Ratih Kumala Terbitkan Koloni, Bicara Tentang Perebutan Kekuasaan

- Ratih Kumala terbitkan novel Koloni, terinspirasi dari Animal Farm karya George Orwell
- Ratih memilih semut karena ingin mengangkat soal 'strata sosial' dan merasa 'gemas' dengan kondisi negara
- Ratih Kumala juga memasukkan unsur lainnya, seperti romansa hingga mental health dalam bukunya
Jakarta, IDN Times - Riuh tepuk tangan terdengar ketika Gramedia Pustaka Utama resmi memperkenalkan karya terbaru Ratih Kumala. Novel itu berjudul Koloni, sebuah kisah yang sekilas tampak sederhana karena berangkat dari dunia semut, namun sesungguhnya menyimpan gelombang besar tentang perebutan kuasa. Di panggung peluncuran, suasana dibuat semakin dramatis ketika musisi Sal Priadi membacakan penggalan novel dengan intonasi penuh rasa, seolah membuka pintu bagi pembaca untuk ikut menyelami kehidupan koloni yang getir dan hirarkis.
Acara peluncuran buku ini dilangsungkan pada Jumat (22/8/2025) di Perpustakaan Jakarta Cikini, Jakarta Pusat, dan disambut hangat oleh para penggemar Ratih Kumala. Dimulai pada pukul 7 malam, para penggemar terlihat sudah mengamankan kursi sejak pukul 6. Semuanya antusias menyambut buku terbaru dari Ratih Kumala ini.
Di momen ini, Ratih, yang sebelumnya dikenal lewat Gadis Kretek, kembali menghadirkan karya yang sarat makna. Koloni bukan sekadar fabel tentang makhluk kecil di bawah tanah, melainkan cermin satir bagi kehidupan manusia modern: ada penguasa yang enggan melepas tahtanya, ada generasi baru yang berambisi naik ke atas, dan ada para pekerja yang setia namun terus diperas tenaganya. Dengan premis 'Semut untuk koloni, koloni untuk semut' Ratih mengajak pembaca masuk ke sebuah dunia kecil yang terasa begitu dekat dengan dinamika sosial dan politik manusia.
1. Terinspirasi dari Animal Farm karya George Orwell

Dalam proses pembuatan buku ini, Ratih mengatakan bahwa awalnya ia menciptakan karakternya berupa manusia. Hanya saja, menurut Ratih, cerita ini berasal dari rasa kecewa dan amarahnya. Sehingga rasa marah itu sangat terasa ketika karakternya dibuat sebagai manusia. Itulah mengapa, akhirnya Ratih mencoba untuk membuat ulang kerangka tulisannya dengan menciptakan konsep lain, yang membuat kemarahannya tidak begitu jelas dalam alur ceritanya.
Ratih juga mengatakan bahwa dirinya sangat menyukai karya dari George Orwell bertajuk Animal Farm. Itu juga cukup mempengaruhi bagaimana Ratih membuat ulang kerangka tulisan untuk Koloni. Karena akhirnya Ratih memutuskan untuk membuat ceritanya menjadi fabel. Ratih menjelaskan, bedanya adalah, Animal Farm bercerita tentang hewan peternakan yang 'dimanusiakan'. Sedangkan dalam Koloni, Ratih benar-benar menceritakan hewan (semut) dengan watak alamiah semut itu sendiri.
"Saat membuat draft, awalnya itu Koloni karakternya manusia. Namun, saat aku menampilkan karakter manusia, keluarnya itu malah menjadi kemarahan. Lewat cerita ini, ternyata aku menyimpan banyak kekesalan. Nah, aku mau mencoba memisahkan amarahku. Terus aku ngefans banget sama Animal Farm karya George Orwell, nah akhirnya aku buat kerangka tulisannya pakai binatang, khususnya karakter semut," jelas Ratih Kumala.
2. Ratih Kumala memilih semut karena ingin mengangkat juga soal 'strata sosial'

