Menteri ATR: Tanah Nganggur Disita Negara Tetap Lewat Proses

- Tahapan peralihan tanah ke negara dilakukan secara berhati-hati
- Tanah terlantar yang disita oleh pemerintah akan diberikan ke bank tanah
- Kementerian ATR bantah penerapan PP untuk mengambil tanah rakyat
Jakarta, IDN Times - Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Nusron Wahid mengatakan, pemerintah tidak tiba-tiba langsung menetapkan tanah yang terlantar sebagai milik negara. Semua dilakukan secara bertahap dan memakan waktu hampir dua tahun.
Pernyataan itu disampaikan oleh Nusron untuk mengklarifikasi banyaknya pertanyaan dari publik terkait rencana negara untuk mengambil tanah milik warga yang terlantar. Kebijakan ini diprotes oleh publik lantaran langkah pemerintah dianggap terlalu jauh. Bahkan, tanah terlantar yang sudah berstatus Sertifikat Hak Milik (SHM).
Menteri dari Partai Golkar itu menjelaskan, penetapan tanah terlantar merupakan implementasi dari Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang penertiban tentang kawasan dan tanah terlantar. "Proses dari evaluasi sampai penetapan lahan tersebut menjadi tanah terlantar butuh waktu 587 hari," ujar Nusron di Bandar Lampung, Lampung pada Selasa (29/7/2025).
Ia menjelaskan, di dalam PP Tahun 2021 Pasal 7 dan 9 menyebutkan, tanah setelah mendapatkan hak atas tanah, baik hak guna bangunan (HGB) maupun hak guna usaha (HGU), dalam waktu dua tahun tidak dimanfaatkan dan didayagunakan maka pemerintah dapat menetapkan tanah tersebut menjadi objek tanah terlantar.
"Menurut PP tersebut, proses menetapkan tanah terlantar butuh waktu. Pertama, ada tahap evaluasi, kedua, pemberitahuan," katanya.
Pemberitahuan, kata Nusron, berlangsung selama 180 hari atau enam bulan. Setelah itu pemerintah memberikan surat pernyataan (SP) satu yang waktunya selama sembilan bulan.
"Habis itu dikasih lagi SP dua selama 60 hari, kemudian dikasih SP lagi selama 45 hari," tutur dia.
1. Tahapan peralihan tanah ke negara diklaim dilakukan secara berhati-hati

Dia pun menegaskan, saat pemerintah menetapkan suatu tanah sebagai tanah terlantar, maka hal tersebut sudah sesuai proses dan melalui tahapan yang hati-hati. Nusron menjamin pemerintah tidak bersikap sembarangan.
"Tahap-tahap dilalui sesuai prosedur, tidak asal-asalan secara sembrono dalam menetapkan tanah terlantar," kata Nusron.
Total tanah yang berstatus terlantar dan sudah disita oleh pemerintah, kata Nusron, mencapai 1,4 juta hektare.
2. Tanah terlantar yang disita oleh pemerintah akan diberikan ke bank tanah

Nusron pun menyadari usai suatu tanah diberikan status tanah terlantar, maka yang menjadi pertanyaan selanjutnya akan diberikan ke siapa lahan tersebut. Ia menyebut, lahan yang terlantar akan diserahkan ke Bank Tanah.
"Itu dikasih ke Bank Tanah. Oleh Bank Tanah digunakan sebagai tanah cadangan untuk negara yang bisa dipakai guna ketahanan pangan, energi dan hilirisasi serta lainnya. Intinya diserahkan kepada pemerintah untuk bisa dimanfaatkan," katanya.
Namun, usai menghadiri acara di Hotel Bidakara, Jakarta Pusat, Nusron pernah mengatakan lahan yang terlantar itu juga terbuka untuk dibagi-bagikan ke ormas keagamaan. Ormas itu meliputi Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), hingga Persatuan Ummat Islam (PUI).
Begitu pula untuk organisasi mahasiswa ekstra kampus (ormek), termasuk Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
"Di sinilah sebetulnya peluang daripada sahabat-sahabat sekalian keluarga besar PMII, keluarga besar NU, keluarga besar Muhammadiyah, keluarga besar yang lain untuk mengisi ruang ini. Nah, ini saya baru cerita yang sudah terpetakan dan bersertifikat sehingga peluangnya yang bapak-bapak bisa lakukan itu ada 1,4 juta hektare," tuturnya.
3. Kementerian ATR bantah penerapan PP untuk mengambil tanah rakyat

Sementara, Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (Dirjen PPTR) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Jonahar, menegaskan penetapan objek penertiban tanah telantar terhadap Hak Milik (SHM) memiliki kriteria yang berbeda dibandingkan dengan tanah berstatus Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB). Saat ini, pihaknya menyatakan bahwa penertiban difokuskan pada HGU dan HGB yang dimiliki oleh Badan Hukum.
Berdasarkan PP Nomor 20 Tahun 2021, tanah HGU dan HGB dapat menjadi objek penertiban apabila selama dua tahun sejak diterbitkan haknya tidak diusahakan, tidak digunakan, atau tidak dimanfaatkan sebagaimana peruntukan yang tercantum dalam proposal awal.
Untuk itu, ia mengimbau masyarakat yang memiliki tanah, baik yang sedang ditempati atau berada jauh, untuk merawat tanahnya dan jangan sampai mengganggu ketertiban umum.
“Kalau HGU, ditanami sesuai dengan proposal awalnya. Kalau HGB, dibangun sesuai peruntukannya. Kalau hak milik, jangan sampai dikuasai orang lain,” ujar Jonahar di dalam keterangan tertulis pada hari ini.
Ia juga menggarisbawahi tujuan utama kebijakan tersebut bukan untuk mengambil alih tanah rakyat, tetapi agar seluruh tanah di Indonesia dimanfaatkan secara optimal. Hal ini, katanya, sejalan dengan amanat Pasal 33 dalam Undang-Undang Dasar 1945, di mana isinya tanah dan sumber daya agraria dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.