Jas Sang Don: Interpretasi Feminin Kekuasaan ala Pierre Pinget

- Tradisi tailoring Italia sebagai perlawanan terhadap mode cepat dan produksi massal.
- Simbol kekuasaan dan identitas yang terbalut elegansi dalam setiap elemen koleksi.
- Inspirasi sinematik dan imajinasi subversif sebagai panggung baru untuk memberdayakan perempuan.
Jakarta, IDN Times - Dalam lanskap mode kontemporer, kekuasaan tak lagi hanya didefinisikan oleh jenis kelamin, melainkan oleh ketegasan sikap, kehalusan detail, dan keberanian bercerita melalui pakaian. Desainer Pierre Pinget, mengukir narasi tersebut melalui koleksi terbarunya yang membongkar ulang simbol-simbol mafia Italia, yang selama ini identik dengan dominasi laki-laki dan membingkainya ulang lewat kacamata femininitas modern.
Koleksi yang ditampilkan pada gelaran JF3 Fashion Festival, Minggu (27/7/2025) ini bukan sekadar permainan estetika, tapi sebuah pernyataan yang lahir dari eksplorasi mendalam atas tailoring Italia, pengalaman pribadi, dan referensi sinematik ikonik, seperti The Godfather hingga The Penguin. Mengusung prinsip sartorial dengan jiwa sinematik, Pinget memindahkan jas mafia dari layar lebar ke tubuh perempuan masa kini, perempuan yang mengambil alih peran Don dan mendikte ulang cerita kekuasaan dengan gayanya sendiri.
1. Tailoring Italia yang menyuarakan perlawanan

Koleksi yang tampil dalam gelaran JF3 Fashion Festival 2025 ini, tumbuh dari akar tradisi tailoring Italia, hasil pembelajaran intensif Pinget di bawah Master Tailor Antonelli Lello di Napoli. Dalam prosesnya, ia menyelami teknik fully canvassed dan menjahit 95 persen pakaian secara manual, menghidupkan kembali warisan keahlian tangan yang nyaris terlupakan. Teknik ini bukan hanya persoalan estetika, tetapi sebuah perlawanan terhadap mode cepat dan produksi massal.
Detail seperti benang jahit kasar yang dibiarkan tampak sengaja menjadi simbol. Ia menggambarkan jaringan mafia yang kasat mata, sekaligus memberi pilihan kepada pemakainya untuk melepasnya sebagai bentuk pembebasan dari sistem atau membiarkannya sebagai simbol kesetiaan. Setiap jahitan dalam balutan pakaiannya terlihat seperti bukan sekadar dekorasi, tapi bahasa yang menyampaikan narasi kekuasaan dan pilihan.
2. Simbol kekuasaan dan identitas yang terbalut elegansi

Dari jas double-breasted hingga topi ikonik, setiap elemen dalam koleksi ini dirancang untuk merepresentasikan kekuasaan dan anonimitas. Siluet yang dihadirkan mengacu pada pola perilaku mafia klasik, seperti mantel bervolume, celana high-waist, dan kemeja fitted, namun dengan interpretasi feminin yang tajam dan penuh presisi. Jas mantan suami, dalam narasi koleksi ini, bukan lagi warisan patriarki, melainkan senjata simbolik untuk mendefinisikan ulang identitas.
Pinget membawa pemakainya masuk ke dalam semesta perempuan yang tak lagi berada di balik layar. Mereka adalah pusat perhatian, para tokoh utama dalam dunia mereka sendiri. Pilihan materialnya pun premium, seperti wol flanel dan organza sutra mempertegas kesan eksklusif dan kuasa.
3. Referensi sinematik dan imajinasi subversif

Inspirasi Pinget tak bisa dilepaskan dari film-film klasik. Dalam karyanya, jas bukan sekadar pakaian, tapi kostum teatrikal yang berfungsi sebagai alat dominasi dan penyamaran, sebagaimana terlihat dalam Casino atau Borsalino. Namun, Pinget melakukan dekonstruksi dengan menggantikan karakter lelaki karismatik menjadi sosok perempuan penuh kendali.
Dalam transposisi sinematik ini, pakaian menjadi titik temu antara kenyataan dan fantasi. Pinget menyulap drama mafia menjadi panggung baru untuk memberdayakan perempuan. Koleksinya tak cuma berfungsi sebagai pakaian, melainkan juga naskah hidup tentang kekuasaan dan agensi.
4. Eksklusivitas lewat keahlian tangan

Sayangnya, koleksi yang ditampilkan tidak untuk produksi massal. Semua potongan dibuat secara made-to-order di atelier Pinget yang berbasis di Paris. Pendekatan ini bukan semata demi eksklusivitas, tetapi juga bentuk kesetiaan pada nilai-nilai keberlanjutan dan keahlian tinggi.
Setiap potongan dijahit sesuai ukuran klien, menciptakan pengalaman personal dan menyeluruh. Dengan pendekatan ini, Pinget mengingatkan kita bahwa kemewahan sejati terletak pada waktu, perhatian terhadap detail, dan hubungan emosional antara pencipta, pakaian, dan pemakainya.
5. Mode sebagai cermin realitas baru

Pierre Pinget tidak sekadar menciptakan koleksi fashion. Ia merancang skenario sosial tempat perempuan dapat tampil, berkuasa, dan tetap setia pada estetika yang berakar pada sejarah. Koleksi ini turut menjadikan fashion sebagai alat untuk menyampaikan pesan tentang identitas, sistem kekuasaan, dan rekonstruksi budaya.
Dengan hanya tujuh siluet, koleksi ini berbicara lebih banyak dibandingkan deretan busana runway biasa. Ia menantang norma gender, memadukan nostalgia dengan relevansi, dan mengukuhkan peran perempuan sebagai figur utama dalam narasi kontemporer kekuasaan dan gaya.
Melalui koleksi ini, Pierre Pinget menulis ulang narasi klasik mafia dalam bahasa baru, yakni bahasa yang menjahit antara identitas, kekuasaan, dan keanggunan. Setiap potongannya bukan hanya busana, tapi manifesto visual tentang perempuan yang memilih untuk mengambil alih panggung. Dalam dunia mode yang serba cepat dan penuh tuntutan tren, Pinget menghadirkan napas lambat yang kuat, penuh pernyataan, dan sarat makna.