Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

7 Fakta Gelap Influencer Marketing yang Jarang Dibongkar Publik

ilustrasi influencer atau content creator (freepik.com/freepik)
ilustrasi influencer atau content creator (freepik.com/freepik)
Intinya sih...
  • Followers palsu memanipulasi popularitas influencer.
  • Influencer kejar angka demi tawaran brand, merugikan koneksi dengan audiens.
  • Fake followers merusak kepercayaan publik pada influencer marketing dan industri secara keseluruhan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kamu pasti sering melihat influencer mempromosikan produk di media sosial, mulai dari skincare, makanan, hingga gadget terbaru. Tapi tahukah kamu bahwa di balik gemerlapnya dunia influencer marketing, ada banyak fakta gelap yang jarang diungkap?

Menurut penelitian, 22 persen konsumen aktif di media sosial berusia 16-60 tahun pernah membeli barang palsu yang dipromosikan influencer. Bahkan, perdagangan barang ilegal ini diperkirakan bernilai $509 miliar per tahun!

Nah, sebelum kamu terjebak dalam buaian iklan influencer, yuk simak tujuh fakta gelap yang perlu kamu tahu!

1. Fake followers untuk memanipulasi popularitas

ilustrasi medsos (freepik.com/freepik)
ilustrasi medsos (freepik.com/freepik)

Banyak influencer terlihat punya followers ratusan ribu bahkan jutaan, tapi sebagian besar bisa saja palsu. Followers palsu ini biasanya berasal dari akun bot, akun tidak aktif, atau dibeli dari layanan “click farm”.

Tujuannya simpel: membuat mereka terlihat populer di mata brand. Masalahnya, angka ini gak mencerminkan audiens asli, jadi brand yang bekerja sama malah buang-buang uang untuk menjangkau akun yang tidak pernah berinteraksi.

2. Kejar angka demi tawaran brand

ilustrasi content creator (pexels.com/Ivan Samkov)
ilustrasi content creator (pexels.com/Ivan Samkov)

Alasan kenapa influencer mau repot-repot beli followers palsu sederhana saja, brand masih sering menilai calon partner dari jumlah followers. Semakin besar angka yang ditampilkan, semakin tinggi bayaran yang bisa ditagih.

Sayangnya, strategi ini bikin koneksi dengan audiens jadi palsu. Influencer memang terlihat “besar”, tapi engagement-nya minim dan gak ada koneksi nyata dengan pengikut.

3. Efek domino terhadap industri

ilustrasi influencer atau content creator (freepik.com/rawpixel.com)
ilustrasi influencer atau content creator (freepik.com/rawpixel.com)

Fake followers bukan cuma merugikan satu brand, lho, tapi juga merusak kepercayaan publik pada influencer marketing secara keseluruhan. Brand merasa dibohongi, audiens merasa tertipu, dan influencer yang benar-benar jujur jadi ikut terdampak karena sulit membangun reputasi. Akibatnya, iklim pemasaran di media sosial jadi penuh kecurigaan.

4. Promosi barang ilegal atau berbahaya

ilustrasi kosmetik lip balm (pexels.com/Lina Kivaka)
ilustrasi kosmetik lip balm (pexels.com/Lina Kivaka)

Gak semua produk yang dipromosikan influencer aman. Ada yang tanpa sadar (atau pura-pura gak tahu) mempromosikan kosmetik berbahaya, obat palsu, atau barang elektronik berisiko.

Bahkan, menurut data industri, perdagangan barang palsu secara global mencapai ratusan miliar dolar per tahun dan bisa membahayakan nyawa. Ini bukan sekadar soal kualitas buruk, tapi juga risiko kesehatan dan keselamatan.

5. Sponsorship yang gak transparan

ilustrasi influencer atau content creator (freepik.com/tirachardz)
ilustrasi influencer atau content creator (freepik.com/tirachardz)

Beberapa influencer gak jujur soal kerja sama berbayar. Mereka membuat postingan seolah-olah ulasan itu murni pendapat pribadi, padahal sebenarnya dibayar oleh brand.

Praktik ini menipu audiens dan bisa merusak reputasi influencer maupun brand jika ketahuan. Di beberapa negara, ini bahkan melanggar aturan iklan yang mewajibkan penandaan “sponsored” atau “ad”.

6. Pelanggaran privasi data

ilustrasi email (vecteezy.com/Perawit Boonchu)
ilustrasi email (vecteezy.com/Perawit Boonchu)

Ada juga kasus influencer atau brand yang meminta data pribadi followers untuk keperluan promosi. Data ini bisa mencakup alamat email, nomor telepon, bahkan informasi lokasi.

Kalau data jatuh ke tangan yang salah, bisa dimanfaatkan untuk spam atau penipuan, lho. Masalah ini semakin besar karena gak semua pihak punya standar keamanan data yang baik.

7. Cyberbullying dan penyalahgunaan platform

ilustrasi cyberbullying (freepik.com/DC Studio)
ilustrasi cyberbullying (freepik.com/DC Studio)

Sisi gelap influencer marketing juga mencakup perilaku gak etis di media sosial, seperti cyberbullying atau merendahkan orang lain demi engagement.

Bukan cuma korban yang dirugikan dari perilaku ini, tapi juga reputasi influencer yang bisa jatuh dalam sekejap. Hal-hal seperti ini menunjukkan bahwa popularitas gak selalu sejalan dengan integritas.

Influencer marketing memang punya potensi besar untuk menghubungkan brand dengan audiens yang tepat. Tapi sebelum percaya begitu saja dengan angka followers dan testimoni, penting untuk melihat lebih dalam. Followers palsu, promosi barang berbahaya, dan kerja sama gak transparan hanyalah sebagian dari sisi gelap yang ada.

Kalau kamu seorang konsumen, jadilah kritis dan selalu cek ulang informasi sebelum membeli produk dari promosi influencer. Kalau kamu pemilik brand, pastikan memilih influencer yang memang punya audiens asli dan engagement nyata. Ingat, dalam dunia pemasaran digital, kepercayaan adalah modal terbesar, sekali hilang, susah untuk kembali.

Sumber:

https://kadimadigital.com/the-dark-side-of-influencer-marketing-exposing-the-fake-and-finding-real-followers/

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us