Trump Belanja Obligasi Ratusan Juta Dolar sejak Kembali Jabat Presiden

Jakarta, IDN Times – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengalokasikan lebih dari 100 juta dolar AS (setara Rp1,62 triliun) untuk membeli obligasi perusahaan dan daerah sejak ia kembali menjabat pada 21 Januari 2025. Angka itu tercatat dalam laporan Kantor Etika Pemerintahan AS (OGE) yang dirilis Selasa (19/8/2025). Dokumen ini merekam sekitar 700 transaksi hingga 1 Agustus 2025, memberi gambaran bagaimana Trump mengelola kekayaannya.
Investasi tersebut melibatkan obligasi dari bank besar seperti Wells Fargo, Morgan Stanley, dan Citigroup, hingga perusahaan populer seperti Meta, UnitedHealth Group, T-Mobile USA, The Home Depot, dan Qualcomm. Trump juga masuk ke obligasi daerah dari Texas, Florida, hingga New York, termasuk untuk proyek rumah sakit, sekolah, bandara, pelabuhan, dan fasilitas umum lain.
Laporan The Hill menyebut daftar itu juga memuat Otoritas Jembatan dan Terowongan Triborough, fasilitas kesehatan di Florida, badan listrik publik Michigan, hingga kantor taman dan rekreasi di Kansas.
1. Laporan catat nilai transaksi dan mekanisme pengelolaan

Laporan OGE tidak merinci jumlah pasti tiap pembelian, hanya mencatat kisaran antara 50.001–100.000 dolar AS hingga 500.001–1.000.001 dolar AS. Menariknya, dokumen itu juga menunjukkan bahwa Trump tidak melakukan penjualan obligasi sepanjang periode tersebut. Kondisi ini memberi sinyal bahwa aset tersebut disimpan murni sebagai pegangan jangka menengah hingga panjang.
Gedung Putih menegaskan bahwa Trump maupun keluarganya tidak ikut campur dalam pemilihan maupun pengelolaan aset. Semua pembelian ditangani pihak ketiga yang independen untuk menghindari intervensi pribadi. OGE kemudian memverifikasi laporan itu dan menyatakan bahwa transaksi Trump sudah sesuai aturan yang berlaku.
2. Aturan etika buka ruang potensi konflik kepentingan

Dilansir dari Al Jazeera, Undang-Undang Etika Pemerintahan 1978 mewajibkan presiden melaporkan keuangannya secara terbuka, namun tidak memaksa mereka menjual aset yang bisa menimbulkan konflik kepentingan.
Sejak regulasi itu berlaku, presiden AS biasanya memakai blind trust atau membatasi investasinya pada reksa dana yang terdiversifikasi. Trump justru memilih menyerahkan bisnisnya ke trust yang dikelola anak-anaknya, sehingga berbeda dari tradisi yang sudah lama ada.
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran dari pakar etika pemerintahan. Richard Painter, eks pengacara etika Gedung Putih era George W. Bush, menyebut potensi konflik bisa muncul lewat kebijakan suku bunga.
“Ketika suku bunga turun, harga obligasi naik. Tidak heran dia mendesak The Fed untuk menurunkan suku bunga!” kata Painter dikutip dari Al Jazeera.
Ia menilai kebijakan moneter yang menguntungkan harga obligasi berpotensi menambah nilai aset presiden.
3. Kekayaan Trump bertambah dan strategi investasi dikritik

Pada Juni 2025, laporan tahunan untuk 2024 mengungkap Trump memperoleh lebih dari 600 juta dolar AS (setara Rp9,76 triliun) dari berbagai sumber, mulai dari mata uang kripto, properti golf, lisensi, hingga usaha lain. Reuters memperkirakan total asetnya setidaknya 1,6 miliar dolar AS (setara Rp26 triliun), sementara Indeks Miliarder Bloomberg pada Juli 2025 menaksir kekayaannya mencapai 6,4 miliar dolar AS (setara Rp104 triliun). Meski begitu, angka pasti soal hartanya masih belum jelas.
John Canavan, analis Oxford Economics, menilai pembelian obligasi tersebut merupakan langkah perhitungan.
“Kekayaan bersih Presiden Trump telah meningkat secara substansial, dengan sebagian besar terkonsentrasi pada kepemilikan kripto dan Trump Media. Mengingat hal itu, saat ini tidak ada bukti bahwa pembelian obligasinya merupakan sesuatu selain diversifikasi yang bijaksana dalam asetnya yang bernilai miliaran dolar. Sepertinya dia terutama membeli obligasi korporasi dan obligasi daerah serta lainnya yang berkualitas tinggi dan berperingkat tinggi, jadi ini hanya cara untuk mengurangi sedikit risiko,” ujar Canavan, dikutip dari The Guardian. Ia melihat strategi ini membantu mengurangi paparan risiko dari aset lain.
Meski begitu, Trump tetap menghadapi kritik karena dianggap mencampuradukkan urusan bisnis dan jabatan. Sejumlah pengawas etika serta Partai Demokrat menudingnya mencari keuntungan pribadi lewat berbagai produk, mulai dari kripto, sepatu bermerek Trump, hingga lini parfum dan Alkitab.