Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

7 Strategi Efektif Wujudkan Kesetaraan Gender yang Lebih Inklusif

ilustrasi laki-laki yang berpartisipasi dalam gerakan kesetaraan gender (unsplash.com/Samantha Sophia)
ilustrasi laki-laki yang berpartisipasi dalam gerakan kesetaraan gender (unsplash.com/Samantha Sophia)
Intinya sih...
  • Kesetaraan gender memerlukan perubahan pola pikir dan dukungan lingkungan yang inklusif.
  • Paternity leave penting untuk keseimbangan peran pengasuhan antara ayah dan ibu.
  • Pembagian tanggung jawab perawatan, lingkungan kerja ramah keluarga, pemberdayaan perempuan, hak reproduksi, dan penolakan kekerasan berbasis gender adalah langkah penting dalam mewujudkan kesetaraan gender.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kesetaraan gender masih menjadi isu global yang memerlukan perhatian serius dari seluruh lapisan masyarakat. Meski kemajuan telah banyak dicapai, ketidakadilan berbasis gender masih terjadi di berbagai aspek kehidupan, mulai dari lingkup rumah tangga hingga dunia kerja. Kondisi ini bukan hanya merugikan perempuan, tetapi juga menghambat kemajuan sosial dan ekonomi secara menyeluruh.

Setiap individu memiliki peran penting dalam mendorong terciptanya kesetaraan gender. Upaya ini tidak semata-mata tentang memperjuangkan hak perempuan, melainkan juga memastikan lingkungan yang adil bagi semua gender.

Perubahan bisa dimulai dari hal sederhana, seperti mengubah pola pikir yang kaku hingga mendukung kebijakan yang inklusif. Setiap langkah, sekecil apa pun, berpotensi memberi dampak besar bagi masa depan yang lebih setara.

Dalam artikel ini, kita akan membahas tujuh strategi efektif untuk mewujudkan kesetaraan gender yang lebih inklusif di masyarakat masa ini. Yuk, simak sampai sampai akhir.

1. Tantang stereotip tentang peran gender dalam keluarga dan masyarakat

ilustrasi ayah yang mengasuh anak sambil bekerja dari rumah (unsplash.com/Surface)
ilustrasi ayah yang mengasuh anak sambil bekerja dari rumah (unsplash.com/Surface)

Stereotip gender yang mengakar kuat dalam keluarga dan masyarakat sering kali membatasi potensi individu. Anggapan bahwa perempuan harus mengurus rumah tangga, sementara laki-laki bertugas mencari nafkah telah menciptakan ketimpangan dalam pembagian peran. Situasi ini tidak hanya membebani perempuan dengan tanggung jawab ganda, tetapi juga menyulitkan laki-laki untuk terlibat lebih dalam ranah domestik.

Perubahan pola pikir memerlukan edukasi sejak dini, baik di rumah maupun di sekolah, agar anak-anak tumbuh dengan pemahaman bahwa semua gender memiliki hak dan kesempatan yang sama. Selain itu, media memiliki peran penting dalam memperkuat atau melawan stereotip gender.

Tayangan yang menampilkan perempuan sebagai sosok lemah atau laki-laki yang tidak boleh mengekspresikan emosi hanya akan memperdalam ketidaksetaraan. Sebaliknya, konten yang menampilkan keberagaman peran gender, seperti ayah yang aktif mengasuh anak, atau perempuan yang sukses meniti karier di segala bidang bisa membantu mematahkan stigma yang ada.

2. Ambil hak cuti paternitas

ilustrasi ayah menggendong anaknya yang baru lahir (unsplash.com/Tim Mossholder)
ilustrasi ayah menggendong anaknya yang baru lahir (unsplash.com/Tim Mossholder)

Hak cuti ayah atau paternity leave masih sering terabaikan di banyak negara, termasuk Indonesia. Padahal, cuti ini memberi kesempatan bagi ayah untuk terlibat langsung dalam pengasuhan anak sejak dini. Mengambil paternity leave berarti ayah turut mendukung pasangan serta membantu menyeimbangkan peran pengasuhan antara ibu dan ayah. Langkah ini bisa mengurangi beban mental maupun fisik yang kerap dipikul oleh ibu baru.

Selain memberi manfaat bagi keluarga, paternity leave juga berpotensi mendorong perubahan budaya di lingkungan kerja. Semakin banyak ayah yang memanfaatkan hak ini, semakin besar pula peluang perusahaan memandangnya sebagai hal wajar diberikan juga untuk laki-laki.

