Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Momen Ketua MK Ceramahi Pemohon UU Tipikor karena Telat Datang Sidang

IMG-20250805-WA0022(1).jpg
Hermawanto adalah Pemohon perkara nomor 71/PUU-XXIII/2025 yang melakukan uji materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) (YouTube/MK RI)
Intinya sih...
  • Ketua MK santai tanggapi keterlambatan
  • Sidang UU Tipikor ditunda karena Pemohon tidak hadir
  • Permohonan perbaikan pasal 21 dan penjelasannya UU Tipikor
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Seorang Pemohon bernama Hermawanto meminta maaf kepada jajaran hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam persidangan lanjutan di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat, Selasa (5/8/2025). Hermawanto adalah Pemohon perkara nomor 71/PUU-XXIII/2025 yang melakukan uji materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Permintaan maaf itu disampaikan Hermawanto karena dalam persidangan sebelumnya ia datang terlambat sehingga tidak diperkenankan memasuki ruangan sidang dan duduk di kursi Pemohon. Ia mengaku datang terlambat selama lima menit dari jadwal persidangan yang ditetapkan. Sidang sebelumnya digelar dengan agenda mendengar keterangan presiden dan ahli/saksi Pemohon pada 24 Juli 2025.

"Terima kasih yang mulia saya Hermawanto principal pemohon nomor 71. Yang pertama saya mohon maaf yang mulia, persidangan yang lalu saya terlambat lima menit yang mulia sampai di lokasi, sampai di bawah," ucap dia di hadapan hakim MK.

1. Pesan Ketua MK dengan santai

IMG-20250729-WA0010.jpg
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Suhartoyo (YouTube/Mahkamah Konstitusi)

Menanggapi hal tersebut, Ketua MK, Suhartoyo berpesan dengan santai sembari tersenyum. Ia menyebut, terlambat lima menit sebenarnya sama dengan 35 menit. Mengingat pihak yang terlibat harus sudah datang dan masuk di ruang sidang sejak setengah jam sebelum persidangan dimulai.

"Terlambat 5 menit itu sama juga terlambat 35 menit. Karena harus setengah jam sebelumnya, bapak-bapak sudah duduk di situ, kami menunggu," ungkapnya sambil tertawa kecil.

2. Sidang UU Tipikor ditunda karena Pemohon dianggap tidak hadir

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Suhartoyo. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Suhartoyo. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Sebelumnya, Hermawanto tidak menghadiri sidang dengan agenda Mendengar Keterangan Presiden dan Ahli/Saksi Pemohon di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (24/7/2025). Karena itu, MK akhirnya menunda sidang hingga Selasa, 5 Agustus 2025 pukul 13.30 dengan agenda yang sama.

“Jika tidak hadir nanti kami akan bersikap apakah Pemohon serius atau tidak dengan permohonannya,” ujar Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

Dia menuturkan, Kepaniteraan MK mencoba mengonfirmasi Pemohon sebelum persidangan dimulai. Namun, Pemohon menyebutkan masih berada di perjalanan. Sementara, kata Suhartoyo, MK tidak bisa menunggu dan sidang harus tetap berjalan sebagaimana yang sudah dijadwalkan. Sebab, ada sidang berikutnya yang juga harus dilaksanakan sesuai waktu yang telah ditentukan.

3. Permohonan yang diajukan Hermawanto

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Hermawanto yang berprofesi sebagai advokat menyampaikan perbaikan permohonan pengujian Pasal 21 dan Penjelasan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK/Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001. Hermawanto mengatakan, pasal yang diuji tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.

“Melanggar hak atas kepastian hukum dan prinsip negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 28D ayat (1),” ujar Hermawanto dalam Sidang Perkara Nomor 71/PUU-XXIII/2025 dengan agenda perbaikan permohonan pada Senin (2/6/2025).

Pasal 21 UU Tipikor menyebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus limpa puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)” dan Penjelasannya: Pasal 21 Cukup jelas.

Pemohon menilai frasa “atau tidak langsung” pada rumusan norma pasal beserta penjelasannya yang diuji tersebut berpotensi menjerat setiap warga negara yang menyuarakan opini publik atau melakukan kontrol sosial melalui media massa, seminas, diskusi kampus, demonstrasi, konferensi pers, dan lain-lain. Jika suara publik dianggap oleh penyidik dengan berdasarkan penilaian subjektif penyidik ‘menghalangi penyidikan, penuntutan, dan persidangan’ karena secara tidak langsung mempengaruhi proses hukum pada aparat penegak hukum, maka akan ada ancaman terhadap kebebasan dan rasa aman dalam berekspresi. Padahal konstitusi menegaskan kebebasan menyampaikan pendapat dan rasa aman dalam berekspresi merupakan elemen penting dalam negara demokrasi.

Namun, menurut Pemohon, bentuk perbuatan dan tingkat mempengaruhinya sangat subjektif dari aparat penegak hukum karena dilakukan secara ‘tidak langsung’ sebagaimana bunyi dalam Pasal 21 UU Tipikor tidak pasti batasannya. Hal tersebut dinilai sangat bergantung pada penilaian parat penegak hukum yang tentu sangat berbahaya bagi kebebasan berekspresi dan bisa menghambat partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum di dalam kehidupan berdemokrasi.

Terbuka peluang penafsiran yang meluas pada Pasal 21 UU Tipikor yang bisa bersifat subjektif dan represif oleh aparat penegak hukum terhadap tindakan yang dianggap menghalangi proses hukum berpotensi disalahgunakan untuk menekan atau mengkriminalisasi pihak-pihak tertentu tanpa dasar hukum yang jelas. Karena itu, dalam petitumnya Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan frasa “atau tidak langsung” Pasal 21 dan Penjelasannya UU Tipikor bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us