Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Soroti Kasus Pembunuhan oleh ART di Purwarkarta, IFW: Femisida Belum Dikenali

Ilustrasi pelecehan dan kekerasan Perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi pelecehan dan kekerasan Perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)
Intinya sih...
  • Kasus femisida terus meningkat, mayoritas pelaku pasangan intim korban
  • Masih adanya anggapan tidak pentingnya kekerasan terhadap perempuan
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Peneliti Indonesia Legal Resource Center (ILRC) sekaligus Indonesia Femicide Watch (IFW) Siti Aminah Tardi, mengatakan, femisida sebagai puncak kekerasan gender belum dikenali dan tanpa memiliki data nasional. Akibatnya, kata dia, pencegahan, penanganan, dan pemulihan terabaikan, padahal negara wajib melindungi perempuan.

Hal itu tampak dari kasus seorang perempuan bernisial DPK (27) asal Desa Jatimekar, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, ditemukan meninggal dunia dengan luka tusuk. Pelaku adalah asisten rumah tangga (ART) bernama Dea yang kesal karena tak mendapatkan respons korban saat menanyakan upah.

Dia mengatakan, kasus tersebut bisa dikategorikan femisida dalam lingkup keluarga. Pasalnya telah ada ancaman pembunuhan dan percobaan pembunuhan yang dilakukan dengan cara melebihi upaya mematikan seseorang. Korban diketahui banyak mengalami luka tusukan.

1. Kasus femisida terus meningkat, mayoritas pelaku pasangan intim korban

Anggota Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi. (IDN Times/Triyan)
Anggota Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi. (IDN Times/Triyan)

Perkumpulan Lintas Feminis yang memantau pemberitaan media online menunjukkan adanya peningkatan jumlah kasus femisida, yaitu 184 kasus (2022), 180 kasus (2023), dan 204 kasus (2024).

Mayoritas pelaku adalah laki-laki yang merupakan orang dekat korban yang membuktikan bahwa femisida bukan insiden terpisah, melainkan bagian dari pola kekerasan sistematis terhadap perempuan.

"Hampir 48 persen kasus melibatkan pasangan intim dan lebih dari 50 persen pembunuhan terjadi di rumah korban, tempat yang semestinya menjadi ruang aman. Fakta ini menunjukkan bahwa kekerasan tersebut bersifat berulang, tidak dicegah, bahkan ditoleransi oleh lingkungan sekitar," kata Ami yang juga mantan Komisioner Komnas Perempuan ini.

2. Masih adanya anggapan tidak pentingnya kekerasan terhadap perempuan

AJI Denpasar kampanye akhiri kekerasan perempuan. (IDN Times/Yuko Utami)
AJI Denpasar kampanye akhiri kekerasan perempuan. (IDN Times/Yuko Utami)

Kasus femisida pernah terjadi pada seorang perempuan berinisial MSD oleh N suaminya, usai melaporkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami. Kasus yang ada menunjukkan tak adanya penilaian risiko pada potensi bahaya hingga membuat kekerasan bereskalasi menjadi pembunuhan.

"Hal ini tidak dapat dilepaskan dari masih adanya anggapan tidak pentingnya kekerasan terhadap perempuan, tidak dikenalnya siklus kekerasan dan pengabaian terhadap ancaman kekerasan atau pembunuhan," kata dia.

"Padahal seharusnya femisida dapat dicegah, di antaranya melalui penggunaan penilaian tingkat kebahayaan (danger assessment) sebagai metode untuk mengukur tingkat ancaman langsung terhadap keselamatan atau nyawa seseorang. Digunakan oleh polisi, pekerja sosial, layanan korban, shelter, dan layanan kesehatan untuk melakukan intervensi terhadap korban," ujar dia.

3. Mendesak terapkan danger assessment cegah femisida

Ilustrasi kekerasan perempuan dan anak (IDN Times)
Ilustrasi kekerasan perempuan dan anak (IDN Times)

Sejumlah negara maju telah menerapkan mekanisme danger assessment untuk menilai tingkat bahaya bagi korban kekerasan berbasis gender dan pencegahan femisida. Amerika Serikat menggunakan danger assessment, Kanada memakai ODARA dan B-SAFER, Inggris dan Wales menerapkan DASH Risk Checklist, sementara Australia dan Selandia Baru mengadaptasi Domestic Violence Safety Assessment Tool. Instrumen ini direkomendasikan PBB melalui UN Women dan WHO sebagai langkah perlindungan dini.

Namun, Indonesia belum memiliki mekanisme serupa. Akibatnya, korban KDRT sering tetap tinggal bersama pelaku, laporan ancaman pembunuhan tidak dianggap serius, dan tidak ada langkah pencegahan. Padahal, indikator seperti adanya ancaman pembunuhan, intensitas kekerasan, serta akses pelaku terhadap senjata merupakan tanda bahaya tinggi risiko femisida.

4. IFW desak pemerintah dan polri terapkan penilaian bahaya cegah femisida

femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan
ilustrasi femisida (pexels.com/Mart Production)

Dalam kasus di Purwakarta, IFW pun menyampaikan lima tuntutan. Pertama, kekecewaan atas tidak adanya pengusutan serius terhadap ancaman pembunuhan yang bereskalasi menjadi kematian korban.

Kedua, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bersama Polri diminta membangun mekanisme penilaian tingkat bahaya di tingkat layanan dan kepolisian. Ketiga, KPPPA diminta memasukkan mekanisme tersebut dalam revisi UU PKDRT.

Keempat, media massa diimbau tidak menampilkan identitas lengkap korban. Kelima, UPTD Purwakarta diharapkan memberi dukungan psikologis dan psikososial bagi keluarga korban.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us