Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Kebiasaan Work from Home yang Sering Sebabkan Brain Fog

illustrasi brain fog (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
illustrasi brain fog (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Bekerja dari rumah memang menawarkan fleksibilitas yang menarik, terutama dari segi waktu dan kenyamanan. Namun, tanpa disadari, kebiasaan-kebiasaan kecil saat work from home (WFH) justru bisa menurunkan performa kognitif secara perlahan. Salah satu dampaknya adalah brain fog, kondisi di mana otak terasa lemot, sulit fokus, dan mudah lupa. Jika dibiarkan, hal ini bisa memengaruhi produktivitas dan kualitas pekerjaan sehari-hari.

Brain fog bukan hanya soal kelelahan mental, tetapi juga terkait dengan gaya hidup yang tidak seimbang saat WFH. Mulai dari pola tidur yang kacau hingga multitasking berlebihan, semua bisa memberi kontribusi terhadap kabut mental ini. Oleh karena itu, penting untuk mengenali kebiasaan-kebiasaan yang jadi pemicunya. Berikut ini lima kebiasaan work from home yang paling sering memicu brain fog dan perlu segera diubah.

1. Waktu tidur yang tidak teratur

ilustrasi tidur siang (pexels.com/Niels from Slaapwijsheid.nl)
ilustrasi tidur siang (pexels.com/Niels from Slaapwijsheid.nl)

Tidur adalah fondasi utama bagi kesehatan otak. Sayangnya, banyak pekerja remote yang mulai mengabaikan jam tidur ideal karena tidak terikat dengan jadwal kantor yang kaku. Kebiasaan lembur tanpa batas dan tidur terlalu larut menjadi pemicu utama otak terasa lambat dan sulit berkonsentrasi. Tanpa waktu tidur yang cukup dan berkualitas, otak gak punya kesempatan untuk melakukan proses regenerasi secara optimal.

Selain itu, tidur yang tidak teratur akan mengacaukan ritme sirkadian tubuh. Ritme ini bertanggung jawab atas siklus kewaspadaan dan rasa kantuk sepanjang hari. Ketika jam biologis terganggu, maka kualitas fokus di pagi hingga siang hari akan menurun drastis. Rasa kantuk muncul meski baru saja bangun, dan kemampuan mengambil keputusan jadi melemah.

2. Meja kerja yang gak teratur

illustrasi meja kerja berantakan (pexels.com/Yan Krukau)
illustrasi meja kerja berantakan (pexels.com/Yan Krukau)

Meja kerja yang berantakan bisa memicu stres visual tanpa disadari. Ketika otak menerima terlalu banyak stimulus visual dari lingkungan sekitar, konsentrasi jadi mudah terpecah. Meja yang penuh dengan dokumen menumpuk, kabel berserakan, atau bahkan sisa makanan, memberi sinyal negatif pada otak bahwa ada banyak pekerjaan belum selesai. Hal ini bisa menciptakan beban mental yang mempercepat terjadinya brain fog.

Lingkungan kerja yang rapi membantu menciptakan rasa tenang dan terkontrol. Saat meja kerja rapi, pikiran jadi lebih mudah terfokus pada satu tugas dalam satu waktu. Ini penting untuk mempertahankan ketajaman mental dan mencegah otak dari rasa kewalahan. Menjaga kebersihan dan keteraturan bukan sekadar estetika, tapi juga strategi menjaga kejernihan pikiran.

3. Terlalu sering multitasking

illustrasi multitasking (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
illustrasi multitasking (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Multitasking terlihat produktif, padahal efeknya bisa merugikan kemampuan berpikir jernih. Saat seseorang mengerjakan banyak tugas sekaligus, otak harus terus berpindah-pindah fokus. Proses ini disebut switching cost yang dapat memperlambat waktu reaksi dan menguras energi mental lebih cepat. Akibatnya, pekerjaan terasa lebih berat dan hasilnya pun kurang maksimal.

Berfokus pada satu tugas dalam satu waktu terbukti lebih efektif untuk menjaga kualitas kerja. Ini memberi kesempatan pada otak untuk menyelesaikan satu hal dengan tuntas sebelum beralih ke yang berikutnya. Dengan begitu, mental gak cepat lelah dan potensi brain fog bisa ditekan. Multitasking hanya akan membuat hari terasa panjang dan menyisakan rasa jenuh di akhir hari.

4. Jarang terpapar cahaya matahari

illustrasi duduk dekat jendela (pexels.com/Yan Krukau)
illustrasi duduk dekat jendela (pexels.com/Yan Krukau)

Cahaya matahari pagi membantu mengatur hormon melatonin dan serotonin yang penting untuk suasana hati serta energi harian. Sayangnya, banyak pekerja remote yang langsung bekerja dari tempat tidur atau ruangan redup tanpa membuka jendela. Padahal, kurangnya paparan cahaya alami bisa membuat tubuh terus merasa ngantuk dan otak bekerja lambat. Efek ini sangat erat kaitannya dengan munculnya brain fog secara konsisten.

Meluangkan waktu sekitar 15–30 menit untuk berjemur atau sekadar duduk di dekat jendela bisa membantu menyegarkan pikiran. Paparan cahaya alami juga memperkuat ritme tidur-bangun sehingga otak bisa berfungsi lebih optimal di siang hari. Jangan anggap remeh sinar matahari karena peranannya besar dalam menjaga kejernihan mental selama bekerja.

5. Minim interaksi sosial

illustrasi kerja remote (pexels.com/Tima Miroshnichenko)
illustrasi kerja remote (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Work from home sering membuat orang lebih tertutup secara sosial. Padahal, interaksi dengan orang lain menjadi stimulus penting untuk menjaga kognisi dan emosi tetap seimbang. Ketika terlalu lama menyendiri, risiko munculnya rasa kesepian dan kehilangan motivasi bisa meningkat. Kondisi ini memberi celah bagi brain fog untuk muncul tanpa disadari.

Berkomunikasi lewat video call, pesan suara, atau bahkan obrolan ringan lewat chat bisa menjadi cara sederhana untuk menjaga keterhubungan sosial. Interaksi ini gak hanya memperkaya perspektif, tetapi juga menjaga semangat kerja tetap menyala. Saat pikiran terhubung dengan orang lain, otak lebih mudah memproses informasi secara segar dan fokus.

Work from home membawa banyak kemudahan, tapi juga penuh jebakan gaya hidup yang bisa memengaruhi kejernihan berpikir. Brain fog sering kali muncul bukan karena beban kerja yang berat, melainkan karena kebiasaan kecil yang diabaikan. Dengan menyadari dan memperbaiki pola kerja harian, kualitas hidup dan produktivitas bisa kembali meningkat.

Mengatur ulang rutinitas WFH adalah langkah awal untuk keluar dari lingkaran brain fog. Mulai dari tidur cukup, menjaga kerapian ruang kerja, hingga lebih sering berinteraksi sosial, semua memberi kontribusi nyata. Semakin sadar terhadap kebiasaan harian, semakin mudah menjaga kesehatan mental tetap optimal.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ananda Zaura
EditorAnanda Zaura
Follow Us