Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pembunuhan Wanita Terborgol Dinilai Masuk Kategori Sadistis-Femisida

Ilustrasi kekerasan seksual. (IDN Times/Sukma Shakti)
Intinya sih...
  • Mantan komisioner Komnas Perempuan periode 2020-2024, Siti Aminah Tardi, menjelaskan bahwa ILRC memantau pemberitaan femisida seksual. Ada 18 kasus teridentifikasi, dengan lima kasus sebelum, selama, dan setelah kematian.
  • Tiga pelaku berhasil ditangkap dalam kasus ini. UU TPKS menambah sepertiga hukuman untuk pelaku kekerasan seksual yang menyebabkan kematian, setara 20 tahun penjara.
  • Keluarga korban berhak dapat perlindungan dan pemulihan, namun perlu ada penguatan payung hukum pada para pelaku, yakni menambahkan pasal 285 tentang perkosaan KUHP dan Pasal 4 UU TPKS.

Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif ILRC, Siti Aminah Tardi, mengatakan pembunuhan perempuan 22 tahun berinisial APSD yang jenazahnya ditemukan terborgol di Cibogo, Cisauk, Tangerang, Banten, Rabu, 16 Juli 2025, masuk kategori sadistik dan femisida.

APSD meninggal usai mengalami sejumlah kekerasan seperti dicekik hingga dipiting, bahkan ia mengalami pemerkosaan, serta kedua tangganya diborgol.

“Pada kasus Cisauk, korban mengalami kekerasan dengan cara dipitting, diborgol dan diperkosa yang menunjukkan tindakan sadistis. Pemeriksaan forensik dan kepolisian harus memastikan kapan perkosaan itu dilakukan, apakah sebelum, sepanjang atau setelah korban meninggal, atau bahkan berlapis sejak korban hidup sampai meninggal,” kata Siti Aminah dalam keterangan tertulis, Kamis (24/7/2025).

"Pemeriksaan forensik dan kepolisian harus memastikan kapan perkosaan itu dilakukan, apakah sebelum, sepanjang, atau setelah korban meninggal, atau bahkan berlapis sejak korban hidup sampai meninggal,” sambungnya.

Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelaminnya. Ini adalah bentuk kekerasan berbasis gender yang menargetkan perempuan secara khusus, seringkali didorong stereotip gender, diskriminasi, dan norma sosial yang merugikan.

1. Indikator femisida seksual

IMG-20250722-WA0005.jpg
Rekontruksi pembunuhan mayat terborgol di Cisauk (Dok. IDN Times/Mbah)

Anggota Komisioner Komnas Perempuan periode 2020-2024 ini menjelaskan ILRC secara khusus memantau pemberitaan soal femisida seksual. Dia mengatakan indikator femisida seksual adalah terjadi kekerasan seksual sebelum, selama, dan atau sesudah pembunuhan korban.

Bentuknya, kata Siti Aminah, bisa berupa serangan seksual atau simbolis seperti membiarkan korban tanpa pakaian sebagian atau seluruhnya, dibuang atau diekspose di depan umum, hingga pemerkosaan dan mutilasi.

Dari pemantauan pemberitaan daring 2024, kata Siti Aminah, teridentifikasi ada 18 kasus femisida seksual. Sedangkan dari angka itu, kasus femisida seksual yang terjadi sebelum, sepanjang kematian dan setelah kematian jumlahnya ada lima kasus.

Siti Aminah menyebutkan masing-masing kasus, di mana korban mengalami kekerasan seksual, baik sebelum dan setelah kematian. Bahkan terjadi juga kekerasan seksual sepanjang dan setelah kematian.

2. Payung hukum pelaku kekerasan seksual yang sebabkan kematian

IMG-20250722-WA0004.jpg
Rekontruksi pembunuhan perempuan terborgol di Cisauk (Dok. IDN Times/Mbah)

Dalam kasus ini ada tiga pelaku berhasil ditangkap, mereka berinisial RRP (19), IF (21), dan AP (17). Amik, sapaan akrab Siti Aminah menyampaikan, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) adalah hukum pidana khusus yang diidentifikasikan dapat menjangkau femisida seksual sebelum seseorang meninggal.

UU Menurut Amik, TPKS menambah sepertiga hukuman untuk pelaku kekerasan seksual yang menyebabkan kematian, setara 20 tahun penjara. Selain itu, undang-undang ini memakai ketentuan Blanco Strafbepalingen untuk menjembatani tindak pidana kekerasan seksual di luar UU TPKS, seperti KUHP.

Tujuannya agar korban tetap mendapat perlindungan hukum acara pidana khusus dan hak-hak korban serta keluarganya tetap terpenuhi.

3. Keluarga korban berhak dapat perlindungan dan pemulihan

Ilustrasi kekerasan seksual (Foto: IDN Times)

Memang, kata Siti Aminah, secara normatif, UU TPKS punya kelebihan dibandingkan beleid lain soal hak korban. Korban tidak dimaknai secara sempit, tetapi juga menjangkau keluarga korban seperti anak atau orangtua yang menjadi tanggungan korban. Namun memang masih ada implementasi UU TPKS terhadap kasus-kasus femisida seksual yang masih minim.

Direktur Program Jakarta Feminis Anindya Restuviani menyebut, keluarga korban berhak mendapat perlindungan dan pemulihan, maka aparat penengak hukum (APH) hingga Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (UPTD PPPA) bisa memberikan perhatian.

"Kami merekomendasikan APH dan UPTD PPA setempat memberikan perhatian kepada hak-hak keluarga korban,” ujar dia.

4. Ada hambatan hukum terkait femisida seksual

ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Meski demikan, ada hambatan hukum terkait kasus femisida seksual soal kekerasan seksual dilakukan sesaat, setelah korban meninggal. Sebab, KUHP dan UU TPKS tidak menjangkau kekerasan seksual setelah korban meninggal.

Maka, menurut Anindya, jika korban diperkosa sebelum meninggal, menjadi tidak cukup dengan menyangkakan para pelaku dengan Pasal 340 tentang pembunuhan berenca dan 339 KUHP, yakni tentang pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului perbuatan pidana. Namun harus diperkuat dengan Pasal 285 KUHP tentang perkosaan dan Pasal 4 UU TPKS.

"Namun terdapat kekosongan hukum jika kekerasan seksual dilakukan setelah korban meninggal. Menjadi penting untuk mulai memikirkan hukum pidana khusus femisida yang dapat menjangkau kondisi ini," kata dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us