Trump Hadapi Sidang Banding soal Tarif Impor ke Negara Mitra Dagang

- Hakim nilai IEEPA tak dapat digunakan untuk kebijakan tarif
- Tarif picu ketidakpastian bisnis dan ketegangan dengan mitra dagang
- Trump masih punya celah hukum untuk pertahankan tarif
Jakarta, IDN Times – Pengadilan banding federal Amerika Serikat (AS) dijadwalkan bersidang pada Kamis (31/7/2025) untuk menguji penggunaan Undang-Undang (UU) Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA) 1977 oleh Presiden AS, Donald Trump. Sidang ini akan digelar di Pengadilan Banding Federal di Washington, untuk meninjau putusan sebelumnya yang menyatakan Trump tak berwenang memberlakukan tarif 10 persen atas hampir semua negara mitra dagang.
Putusan awal tersebut dikeluarkan oleh Pengadilan Perdagangan Internasional AS. Gugatan terhadap Trump dilayangkan oleh 12 negara bagian yang dipimpin partai Demokrat serta lima perusahaan kecil.
Persidangan akan dimulai pukul 10.00 pagi waktu setempat dan melibatkan 11 hakim, termasuk delapan di antaranya merupakan hakim yang ditunjuk presiden dari Partai Demokrat. Dua perusahaan penggugat, yaitu V.O.S. Selections Inc. dan Plastic Services and Products, menyampaikan penolakan mereka dalam pernyataan publik.
“(Trump) tidak memiliki wewenang untuk mengeluarkan tarif menyeluruh di seluruh dunia tanpa persetujuan Kongres,” kata mereka dikutip dari NBC News.
1. Hakim nilai IEEPA tak dapat digunakan untuk kebijakan tarif

Dilansir dari Economic Times, pada 28 Mei 2025, majelis tiga hakim Pengadilan Perdagangan Internasional menyimpulkan IEEPA tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menetapkan tarif yang didasari kekhawatiran atas defisit perdagangan jangka panjang. UU itu dirancang untuk menghadapi keadaan darurat nasional luar biasa, bukan memberi presiden kekuasaan tanpa batas. Dalam keputusannya, pengadilan menilai tarif Trump tidak memiliki batas yang dapat diidentifikasi dan IEEPA tidak mendelegasikan kewenangan tarif tanpa batas kepada Presiden.
Para penggugat berpendapat bahwa IEEPA selama ini digunakan untuk menjatuhkan sanksi atau membekukan aset pihak musuh, bukan untuk menerapkan tarif atau pajak impor. Mereka juga menyatakan tidak ada presiden sebelumnya yang pernah mengklaim UU tersebut bisa digunakan untuk kebijakan tarif.
Selain itu, alasan Trump tentang defisit perdagangan dianggap tidak memenuhi definisi darurat dalam IEEPA karena masalah itu telah berlangsung puluhan tahun tanpa menyebabkan krisis ekonomi.
Penggugat mengutip dua doktrin hukum yang kerap digunakan Mahkamah Agung AS, yakni major questions doctrine dan nondelegation doctrine. Doktrin pertama menyatakan bahwa kebijakan ekonomi besar harus disetujui langsung oleh Kongres, sedangkan doktrin kedua menegaskan bahwa Kongres tidak boleh menyerahkan wewenangnya tanpa prinsip hukum yang jelas.
“Kongres sendirilah yang memiliki wewenang konstitusional untuk mengenakan tarif,” tulis pengacara negara bagian, dikutip dari CBS News.
Gedung Putih pun merespons gugatan ini dalam pernyataan Mei lalu.
“Perdagangan defisit telah menciptakan keadaan darurat nasional yang telah menghancurkan komunitas Amerika, meninggalkan pekerja kita, dan melemahkan basis industri pertahanan kita,” kata pihak Gedung Putih.
Pemerintahan Trump menyebut tarif itu sebagai upaya menanggapi ancaman terhadap keamanan nasional dan ekonomi, termasuk krisis fentanyl yang telah merenggut ribuan nyawa di AS.
2. Tarif picu ketidakpastian bisnis dan ketegangan dengan mitra dagang

