Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Kebiasaan Boros Kelas Menengah yang Sering Tidak Disadari

Ilustrasi tidak punya uang (freepik.com)
Ilustrasi tidak punya uang (freepik.com)
Intinya sih...
  • Pengeluaran tanpa rencana dapat membuat keuangan pribadi bermasalah dan kurangnya perencanaan yang matang menjadi penyebab utama.
  • Belanja pakaian berlebihan dan membeli mobil mewah hanya demi gengsi bisa menyebabkan pemborosan yang tidak terkendali.
  • Pengeluaran ganda untuk makanan dan biaya pelatihan anak yang melonjak juga dapat membebani kelas menengah secara tidak disadari.

Sebanyak apa pun pengetahuan seseorang tentang keuangan, tetap ada godaan untuk menghamburkan uang secara tidak disadari. Gaya hidup konsumtif kerap menyusup dalam bentuk kecil, seperti membeli barang bermerek yang sebenarnya tidak dibutuhkan, mengganti mobil hanya demi gengsi, atau terlalu sering makan di restoran mahal. Bila dibiarkan, kebiasaan ini bisa membebani dompet dan perlahan menggerogoti kestabilan keuangan.

Bagi kalangan kelas menengah, mengelola pengeluaran dengan cermat adalah kunci menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan keinginan. Tanpa disadari, pemasukan yang cukup bisa cepat habis hanya karena keputusan finansial yang kurang bijak.

Stoy Hall, seorang perencana keuangan bersertifikat (CFP) sekaligus CEO Black Mammoth, mengungkapkan lima bentuk pengeluaran yang kerap membuat kelas menengah boros secara tidak sadar. Menurutnya, mengenali pola pengeluaran ini penting agar masyarakat bisa mulai membangun kebiasaan finansial yang lebih sehat dan terencana.

Dilansir GOBankingRates, berikut lima pengeluaran yang membuat kelas menengah boros.

1. Pengeluaran tanpa rencana

Ilustrasi pembayaran (freepik.com)

Menurut Hall, penyebab utama keuangan pribadi bermasalah bukan semata karena kondisi ekonomi atau pekerjaan, melainkan kurangnya perencanaan yang matang. Banyak orang di kelas menengah sebenarnya memiliki aset dan penghasilan yang cukup untuk hidup nyaman. Namun, tanpa pemahaman menyeluruh tentang alur pemasukan dan pengeluaran, mereka mudah tergelincir dalam gaya hidup konsumtif yang sulit dikendalikan.

“Tanpa perencanaan, uangmu seperti dilempar ke angin,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya menyusun anggaran secara realistis dan memantau pengeluaran secara rutin agar setiap rupiah yang dikeluarkan benar-benar sesuai kebutuhan. Langkah ini sangat krusial untuk menghindari defisit serta menjaga stabilitas finansial dalam jangka panjang.

2. Belanja pakaian berlebihan

ilustrasi belanja (.pexels.com/@olly)
ilustrasi belanja (.pexels.com/@olly)

Pengeluaran untuk pakaian sering kali dianggap sepele, padahal tanpa disadari bisa menjadi penyedot dana yang cukup besar. Hall menyebut bahwa kebiasaan belanja impulsif, seperti yang sering terjadi di toko-toko ritel besar semacam Target, Amazon, atau department store, menjadi salah satu faktor utama membengkaknya pengeluaran rumah tangga. Di Indonesia, fenomena serupa juga terlihat di pusat perbelanjaan, marketplace online, hingga momen diskon besar seperti Harbolnas dan promo gajian bulanan.

Banyak orang merasa ‘perlu’ membeli pakaian baru hanya karena memiliki dana lebih atau tergoda potongan harga, bukan karena benar-benar membutuhkan. Padahal, tanpa kontrol yang baik, kebiasaan ini dapat menyebabkan lemari pakaian dipenuhi barang-barang yang jarang atau bahkan tidak pernah dipakai, sementara anggaran bulanan terkuras tanpa disadari.

Hall menyarankan agar masyarakat lebih selektif dalam berbelanja dan benar-benar fokus pada kebutuhan nyata, bukan sekadar mengikuti tren atau dorongan sesaat. Membuat daftar kebutuhan sebelum belanja dan menunda pembelian impulsif selama 24 jam bisa menjadi langkah sederhana namun efektif untuk menghindari pemborosan.

3. Mobil mewah, pengeluaran mahal

Ilustrasi mobil (freepik.com)
Ilustrasi mobil (freepik.com)

Mobil sering kali dijadikan simbol pencapaian dan keberhasilan finansial, terutama di kalangan kelas menengah. Namun, menurut Stoy Hall, banyak orang membeli kendaraan baru bukan karena kebutuhan yang mendesak, melainkan demi gengsi dan citra sosial. Ia menegaskan bahwa keputusan membeli mobil berharga tinggi sering kali tidak didasarkan pada pertimbangan finansial yang rasional.

