Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pemilu Nasional dan Lokal Dipisah, Golkar: Putusan MK Final-Mengikat

Screenshot_20250628-210842_Instagram.jpg
Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Sarmuji ketika mengikuti HUT Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) di kantor DPP Partai Golkar, Jakarta Barat. (www.instagram.com/@m.sarmuji)
Intinya sih...
  • DPR akan kaji lebih dulu putusan MK
  • KPU nilai putusan MK akan kurangi beban tugas saat pemilu
  • MK memutuskan ada jeda pemilu nasional dan lokal untuk mengurangi beban kerja KPU

Jakarta, IDN Times - Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Sarmuji, ikut angkat bicara soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta agar pemilu nasional tidak lagi dilakukan secara serentak dengan pemilu lokal. Menurutnya, banyak pihak yang mempertanyakan putusan MK tersebut.

Bahkan, sejumlah politisi menilai langkah yang diputuskan oleh MK dianggap melampaui kewenangan DPR sebagai pembentuk undang-undang. Meski begitu, putusan dengan Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu bersifat final dan mengikat.

"Keputusan MK itu final dan mengikat sifatnya, meskipun masih banyak orang yang bertanya-tanya mengapa MK memutuskan begitu," ujar Sarmuji di kantor DPP Partai Golkar, Sabtu (28/6/2025).

Ia mengatakan, dengan adanya putusan MK tersebut maka parlemen bisa membuat undang-undang baru yang mengatur pemisahan pemilu nasional dan daerah. Pembuatan undang-undang baru, dapat dilakukan selama tidak melanggar hal-hal yang berkaitan dengan putusan MK yang dibacakan pada 26 Juni 2025 lalu itu.

Meskipun, ia tak menutup peluang undang-undang baru itu nantinya juga bisa digugat ke MK.

1. DPR akan kaji lebih dulu putusan MK

Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Muhammad Sarmuji. (Dokumentasi DPR)
Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Muhammad Sarmuji. (Dokumentasi DPR)

Lebih lanjut, kata pria yang juga menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar di parlemen itu, DPR akan mengkaji lebih dulu putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah tersebut.

"Semua kemungkinan masih terbuka, dan DPR siap untuk membahasnya. Tetapi ini nanti masih kami kaji secara mendalam terhadap amar putusan MK dan kami sesuaikan dengan keinginan kami untuk melakukan revisi UU Politik," ujar Sarmuji.

2. KPU nilai putusan MK akan kurangi beban tugas saat pemilu

Anggota Bawaslu Mochammad Afifudin (Dok.Humas Bawaslu)
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mochammad Afifudin (Dok.Humas Bawaslu)

Sementara, sambutan positif datang dari Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mochammad Afifuddin, terkait putusan MK yang dibacakan pada Kamis kemarin. Ia menilai, putusan MK yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal bakal meringankan beban kerja KPU. Desain Pemilu 2024 di mana pemilu nasional dan lokal beririsan membuat KPU bekerja sangat keras.

"Memang tahapan yang beririsan bahkan bersamaan secara teknis lumayan membuat KPU harus bekerja ekstra," ujar Afifuddin ketika dikonfirmasi pada Sabtu (28/6/2025).

Oleh karena itu, KPU pun menghormati putusan MK yang menyatakan pemilu nasional dan daerah mesti dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun dan 6 bulan.

3. MK memutuskan ada jeda pemilu nasional dan lokal untuk mengurangi beban kerja KPU

Majelis hakim Mahkamah Konstitusi. (youtube/mk ri)
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi. (youtube/mk ri)

Sementara, Ketua MK Suhartoyo memutuskan, pemilu lokal paling singkat digelar 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun dari perhelatan pemilu di tingkat nasional. Dengan begitu, kata Suhartoyo, pemilu bisa menghasilkan pemimpin berkualitas.

Selain itu, kata Suhartoyo, salah satu alasan MK memutuskan untuk memisahkan pemilu adalah untuk mengurangi beban kerja penyelenggara. MK mencatat jadwal pemilu yang bersamaan dalam satu tahun menyebabkan penyelenggara mengalami penumpukan tugas dan waktu kosong yang cukup panjang.

MK juga menyoroti beban kerja penyelenggara pemilu yang meningkat akibat jadwal pemilu yang saling berdekatan, yang berdampak pada kualitas pemilu itu sendiri. Misalnya, pemilu untuk anggota DPR RI, DPD RI, presiden/wakil presiden, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota pada 2024 yang berdekatan dengan pemilihan kepala daerah, membuat tahapan pemilu hanya berlangsung sekitar dua tahun. Padahal, sesuai dengan Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, penyelenggara pemilu seharusnya bersifat nasional dan berlanjut dari tingkat pusat hingga daerah dengan masa jabatan lima tahun.

"Maka, masa jabatan penyelenggara pemilu menjadi tidak efisien dan tak efektif karena hanya melaksanakan ‘tugas inti’ penyelenggaraan pemilu hanya sekitar dua tahun," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah
EditorSunariyah
Follow Us