Trump pertama kali mengumumkan tarif baru pada 2 April 2025 dan menyebut momen itu sebagai Hari Pembebasan. Kebijakan itu menetapkan tarif dasar 10 persen terhadap hampir seluruh negara di dunia. Awalnya direncanakan berlaku pada 9 April 2025, Trump kemudian menunda pelaksanaannya selama 90 hari, sambil menurunkan tarif untuk negara-negara yang sebelumnya telah dikenai bea tinggi. Beberapa tarif tersebut dijadwalkan kembali diberlakukan pada Jumat (1/8).
Trump juga mengancam akan menaikkan tarif menjadi di kisaran 15-20 persen untuk negara-negara yang tidak bersedia membuat perjanjian dagang bilateral. Negara seperti China, Kanada, dan Meksiko dikenai tarif sebagai bentuk respons atas apa yang Trump sebut sebagai kegagalan mereka menghentikan penyelundupan fentanyl ke AS, klaim yang telah dibantah oleh negara-negara tersebut.
Selain itu, tarif 50 persen terhadap Brasil dikaitkan dengan sikap negara itu terhadap sekutu Trump, mantan Presiden Jair Bolsonaro, serta terhadap perusahaan teknologi seperti X milik Elon Musk. Sejumlah pelaku usaha mengeluhkan dampak kebijakan ini terhadap kelangsungan operasional mereka.
“Pengecer biasanya merencanakan inventaris mereka enam hingga sembilan bulan ke depan untuk memenuhi permintaan musiman. Namun, kebijakan tarif yang tidak dapat diprediksi dan berubah dengan cepat membuat hampir tidak mungkin untuk meramalkan biaya, melakukan pemesanan, dan mengelola rantai pasok secara efektif,” ujar Federasi Ritel Nasional.
3. Trump masih punya celah hukum untuk pertahankan tarif

Sejumlah kebijakan tarif Trump yang diberlakukan di bawah payung hukum lain seperti Trade Act of 1974 dan Trade Expansion Act of 1962 tidak terpengaruh oleh gugatan terhadap IEEPA. Kebijakan ini mencakup tarif 10 persen atas baja dari Inggris serta tarif 50 persen atas baja dan aluminium dari berbagai negara lain.
Meskipun pengadilan menyatakan penggunaan IEEPA untuk menetapkan tarif itu ilegal, pemerintahan Trump masih memiliki alternatif hukum untuk mempertahankannya. Beberapa opsi yang tersedia termasuk penyelidikan baru berdasarkan Pasal 301 Trade Act 1974 atau Pasal 232 Trade Expansion Act 1962 yang pernah digunakan sebelumnya. Bahkan, Trump bisa memakai Pasal 338 Trade Act 1930 untuk mengenakan tarif hingga 50 persen terhadap negara yang dianggap mendiskriminasi AS, meski pasal itu belum pernah diaktifkan secara resmi.
Pengadilan Banding Federal mengizinkan tarif tetap diberlakukan selama proses banding berlangsung. Hingga kini belum ada kepastian soal waktu pengumuman keputusan akhir, namun pihak yang kalah dalam sidang diperkirakan akan langsung mengajukan banding ke Mahkamah Agung AS.
Setidaknya ada tujuh gugatan lain terkait penggunaan IEEPA oleh Trump, termasuk dari negara bagian California dan beberapa pelaku usaha kecil. Salah satu hakim federal di Washington, juga telah memutuskan perkara serupa dengan tidak memihak Trump.
Trump telah mengumumkan sejumlah perjanjian dagang dengan Uni Eropa, Jepang, Inggris, Indonesia, dan Vietnam. Namun, sebagian besar kesepakatan itu hanya berupa kerangka kerja dan bukan perjanjian formal menyeluruh.
Pengumuman dilakukan melalui media sosial dan diperkuat lewat perintah eksekutif pendek, tanpa melalui proses diplomatik penuh. Padahal dalam praktiknya, perjanjian dagang biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun karena rumitnya sistem perdagangan global serta lebih dari 12 ribu kategori tarif di antara 200 mitra dagang dunia.