Secara rata-rata, seseorang bisa menghabiskan hingga Rp250 juta lebih mahal dari seharusnya saat membeli mobil baru, baik karena memilih tipe yang mewah, fitur tambahan yang tidak terlalu dibutuhkan, atau memilih cicilan panjang dengan bunga tinggi. Angka tersebut belum termasuk biaya operasional lainnya seperti bahan bakar, pajak kendaraan, asuransi, serta biaya perawatan rutin dan suku cadang.

Di Indonesia, fenomena ini kerap terlihat saat seseorang baru mendapatkan promosi kerja atau kenaikan gaji, yang langsung disambut dengan pembelian mobil baru sebagai bentuk “hadiah” untuk diri sendiri. Hall mengingatkan agar masyarakat tidak terjebak dalam "kompetisi sosial" yang semu demi terlihat sukses di mata orang lain. Menurutnya, lebih baik membeli kendaraan yang sesuai kemampuan dan kebutuhan nyata, sehingga keuangan tetap terjaga dalam jangka panjang.

4. Pengeluaran ganda untuk makanan

Ilustrasi makan di restoran (freepik.com)
Ilustrasi makan di restoran (freepik.com)

Hall menyoroti kebiasaan yang kerap terjadi di kalangan kelas menengah, yakni membeli banyak bahan makanan namun tetap sering makan di luar rumah. Menurutnya, pola konsumsi seperti ini sangat tidak efisien dan bisa membuat pengeluaran membengkak dua kali lipat. Banyak orang mengisi kulkas dengan bahan makanan seolah-olah akan sering memasak, namun pada kenyataannya tetap memilih kenyamanan restoran atau layanan pesan antar.

Untuk mengatasi hal ini, Hall menyarankan agar semua pengeluaran yang berkaitan dengan makanan—baik belanja kebutuhan dapur maupun makan di luar—digabungkan dalam satu anggaran bulanan yang terukur. Sebagai contoh, jika anggaran makanan ditetapkan sebesar Rp14 juta per bulan, maka kamu bisa menentukan porsi belanja bahan pokok dan frekuensi makan di luar secara proporsional, misalnya Rp8 juta untuk belanja dan Rp6 juta untuk makan di luar.

Pendekatan ini akan membantu kamu lebih disiplin, menghindari pemborosan, serta membuat keputusan yang lebih sadar dalam memilih antara memasak di rumah atau makan di luar. Di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok dan gaya hidup yang semakin konsumtif, pengelolaan anggaran makanan yang bijak bisa menjadi langkah strategis menjaga kesehatan finansial rumah tangga.

5. Biaya pelatihan anak yang melonjak

Ilustrasi anak bermain bola (freepik.com)

Kegiatan pelatihan anak kini menjadi salah satu pengeluaran yang cukup besar bagi keluarga kelas menengah, termasuk di Indonesia. Banyak orang tua yang ingin anaknya aktif dan berprestasi, sehingga rela mengeluarkan dana besar untuk mendaftarkan ke klub olahraga ternama, pelatih pribadi, hingga mengikuti kejuaraan atau pelatihan intensif.

Menurut Hall, niat untuk memberikan yang terbaik memang patut diapresiasi, tetapi pengeluarannya sering kali melebihi batas kemampuan finansial keluarga. Di Indonesia, hal ini bisa terlihat dari maraknya sekolah sepak bola, akademi bulu tangkis, atau les renang yang tarifnya bisa mencapai jutaan rupiah per bulan.

Padahal, ada banyak pilihan kegiatan olahraga yang lebih terjangkau namun tetap bermanfaat. Misalnya, memanfaatkan fasilitas olahraga umum di sekolah atau komunitas lokal, mengikuti program ekstrakurikuler, atau memilih klub yang dikelola oleh pemerintah daerah dengan biaya subsidi.

"Anak tidak harus ikut tiga liga dan empat kamp pelatihan untuk bisa berhasil," kata Hall.

Orang tua disarankan untuk mengevaluasi manfaat dan efektivitas tiap kegiatan sebelum memutuskan berinvestasi lebih jauh. Fokus pada kualitas pelatihan, bukan sekadar gengsi, akan jauh lebih bermanfaat dalam jangka panjang. Mengendalikan gaya hidup konsumtif bukan berarti mengorbankan kenyamanan, tetapi lebih pada menyusun prioritas dan perencanaan yang matang.

Dengan menghindari lima kebiasaan boros di atas, kelas menengah dapat menjaga stabilitas keuangan jangka panjang dan membangun masa depan yang lebih aman secara finansial.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us