Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

MK Putuskan Pemilu Tak Dilakukan Serentak, KPU: Kurangi Beban Kerja

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Mochammad Afifuddin. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Mochammad Afifuddin. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Intinya sih...
  • KPU menunggu revisi UU Pemilu dan UU Pilkada
  • DPR akan kaji putusan MK terlebih dahulu
  • MK memutuskan jeda pemilu nasional dan lokal untuk mengurangi beban kerja KPU

Jakarta, IDN Times - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mochammad Afifuddin mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan waktu penyelenggaraan pemilihan umum nasional dan lokal. Dalam pandangannya, pemisahan perhelatan pemilu bisa meringankan beban kerja KPU.

MK pada Kamis (26/6/2025) memutuskan perhelatan pemilu nasional dan daerah diberi jarak minimal dua tahun usai pelantikan presiden. Artinya, pemilu lima kotak tidak lagi berlaku.

"Ini akan meringankan beban, tidak dilakukan di tahun yang sama," ujar Afifuddin di Grogol, Jakarta Barat, kemarin.

Oleh karena itu KPU mengaku menghormati putusan MK yang mulai berlaku untuk pemilu 2029 mendatang. "Bagi penyelenggara, ketika pelaksanaan tahapannya sangat berhimpitan itu bagaimanapun, mau tidak mau, berdampak terhadap beban yang bersamaan dalam satu waktu. Tetapi kami kan juga tetap akan melaksanakan itu dan pernah melaksanakan itu," katanya.

1. KPU menunggu UU Pemilu dan UU Pilkada direvisi

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Mochammad Afifuddin (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Mochammad Afifuddin (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Lebih lanjut Afifuddin mengatakan pihaknya kini hanya menunggu hingga dilakukan revisi terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada. "Kami berharap itu kemudian diturunkan pada level undang-undang yang mengapresiasi dan menerima masukan dari banyak pihak, baik penyelenggara, peserta pemilu, dan seterusnya," tutur dia.

Selain mengurangi beban kerja, mantan anggota Bawaslu itu juga menyinggung manfaat positif dari keputusan MK tersebut. Salah satunya masyarakat bisa lebih fokus bila pemilu nasional dan daerah dipisah.

"Jadi, tidak ada komentar pas pilkada 'lho ini masih ada pemilu lagi'. Tidak semua orang mudah kami jelaskan ada pemilu ada pilkada. Tetapi, sekiranya tahapan ini tidak berhimpit, mungkin sisi perhatian dan konsentrasi penyelenggara bisa lebih baik, lebih refresh gitu ya," katanya.

2. DPR akan kaji lebih dulu putusan MK

Screenshot_20250628-210842_Instagram.jpg
Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Sarmuji ketika mengikuti HUT Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) di kantor DPP Partai Golkar, Jakarta Barat. (www.instagram.com/@m.sarmuji)

Sementara, Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Sarmuji mengatakan DPR akan mengkaji lebih dulu putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah tersebut.

"Semua kemungkinan masih terbuka, dan DPR siap untuk membahasnya. Tetapi ini nanti masih kami kaji secara mendalam terhadap amar putusan MK dan kami sesuaikan dengan keinginan kami untuk melakukan revisi UU Politik," ujar Sarmuji di kantor DPP Partai Golkar, Jakarta Barat pada Sabtu kemarin.

3. MK memutuskan ada jeda pemilu nasional dan lokal untuk mengurangi beban kerja KPU

Ketua MK Suhartoyo (YouTube/MK RI)
Ketua MK Suhartoyo (YouTube/MK RI)

Sementara, Ketua MK Suhartoyo memutuskan, pemilu lokal paling singkat digelar 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun dari perhelatan pemilu di tingkat nasional. Dengan begitu, kata Suhartoyo, pemilu bisa menghasilkan pemimpin berkualitas.

Selain itu, kata Suhartoyo, salah satu alasan MK memutuskan untuk memisahkan pemilu adalah untuk mengurangi beban kerja penyelenggara. MK mencatat jadwal pemilu yang bersamaan dalam satu tahun menyebabkan penyelenggara mengalami penumpukan tugas dan waktu kosong yang cukup panjang.

MK juga menyoroti beban kerja penyelenggara pemilu yang meningkat akibat jadwal pemilu yang saling berdekatan, yang berdampak pada kualitas pemilu itu sendiri. Misalnya, pemilu untuk anggota DPR RI, DPD RI, presiden/wakil presiden, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota pada 2024 yang berdekatan dengan pemilihan kepala daerah, membuat tahapan pemilu hanya berlangsung sekitar dua tahun. Padahal, sesuai dengan Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, penyelenggara pemilu seharusnya bersifat nasional dan berlanjut dari tingkat pusat hingga daerah dengan masa jabatan lima tahun.

"Maka, masa jabatan penyelenggara pemilu menjadi tidak efisien dan tak efektif karena hanya melaksanakan ‘tugas inti’ penyelenggaraan pemilu hanya sekitar dua tahun," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us