Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

AS Cabut 6 Ribu Visa Mahasiswa Asing yang Langgar Aturan

gedung kampus Harvard. (unsplash.com/Somesh Kesarla Suresh)
gedung kampus Harvard. (unsplash.com/Somesh Kesarla Suresh)
Intinya sih...
  • Lebih dari 6 ribu visa mahasiswa internasional dicabut oleh AS.
  • Visa dicabut karena pelanggaran hukum, aktivitas terorisme, dan dukungan pro-Palestina.
  • Pemerintah AS perketat proses pengajuan visa pelajar dan berpotensi merugikan sektor pendidikan dan ekonomi AS.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS) mengumumkan telah mencabut lebih dari 6 ribu visa mahasiswa internasional sepanjang tahun ini. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari langkah pengetatan aturan imigrasi yang dijalankan oleh Presiden Donald Trump.

Pihak Kemlu AS menjelaskan pencabutan visa dilakukan karena berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh para mahasiswa. Alasan utamanya meliputi pelanggaran hukum, tinggal melebihi masa berlaku visa, serta dugaan dukungan untuk terorisme, dilansir BBC pada Senin (18/8/2025).

1. Rincian pelanggaran yang berujung pencabutan visa

Dari total visa yang dicabut, sekitar 4 ribu di antaranya disebabkan oleh pelanggaran hukum yang dilakukan pemegang visa di AS. Jenis pelanggaran tersebut mencakup kasus kriminal seperti penyerangan, perampokan, dan mengemudi di bawah pengaruh alkohol (DUI).

Sementara itu, sekitar 200 hingga 300 visa lainnya dicabut atas dasar tuduhan terkait aktivitas terorisme. Dasar hukum yang digunakan merujuk pada definisi aktivitas teroris yang cakupannya luas dalam Undang-Undang Imigrasi dan Kebangsaan AS.

Selain pelanggaran kriminal, kebijakan ini juga menargetkan mahasiswa yang aktif dalam unjuk rasa pro-Palestina. Pemerintah AS menuduh para aktivis mahasiswa tersebut telah menyebarkan paham antisemitisme dan mendukung kelompok teroris.

"Setiap visa pelajar yang dicabut di bawah Pemerintahan Trump terjadi karena individu tersebut telah melanggar hukum atau menyatakan dukungan untuk terorisme saat berada di AS. Sekitar 4 ribu visa saja telah dicabut karena para pengunjung ini melanggar hukum saat mengunjungi negara kami, termasuk catatan penyerangan dan DUI," tutur seorang pejabat senior Kemlu AS, dilansir The Independent.

2. AS perketat proses pengajuan visa pelajar

Pemerintah AS kini mewajibkan para pemohon visa pelajar untuk membuka profil media sosial mereka untuk diperiksa oleh petugas konsuler. Proses penyaringan baru ini bertujuan untuk mendeteksi sikap permusuhan terhadap nilai-nilai dan institusi di AS.

Petugas Kemlu diinstruksikan untuk menyaring pemohon yang terindikasi mendukung kelompok teroris atau melakukan pelecehan antisemitisme. Akses yang terbatas ke akun media sosial pemohon bahkan dapat dianggap sebagai upaya untuk menyembunyikan aktivitas tertentu. Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, berargumen bahwa visa merupakan sebuah hak istimewa yang bisa ditarik kembali.

"Tidak ada hak konstitusional untuk visa pelajar. Visa pelajar adalah sesuatu yang kami putuskan untuk diberikan kepada Anda. Seandainya saya mengetahui sesuatu tentang Anda, dan saya baru mengetahuinya setelah saya memberi Anda visa, mengapa saya tidak bisa mencabut visa Anda?" ujar Rubio dalam sebuah wawancara dengan EWTN.

3. Potensi kerugian ekonomi dan perlawanan hukum

Kebijakan imigrasi ini diprediksi dapat berdampak negatif pada sektor pendidikan dan ekonomi AS. Asosiasi Pendidik Internasional (NAFSA) memperkirakan adanya potensi penurunan pendaftaran mahasiswa internasional baru hingga 30 sampai 40 persen, dilansir CNN.

Penurunan drastis tersebut berpotensi merugikan ekonomi lokal hingga 7 miliar dolar AS atau sekitar Rp113,6 triliun. Selain itu, lebih dari 60 ribu lapangan pekerjaan di AS juga berisiko hilang akibat berkurangnya mahasiswa asing.

Di sisi lain, kebijakan ini juga memicu perlawanan hukum dari berbagai pihak, termasuk dari para pengajar. Beberapa kasus pencabutan visa yang paling terkenal, seperti yang menimpa mahasiswa pro-Palestina Mahmoud Khalil dan Rumeysa Ozturk, berhasil dibatalkan oleh pengadilan.

Sebuah aliansi profesor dari berbagai universitas bahkan telah melayangkan gugatan terhadap pemerintah AS. Mereka menuduh pemerintah telah melanggar hak Amandemen Pertama dengan menargetkan mahasiswa dan fakultas hanya karena pandangan politik mereka.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us