41 Tahun CEDAW: Komnas Perempuan Tagih Aksi Nyata dari Negara

- Komnas Perempuan menyoroti lambannya pengesahan RUU PPRT dan belum dibahasnya revisi UU Perkawinan yang adil gender, meski direkomendasikan oleh Komite CEDAW sejak 2021.
- Masih banyak aparatur negara keliru memahami kesetaraan substantif, yang justru menuntut tindakan afirmatif untuk mengatasi ketimpangan struktural yang mengakar dalam kebijakan dan legislasi.
- Komnas mendesak percepatan implementasi prinsip CEDAW, termasuk harmonisasi regulasi nasional, reformasi berbasis HAM, dan prioritas pada RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG).
Jakarta, IDN Times – Periode 2025 menandai 41 tahun sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui UU No. 7 Tahun 1984. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memaknai momentum ini sebagai pengingat komitmen negara dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, termasuk pelaporan berkala kepada Komite CEDAW.
Komisioner Komnas Perempuan, Sondang Frishka, mengatakan kekerasan terhadap perempuan masih tinggi, khususnya pada pekerja rumah tangga, migran, dan sektor informal.
"Delay in justice memperparah kerentanan korban dalam mengakses keadilan, ditambah ketiadaan sistem pemulihan yang komprehensif bagi korban," ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (30/7/2025).
1. Stagnasi regulasi dan pelibatan sipil dalam laporan CEDAW

Frishka juga menyoroti stagnasi regulasi penting. RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang telah diperjuangkan hampir dua dekade belum disahkan, dan belum ada pembahasan revisi UU Perkawinan yang adil gender sebagaimana direkomendasikan oleh Komite CEDAW.
Sejak 1984, Indonesia telah menyerahkan delapan laporan berkala. Laporan ke-IX dijadwalkan pada November 2025. Komnas Perempuan menekankan pentingnya pelibatan bermakna masyarakat sipil dan lembaga HAM dalam penyusunan laporan ini, serta dalam menindaklanjuti 60 rekomendasi Komite CEDAW atas Laporan Berkala ke-VIII yang disampaikan pada 2021.
2. Kesalahpahaman prinsip kesetaraan dalam ruang kebijakan negara

Komisioner Yuni Asriyanti menyayangkan masih adanya kesalahpahaman terhadap prinsip kesetaraan substantif CEDAW.
"Tantangan terhadap prinsip kesetaraan juga muncul dalam ruang-ruang kebijakan dan legislasi,” ujarnya.
Dia mencontohkan pernyataan dalam sidang Mahkamah Konstitusi terkait UU MD3.
"Kesetaraan substantif bukan sekadar memberikan peluang yang sama, tetapi juga menuntut tindakan afirmatif untuk memperbaiki ketimpangan struktural yang telah mengakar," kata dia.
Komnas Perempuan juga menyoroti pernyataan dalam sidang pengujian UU TNI yang menyebut ibu rumah tangga tidak memiliki legal standing, yang dinilai bertentangan dengan mandat CEDAW.
3. Percepatan komitmen dan urgensi RUU Kesetaraan Keadilan Gender

Komisioner RR Sri Agustin menyatakan negara perlu mempercepat pelaksanaan kewajiban dan komitmennya dalam CEDAW.
"Termasuk menyelaraskan regulasi nasional, menjamin perlindungan hukum, serta memastikan proses pelaporan dilakukan secara inklusif dan akuntabel,” katanya.
Agustin menegaskan reformasi kebijakan harus ditopang oleh pendekatan berbasis HAM dan analisis gender. Komnas Perempuan juga mendorong agar RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) menjadi prioritas nasional, sebagaimana rekomendasi Komite CEDAW.