MUI: AI Tak Bisa Jadi Rujukan Penjelasan Agama

- Cholil menjelaskan, meskipun AI tidak bisa menggantikan peran ulama, teknologi ini tetap bisa dipakai secara arif. Namun, AI tidak layak dijadikan mujtahid maupun mufti.
- Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah itu juga menuturkan, AI bersifat anonim. Hal ini membuatnya tidak memenuhi kriteria sebagai mufti.
- Cholil juga menekankan pentingnya metodologi dalam penetapan hukum. Lembaga fatwa di dunia Islam selalu mengedepankan pendekatan yang komprehensif.
Jakarta, IDN Times - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyampaikan artificial intelligence atau kecerdasan buatan (AI) tidak bisa menjadi rujukan penjelasan agama. Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis, menjelaskan AI tidak memiliki kesadaran layaknya manusia.
Padahal, kata Cholil, kesadaran merupakan unsur yang sangat penting ketika seorang ulama mengeluarkan fatwa. Ia menegaskan, penetapan fatwa memerlukan wawasan mendalam serta pemahaman yang erat dengan kondisi nyata masyarakat.
"Seorang mufti harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang yurisprudensi Islam. Meski kecerdasan buatan adalah karunia, dan berkah yang besar dari Allah," ujar Cholil dilansir dari laman resmi MUI, Selasa (19/8/2025).
1. AI tetap bisa bermanfaat

Cholil menjelaskan, meskipun AI tidak bisa menggantikan peran ulama, teknologi ini tetap bisa dipakai secara arif. AI dinilai berpotensi menjadi sarana yang berguna untuk membantu peneliti maupun akademisi dalam menyusun kajian hukum Islam yang lebih cermat dan menyeluruh.
Namun, Cholil menegaskan kembali, AI tidak layak dijadikan mujtahid maupun mufti. Menurutnya, AI hanya mampu memberikan alternatif jawaban atau rekomendasi, tetapi bukan keputusan final dalam hukum agama.
"Kecerdasan buatan dapat memberikan jawaban atas hukum masalah yang dihadapi dan memberikan saran untuk pengambilan keputusan. Namun tidak memiliki kesadaran manusia, dan unsur kesadaran harus ada dalam mengeluarkan fatwa," ucap dia.
2. AI bersifat anonim

Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah itu juga menuturkan, AI bersifat anonim. Hal ini membuatnya tidak memenuhi kriteria sebagai mufti, karena fatwa harus dikeluarkan oleh sosok yang jelas identitas dan pertanggung jawabannya.
Cholil menekankan, tanggung jawab dalam mengeluarkan fatwa tidak bisa dibebankan pada mesin. Peran itu tetap harus berada di tangan manusia yang memiliki ilmu, integritas, dan kapasitas moral, untuk menanggung konsekuensi hukum yang dikeluarkan.
Lebih lanjut, Cholil menjelaskan, fatwa merupakan hasil ijtihad yang tidak hanya mengandalkan pengetahuan agama, tetapi juga keterhubungan dengan realitas sosial. Mufti dituntut memiliki pemahaman luas tentang hukum Islam sekaligus konteks permasalahan yang dihadapi umat.
"Fatwa adalah hasil ijtihad ilmiah yang mendalam berdasarkan Alquran, Sunah, konsensus dan analogi, dan bahwa mufti haruslah seorang ulama yang memenuhi syarat yang dicirikan oleh kualitas pengetahuan, kejujuran dan keadilan, dan memahami teks-teks syariah dan realitas kontemporer," ungkapnya.
3. Pentingnya metodologi dalam penetapan hukum

Cholil juga menekankan pentingnya metodologi dalam penetapan hukum. Menurutnya, lembaga fatwa di dunia Islam, termasuk MUI, selalu mengedepankan pendekatan yang komprehensif, seperti mempertimbangkan pendapat lintas mazhab, mengacu pada kaidah fikih komparatif, hingga melakukan ijtihad kolektif untuk menghadapi persoalan baru.
"Keberadaan mufti dan lembaga fatwa merupakan kebutuhan yang tak terhindarkan, agar setiap fatwa dan keputusan yurisprudensi memiliki pihak yang bertanggung jawab di hadapan manusia dan Tuhan. Islam harus melakukan pendekatan terhadap perkembangan teknologi, termasuk kecerdasan buatan," imbuhnya.