Perusahaan dan pemerintah juga perlu mendukung kebijakan cuti paternitas yang memadai. Menurut laporan Nordic Council of Ministers (2010), negara-negara Nordik telah membuktikan bahwa kebijakan cuti orang tua yang setara bisa meningkatkan partisipasi laki-laki dalam urusan domestik. Sistem kesejahteraan di negara-negara Nordik juga dikenal mampu menjamin keamanan sosial bagi semua orang, dengan perhatian khusus pada keluarga yang memiliki anak.  Dukungan terhadap paternity leave bukan hanya membangun keluarga yang lebih kuat, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang setara.

3. Bagi tanggung jawab perawatan secara adil

ilustrasi ayah sedang bermain bersama anaknya (unsplash.com/Picsea)
ilustrasi ayah sedang bermain bersama anaknya (unsplash.com/Picsea)

Pembagian tanggung jawab perawatan anak dan pekerjaan rumah tangga secara adil antara pasangan merupakan langkah penting untuk mewujudkan kesetaraan gender. Selama ini, beban merawat anak, orang tua lanjut usia, serta mengurus pekerjaan domestik masih banyak dipikul perempuan, sehingga sering kali membatasi partisipasi mereka di dunia kerja maupun ruang publik.

Pembagian peran yang setara memberi kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk berkembang di berbagai aspek kehidupan. Perawatan yang terbagi secara adil juga berdampak positif bagi anak-anak, karena sejak kecil mereka memahami bahwa pengasuhan bukanlah tanggung jawab yang melekat pada gender tertentu.

Kebijakan pemerintah yang menghadirkan cuti parental setara bagi ayah dan ibu, serta insentif bagi perusahaan yang menyediakan fasilitas perawatan anak juga mampu mempercepat terciptanya perubahan struktural menuju masyarakat yang lebih adil dan setara.

4. Desak tempat kerja agar ramah keluarga

ilustrasi ruang laktasi (spn.or.id)
ilustrasi ruang laktasi (spn.or.id)

Lingkungan kerja yang ramah keluarga menjadi kunci penting dalam mewujudkan kesetaraan gender. Banyak perempuan terpaksa meninggalkan karier karena tuntutan pengasuhan anak yang tidak seimbang, atau minimnya fasilitas seperti ruang laktasi dan daycare di kantor.

Perusahaan sebaiknya mengadopsi kebijakan yang memberi ruang bagi karyawan, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menjalankan tanggung jawab keluarga tanpa harus mengorbankan perkembangan karier. Jam kerja yang fleksibel dan opsi work from home juga bisa membantu orang tua membagi waktu secara seimbang antara pekerjaan dan keluarga.  

Atasan juga perlu memiliki kesadaran untuk tidak memberikan perlakuan diskriminatif kepada karyawan yang mengambil cuti parental. Mendorong terciptanya lingkungan kerja yang inklusif akan memastikan semua karyawan memiliki peluang yang sama untuk berkembang secara profesional, sambil tetap menjalankan peran penting mereka di rumah.

5. Berdayakan perempuan dan anak perempuan

ilustrasi perempuan aktif dalam karier (unsplash.com/Ming Labs)
ilustrasi perempuan aktif dalam karier (unsplash.com/Ming Labs)

Pemberdayaan perempuan dan anak perempuan berawal dari memastikan akses setara terhadap pendidikan, pelatihan keterampilan, dan peluang kepemimpinan. Menurut laporan UNDP dan UNICEF (2021), anak perempuan dan perempuan muda di Asia-Pasifik tidak memiliki akses yang setara ke berbagai ruang untuk memperoleh pengetahuan, membentuk keterampilan, dan menjalin relasi guna mendapat peluang usaha.

Banyak anak perempuan masih menghadapi hambatan, mulai dari perkawinan dini, keterbatasan akses pendidikan, hingga stereotip yang menilai mereka kurang cocok di bidang sains, teknologi, ilmu pemerintahan, dan politik, sehingga perlu perhatian serius. Pemberian dukungan pendidikan dan mentorship bisa membantu mereka mengembangkan potensi penuh sekaligus menjadi agen perubahan di komunitasnya.

Pendidikan saja tidak cukup, perempuan juga perlu diberi ruang untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Kuota gender dalam politik dan kepemimpinan korporat memang bisa menjadi langkah awal, tetapi yang terpenting adalah terciptanya lingkungan yang sungguh-sungguh mendengar serta menghargai suara mereka. Ketika perempuan memiliki kekuatan ekonomi dan politik, peluang untuk menciptakan perubahan yang lebih adil akan semakin terbuka.

