Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Kesalahan yang Bikin Objektifikasi Seksual Dianggap Wajar

ilustrasi obyektifikasi (pexels.com/Keira Burton)
Intinya sih...
  • Media membentuk persepsi tubuh secara sepihak. Standar kecantikan cenderung mengutamakan penampilan fisik daripada nilai pribadi atau prestasi.
  • Lelucon seksual dianggap sebagai hiburan biasa. Banyak orang menganggap lelucon seksual sebagai bagian dari candaan sehari-hari, bahkan dalam ruang-ruang profesional.
  • Pendidikan seks masih fokus pada moral, bukan perspektif hak. Terlalu menekankan soal moral tanpa membahas hak dan persetujuan membuat anak muda minim informasi yang seimbang tentang tubuh, relasi, dan batasan.

Objektifikasi seksual bukan sekadar isu etika, tapi juga bagian dari persoalan sosial yang lebih luas. Ketika tubuh seseorang terus-menerus dipandang sebagai komoditas atau alat hiburan semata, batas antara rasa hormat dan eksploitasi perlahan-lahan mengabur. Di ruang digital maupun ruang publik, fenomena ini semakin sering terjadi, tapi justru dianggap biasa, seolah wajar karena sudah jadi bagian dari budaya populer.

Ironisnya, banyak perilaku yang tanpa sadar mendukung normalisasi objektifikasi seksual. Sikap-sikap yang terlihat sepele, komentar ringan, hingga pengaruh media massa sering kali ikut memperkuat persepsi keliru ini. Padahal, efeknya tidak bisa diremehkan, mulai dari gangguan kesehatan mental, krisis kepercayaan diri, sampai penurunan rasa aman. Berikut lima kesalahan yang bikin objektifikasi seksual dianggap wajar dalam kehidupan sehari-hari.

1. Media membentuk persepsi tubuh secara sepihak

ilustrasi perempuan (pexels.com/FbyF Studio)

Media, baik arus utama maupun media sosial, sering memvisualisasikan tubuh manusia dengan cara yang tidak realistis. Standar kecantikan yang disebarluaskan cenderung mengutamakan penampilan fisik daripada nilai pribadi atau prestasi. Ketika visual ini terus-menerus diulang, muncul persepsi bahwa nilai seseorang ditentukan oleh tubuhnya saja.

Dampaknya, orang mulai terbiasa melihat tubuh sebagai objek untuk dinilai, dibandingkan sebagai bagian dari identitas manusia yang utuh. Bahkan banyak yang menginternalisasi pandangan tersebut dan mulai menilai diri sendiri dari kacamata eksternal. Ini bukan hanya membatasi cara kita memandang orang lain, tetapi juga menggerus cara kita memahami diri sendiri. Akibatnya, masyarakat semakin permisif terhadap konten yang mengeksploitasi fisik, karena dianggap sesuai dengan ‘standar umum’.

2. Lelucon seksual dianggap sebagai hiburan biasa

ilustrasi obyektifikasi (pexels.com/Keira Burton)

Bercanda memang bagian dari interaksi sosial, tetapi ketika humor bergeser ke arah seksualisasi tubuh, batasnya mulai kabur. Banyak orang yang menganggap lelucon seksual sebagai bagian dari candaan sehari-hari, bahkan dalam ruang-ruang profesional sekalipun. Padahal, hal ini bisa menjadi bentuk objektifikasi yang halus namun berulang.

Ketika bercandaan seperti ini dibiarkan tanpa koreksi, masyarakat jadi terbiasa memperlakukan tubuh sebagai objek tawa, bukan sebagai bagian dari integritas seseorang. Bukan berarti semua lelucon harus dikontrol ketat, tapi perlu ada kesadaran bahwa tidak semua orang nyaman dijadikan bahan bercanda, apalagi soal tubuhnya. Situasi seperti ini dapat menciptakan ruang yang tidak aman, terutama bagi mereka yang sudah sering mengalami pelecehan verbal.

3. Pendidikan seks masih fokus pada moral, bukan perspektif hak

ilustrasi pendidikan seks (pexels.com/cottonbro studio)

Salah satu kesalahan mendasar dalam pendidikan seks di banyak tempat adalah terlalu menekankan soal moral tanpa membahas hak dan persetujuan. Orientasi pada larangan tanpa penjelasan yang komprehensif membuat anak muda minim informasi yang seimbang tentang tubuh, relasi, dan batasan. Akibatnya, banyak yang tumbuh dengan pemahaman keliru tentang seksualitas.

Ketika pendidikan seks gagal memberikan konteks tentang persetujuan dan otonomi tubuh, maka muncul ruang kosong yang diisi oleh narasi dari media atau lingkungan yang tidak sehat. Inilah yang kemudian membentuk budaya di mana tubuh dilihat sebagai alat pemuas, bukan bagian dari diri yang berhak dihargai. Jika pendidikan bisa lebih berorientasi pada kesadaran kritis, objektifikasi seksual bisa dicegah sejak dini.

4. Konsumsi konten seksual tidak diiringi literasi

ilustrasi majalah dewasa (pexels.com/cottonbro studio)

Maraknya konten seksual di internet tidak selalu sebanding dengan meningkatnya literasi seksual publik. Banyak orang yang mengonsumsi konten-konten semacam ini tanpa refleksi atau pemahaman kritis terhadap dampaknya. Akibatnya, terjadi penyederhanaan terhadap hubungan antar manusia, di mana tubuh menjadi titik utama perhatian.

Literasi seksual bukan berarti membatasi akses, melainkan memberikan alat untuk menilai dan menyikapi konten dengan bijak. Ketika seseorang mampu membedakan antara fiksi, eksploitasi, dan relasi sehat, maka sikap terhadap tubuh baik tubuh sendiri maupun orang lain menjadi lebih etis. Tanpa literasi ini, objektifikasi mudah diterima karena tampak normal dan lumrah dalam konsumsi sehari-hari.

5. Media sosial mendorong validasi lewat penampilan

ilustrasi media sosial (pexels.com/Lance Reis)

Platform media sosial sering kali membentuk iklim persaingan visual, di mana penampilan menjadi alat utama untuk mendapatkan validasi. Algoritma platform memprioritaskan konten yang menarik perhatian, dan sayangnya konten yang menampilkan tubuh secara seksual sering kali mendapat lebih banyak interaksi. Hal ini memicu banyak orang untuk terus menampilkan citra tubuh yang sesuai dengan tren demi diterima.

Ketika validasi sosial terlalu bergantung pada tubuh, maka muncullah tekanan yang membuat orang merasa harus tampil dengan cara tertentu agar dianggap menarik. Kondisi ini bukan hanya mendorong objektifikasi oleh orang lain, tetapi juga membuat individu memandang tubuhnya sendiri secara terfragmentasi. Kepercayaan diri pun akhirnya tidak dibangun dari dalam, melainkan dari jumlah likes dan komentar yang diterima.

Objektifikasi seksual tidak terjadi begitu saja, melainkan tumbuh dari kebiasaan, sistem, dan cara berpikir yang salah kaprah namun terus dibiarkan. Ketika berbagai elemen dalam kehidupan sehari-hari ikut berkontribusi tanpa disadari, maka penting untuk mengidentifikasi kesalahan-kesalahan umum yang menjadi sumbernya. Dengan memahami akar masalah sekaligus kesalahan yang bikin objektifikasi seksual dianggap wajar, kamu bisa mengubah cara pandang serta berkontribusi menciptakan ruang yang lebih aman sekaligus manusiawi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us