Dari berbagai hewan yang ada, Ratih melabuhkan pilihannya pada semut. Alasan utama Ratih memilih semut karena ia merasa apa yang ingin disampaikan sangat terwakilkan oleh semut. Setelah melakukan riset, Ratihg menemukan bahwa semut itu memilih strata sosial yang cukup kuat. Hanya saja, strata pada semut sudah terbentuk sejak lahir. Ada semut yang terlahir sebagai pekerja, ratu, hingga semut jantan.
Ratih tidak hanya melihat semut sebagai serangga kecil yang bekerja tanpa lelah, tapi juga sebagai cermin kehidupan manusia. Ia menemukan bahwa dunia semut menyimpan struktur sosial yang jelas, bahkan sejak lahir. Dari sanalah ia menarik benang merah untuk membicarakan topik yang lebih luas: bagaimana 'strata' atau kelas bisa menentukan posisi, pilihan, dan bahkan jalan hidup makhluk hidup, termasuk manusia.
"Semut itu ada strata dan itu dibentuk sejak mereka lahir, gak seperti kita yang dibentuk oleh masyarakat. Kalau semut, itu apakah menjadi semut ratu, semut pekerja, atau semut jantan. Nah, di antara pimpinan semut itu, mereka sangat bersaing untuk menjadi ratu alpha," lanjut Ratih Kumala.
3. Bahan bakar Ratih membuat buku ini karena merasa 'gemas' dengan kondisi negara

Ratih tidak menutupi bahwa emosi menjadi sumber utama kreativitasnya. Ia bercerita bahwa rasa marah dan kecewa terhadap kondisi negara justru membuat proses menulisnya melaju cepat, seolah bahan bakar ide itu terus menyala tanpa henti.
Dari perasaan itulah lahir tiga karakter semut ratu dalam bukunya. Masing-masing semut ratu mewakili tiga pemimpin negara yang menurut Ratih kerap mengecewakan. Rasa 'gemas' itulah yang akhirnya ia jahit menjadi sebuah cerita penuh sindiran, namun tetap mengalir dengan gaya khasnya.
"Secara teknis, bahan bakarku itu kan dari rasa marah, makanya menjahit ceritanya cepat. Ada karakter 3 semut ratu yang mewakili 3 pemimpin negara yang aku merasa kecewa," tutur Ratih.
4. Ratih Kumala juga memasukkan unsur lainnya, seperti romansa hingga mental health

Selain kritik sosial dan politik, Ratih Kumala ternyata juga menyelipkan isu-isu lain dalam karyanya. Ia tak segan menyinggung topik mental health melalui kisah semut-semut yang merasa kesepian, bahkan sampai terpikirkan untuk mengakhiri hidupnya. Bagi Ratih, realitas seperti itu memang ada di sekitar kita, sehingga wajar jika akhirnya ikut hidup dalam cerita.
Tak hanya itu, ia juga menambahkan sisi romansa lewat kisah cinta dan perkawinan semut. Dengan gaya naratifnya, Ratih menggambarkan bagaimana semut berkomunikasi dan menjalin hubungan melalui feromon, sebuah detail biologis yang ia ubah menjadi simbol puitis dalam cerita. Hasilnya, novel ini bukan hanya penuh sindiran, tapi juga menghadirkan dimensi emosional yang lebih dekat dengan pembaca.
"Ada juga satu isu mental health yang diangkat, di ceritanya ada semut-semut yang merasa sendirian dan terpikirkan untuk suicide. Terus, ada juga berbicara tentang cinta (perkawinan). Ada mengenai bagaimana semut berkomunikasi dan melakukan perkawinan lewat feromon," kata Ratih Kumala.
5. Mengusung premis 'Semut untuk koloni, koloni untuk semut'

Dalam bukunya, Ratih Kumala menggunakan premis 'Semut untuk koloni, koloni untuk semut'. Karena buku Koloni ini berpusat pertarungan dua ratu semut, Ratu Gegana dan Ratu Darojak. Ratu Gegana merupakan sang penguasa lama yang enggan turun tahta. Sedangkan Ratu Darojak, generasi muda yang berambisi mengambil alih kekuasaan. Konflik keduanya memantik pergeseran besar dalam koloni, membuka kisah tentang loyalitas, ambisi, hingga politik yang getir.
Dalam salah satu kutipan di novelnya, "Lahir sebagai semut adalah lahir dalam koloni yang pincang, tidak adil. Yang pekerja terusbekerja, yang prajurit bisa semena-mena, yang jantan harus menunggu tak pasti, yang menjadiratu selamanya dilayani."
Buku Koloni bukan sekadar cerita tentang dunia semut, melainkan sebuah cermin satir yang menyingkap wajah kehidupan manusia. Koloni hadir dalam edisi baru dengan 251 halaman, format softcover berukuran 13,5 x 20 cm, dan dibanderol dengan harga Rp109 ribu. Koloni tersedia di seluruh jaringan Gramedia.