6. Hormati hak reproduksi dan otonomi tubuh

ilustrasi perempuan yang mengakses layanan kesehatan reproduksi secara aman melalui tenaga medis (unsplash.com/Accuray)
ilustrasi perempuan yang mengakses layanan kesehatan reproduksi secara aman melalui tenaga medis (unsplash.com/Accuray)

Hak reproduksi dan otonomi tubuh merupakan bagian mendasar dari kesetaraan gender. Setiap individu berhak menentukan keputusan atas tubuhnya sendiri, termasuk kapan ingin memiliki anak, metode kontrasepsi yang digunakan, serta akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang aman. Edukasi tentang kesehatan reproduksi juga perlu diberikan sejak dini untuk mencegah kehamilan tidak direncanakan dan perkawinan anak. Menurut Laporan Yayasan Samahita (2024), berdasarkan data dari DP2KBP3A pada tahun 2021, tercatat sebanyak 567 kasus anak perempuan menjadi korban perkawinan anak.

Di banyak wilayah, perempuan masih menghadapi pembatasan terhadap hak-hak ini akibat norma sosial, kebijakan diskriminatif, atau stigma yang sudah mengakar kuat. Pendidikan seksualitas yang komprehensif dan layanan kesehatan reproduksi yang terjangkau menjadi kunci agar setiap orang mampu membuat pilihan yang tepat dan berdasarkan informasi yang benar.

Keterlibatan laki-laki juga berperan penting dalam pembahasan hak reproduksi, sebab persoalan ini bukan hanya menyangkut perempuan, melainkan menjadi tanggung jawab bersama. Menghormati otonomi tubuh berarti menghargai hak setiap individu untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.

7. Bantu akhiri kekerasan berbasis gender

ilustrasi perempuan yang saling mendukung satu sama lain demi kesetaraan (freepik.com/Standret)
ilustrasi perempuan yang saling mendukung satu sama lain demi kesetaraan (freepik.com/Standret)

Kekerasan berbasis gender, seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, dan perdagangan manusia, masih menjadi persoalan serius di berbagai belahan dunia. Korban kerap menghadapi hambatan untuk memperoleh keadilan akibat stigma, minimnya perlindungan hukum, atau sistem yang tidak responsif. Mengakhiri kekerasan ini membutuhkan upaya bersama, mulai dari edukasi tentang consent atau persetujuan, hingga pemberian dukungan bagi korban melalui layanan konseling dan bantuan hukum.

Peran komunitas juga sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang menolak segala bentuk kekerasan. Kampanye kesadaran publik, pelatihan bagi aparat penegak hukum, serta penerapan kebijakan zero tolerance terhadap pelecehan di tempat kerja menjadi langkah konkret yang perlu dijalankan.

Partisipasi laki-laki sebagai sekutu gerakan anti kekerasan juga berperan besar, sebab perubahan nyata hanya bisa terwujud ketika perempuan dan laki-laki bersatu menentang ketidakadilan. Kolaborasi yang kuat akan membawa kita menuju dunia yang lebih aman dan setara bagi semua.

Mendorong kesetaraan gender bukan tanggung jawab satu kelompok, melainkan tugas bersama yang memerlukan partisipasi aktif dari semua pihak. Perubahan bisa dimulai dari pola pikir individu hingga kebijakan inklusif di tingkat nasional. Setiap langkah yang dilakukan akan membawa kontribusi nyata bagi terciptanya masyarakat yang lebih adil. Kesetaraan gender bukan semata isu perempuan, melainkan upaya membangun dunia tempat setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang.

Sumber rujukan:

Nordic Council of Ministers. (2010). Parental leave, care policies and gender equalities in the Nordic countries: Proceedings of the conference (21–22 October 2009, Reykjavík, Iceland) (TemaNord, 2010:539). Nordic Council of Ministers.

UNDP, & UNICEF. (2021). Mengatasi hambatan gender dalam kewirausahaan dan kepemimpinan bagi anak perempuan dan perempuan muda di Asia Tenggara [Laporan]. UNICEF Indonesia.

Yayasan Samahita Bersama Kita. (2024). Kertas posisi: Perempuan menggugat—Mendorong pemenuhan hak-hak perempuan dan kelompok marjinal di wilayah Bandung Raya. Yayasan Samahita Bersama Kita.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us