selama berada di Labuan Bajo. Saat berjalan sendirian pada siang, sore, hingga malam hari, saya sama sekali tak mendapatkan gangguan atau catcalling. Di Pulau Jawa, bahkan saya kerap mendapatkannya. Paling hanya ada ojek motor yang sesekali membunyikan klakson menawarkan jasanya dengan sopan dan tidak memaksa.

Beberapa orang lokal yang saya temui selama di sana menyatakan, "Di sini aman mbak, masyarakatnya tidak resek, baik-baik dan ramah-ramah. Wajahnya saja yang terlihat keras," katanya.

Benar saja, beberapa kali saya menemukan motor yang ditinggalkan di depan toko beserta kuncinya yang masih terpasang, tak ada masalah. Coba saja di Pulau Jawa, saya tak menjamin hal serupa bisa terjadi.

6. Sejauh mata memandang hanya keindahan

Potret suasana island hopping di Labuan Bajo (IDN Times/Dewi Suci Rahayu)

Istilah ini, menurut pandangan pribadi penulis, tidaklah berlebihan. Apalagi jika kita terbiasa hidup di kota dengan banyak pemandangan macet dan penuh bangunan semrawut. Tak banyak pemandangan yang bisa dinikmati.

Sedangkan, di Labuan Bajo, mata kita seolah beristirahat dan dimanjakan. Sejauh mata memandang hanya bergumam kagum. Lanskap alam yang terdiri dari bukit dan lembah, jalanan unik yang meliuk-liuk dengan deretan pohon di kanan-kirinya, serta pemandangan pelabuhannya yang ikonik. Semua tampak menyegarkan.

Terlebih ketika kita memutuskan island hopping, kita akan dibuat takjub dengan alamnya. Lautan lepas biru gelap dan hijau tosca, deretan karst dan lembah yang eksotis, serta langit birunya menenteramkan jiwa. Suasana bakal lebih magis lagi ketika subuh menjelang sunrise atau sore menjelang petang alias sunset. Bless my eyes, begitu ucap kami penuh syukur.

7. Harga oleh-olehnya cukup mahal

Potret salah satu kopi sebagai oleh-oleh Labuan Bajo (IDN Times/Dewi Suci Rahayu)


Bukan rahasia umum jika harga oleh-oleh di tempat wisata biasanya cenderung lebih mahal. Namun, di Labuan Bajo, harganya bisa dibilang betulan mahal. Misalnya, harga kopi 100 gram yang biasanya dibanderol Rp50—65 ribu, di pusat oleh-oleh Labuan Bajo bisa dibanderol mulai Rp100 ribuan.

Gantungan kunci dan magnet kulkas rata-rata Rp25 ribu ke atas. Di tempat wisata lain, gantungan kunci bisa kita dapatkan dengan harga mulai dari Rp5.000. Tentu saja kualitas dan variasi keduanya pun berbeda. 

Jika di tempat oleh-oleh kota lain, kita bisa mendapatkan kaos seharga mulai dari Rp30 ribu, di Labuan Bajo harganya mulai Rp50 ribu.

Hal ini bukan tanpa alasan. Seperti yang sudah dibahas pada poin-poin sebelumnya, akomodasi pengakutan seluruh bahan dan kebutuhan hingga ke Labuan Bajo membutuhkan biaya besar, serta effort yang cukup tinggi. Tentu berbeda dengan berbagai wisata di Pulau Jawa dan Bali yang relatif lebih mudah soal akomodasi tersebut.

Meski mahal, aneka jenis oleh-oleh di Labuan Bajo layak untuk dibawa pulang sebagai cenderamata. Pertama, karena kamu tak akan mendapatkan di tempat wisata atau kota lainnya. Kedua, hal ini akan menjadi kenang-kenangan yang mendalam, minimal bagi dirimu sendiri, yang telah menginjakkan kaki di salah satu "surga" di Indonesia Timur tersebut.

8. Satu trip kapal dari jasa tur yang berbeda-beda

Potret wisatawan di Pulau Padar, Labuan Bajo, NTT (IDN Times/Dewi Suci Rahayu)

Jika terbiasa mengikuti open trip, kita tahu bahwa semua peserta berasal dari agen tur yang sama. Hal ini berbeda dengan di Labuan Bajo. Sebab, peserta tur bisa berasal dari agen tur yang berbeda-beda.

Berdasarkan pengalaman penulis, dan peserta tur lainnya, kami dipersatukan dari agen travel yang berbeda-beda. Tak ada satu pun yang sama, kecuali memang mendaftar dan berangkat bersama di satu agen travel.

Ternyata, sistem agen travel atau open trip di Labuan Bajo adalah mempertemukan para penyewa atau pemilik kapal dengan peserta tur. Itu sebabnya, harga open trip bisa berbeda-beda, tergantung jenis kapal dan kamar yang kita pilih.

Jadi, bisa dibilang harga yang kita bayarkan lebih banyak pada biaya kapal dan fasilitasnya. Pasalnya, itinerary open trip semua agen travel akan sama saja. Dalam artian perbedaan harga yang kita bayarkan tidak memengaruhi itinerary atau destinasi yang kita kunjungi.

Misalnya, kita mengambil di agen travel A untuk open trip 1 hari, 2D1N, atau 3D2N, maka itinerary perjalanan di agen travel B, C, D, E, dan lainnya akan sama saja. Jika ada perbedaan destinasi, paling hanya 1—2 tempat wisata. Hal ini bisa berbeda karena disesuaikan dengan kepadatan wisatawan di destinasi tertentu atau sisa waktu tur, bukan karena perbedaan harga yang kita bayarkan.

Dan dalam satu kapal yang sama pun, harga yang dibayarkan peserta tur bisa berbeda-beda, tergantung jenis kamar yang mereka pilih.

9. Itinerary bisa berubah total

Potret Pulau Komodo, NTT (IDN Times/Dewi Suci Rahayu)

Meskipun para agen travel memiliki itinerary yang dibagikan kepada para peserta sejak awal mendaftar, hal ini tidak berlaku mutlak selama tur. Sangat memungkinkan kita tidak akan mengikuti jadwal yang telah ditetapkan dalam itinerary.

Tour guide berwenang penuh untuk mengubahnya pada hari-H, ketika kita semua sudah berkumpul di atas kapal dan memulai perjalanan. Bagi kamu yang terbiasa stick with the plan, mungkin ini akan terasa menyebalkan. Apalagi jika kamu sudah menyiapkan berbagai jenis outfit berdasarkan destinasi dan hari sesuai itinerary.

Misalnya, pada hari pertama, ada jadwal trekking siang hari dan snorkeling sore hari. Bisa jadi diubah menjadi destinasi snorkeling semua sepanjang hari. Terkadang ada juga destinasi yang batal dikunjungi, karena alasan tertentu dan diganti dengan lainnya.

Sebenarnya, meski itinerary diubah secara mendadak, bukan berarti perjalanan jadi tidak asyik. Kita perlu lebih fleksibel untuk mengikuti jadwal tersebut, supaya tetap dapat menikmati keseruan tur. Peribahasa less expectation, more satisfaction, sangat menarik untuk diterapkan di sini.

Nah, itulah beberapa culture shock yang kerap dialami para wisatawan, termasuk penulis secara pribadi, selama liburan ke Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Jika kamu berencana liburan ke sana, semoga poin-poin di atas dapat menjadi gambaran untukmu, ya.

Bagi kamu yang sudah pernah liburan ke Labuan Bajo, poin mana saja yang kamu alami dan rasakan sendiri? Bagikan pengalamanmu di kolom komentar, ya!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team