Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pemerintahan Trump Hentikan Penerimaan Mahasiswa Asing di Harvard

Presiden AS Donald Trump dan Emir Qatar Sheikh Tamin bin Hamad Al Thani. (The White House, Public domain, via Wikimedia Commons)

Setelah sebulan sebelumnya Presiden Trump menghentikan subsidi untuk penelitian kepada Universitas Harvard, melalui Menteri Dalam Negeri Noem Kristie, pemerintahan Presiden Trump memerintahkan menghentikan Harvard menerima mahasiswa asing.

Mahasiswa asing yang masih ada harus dipindahkan ke universitas lain, tetapi perintah ini juga mungkin akan diberlakukan buat universitas-universitas lain, artinya pada akhirnya semua universitas AS akan dilarang menerima mahasiswa asing. Ini jelas susah diterima siapapun yang mempunyai pikiran normal, tetapi rupanya itulah keinginan Presiden Trump.

Kebijakan ini tampaknya merupakan perluasan dari pendapat Presiden Trump bahwa Amerika selama ini selalu memperlakukan negara-negara lain sangat baik, tetapi mereka tidak demikian terhadap AS. Dalam pemerintahannya, Presiden Trump yang ingin membuat Amerika Hebat Kembali, Make America Great Again (MAGA), maka inilah saatnya negara-negara lain harus membayar kembali kepada AS apa yang selama ini tidak pernah dilakukan. Inilah sebabnya dilaksanakan kebijakan menomorsatukan AS, America First Policy.

Jadi Presiden Trump sepertinya mengatakan, jangan mengingat masa lalu di mana AS disebutkan sebagai ‘the melting pot’ suatu negara yang dibangun dengan menerima semua orang yang datang dari luar sebagai imigran dan melihat AS sebagai tanah yang memberi kebebasan dan tempat tinggal buat yang berani, the land of the free and the home of the brave. Jadi AS akan berdiri sendiri, lupakan NATO atau PBB. Apakah memang demikian? Ya, itu menurut pengamatan saya, semoga saya keliru dalam hal ini.

Adalah sesuatu yang aneh bahwa sekitar dua minggu sebelumnya, dunia baru dikejutkan dengan terpilihnya seorang warga negara AS menjadi Bapa Suci baru, Pope Leo XIV,  yang semula adalah Francis Kardinal Robert Provost, lahir di Chicago, Illinois. Ia dua puluh tahun menjadi Archbishop di Peru dan menjadi warga negara Perus yang sangat fasih berbahasa Spanyol. Ini adalah Pope pertama yang berasal dari AS, sebelumnya seperti ditabukan bahwa Gereja Katolik memilih pemimpin tertingginya orang dari Amerika sebagai negara Adi Kuasa.

Tetapi ternyata Conclave memutuskan demikian, dan karena itu menjadi aneh bahwa Presiden Trump seperti justru menghendaki AS yang berdiri sendiri tidak butuh negara lain. Jelas ini bertentangam dengan semangat Bapa Suci Leo XIV, yang seperti Bapa Suci Lelo XIII pedahulunya yang dikenal dengan ensikliknya Rerum Novarusm yang mendukung hak para pekerja, sangat berpihak kepada orang miskin dan termarginalisasi, bukan berdiri sendiri tidak peduli yang lain.

Bapa Suci Leo XIV menegaskan akan menjadi gembala yang menyatukan umat, inklusif, yang mendirikan jembatan untuk merangkul semua orang, bukan membangun tembok
untuk mengisolasi diri seperti Presiden Trump. Uskup Antonius Subianto Benyamin,
Ketua Wali Gereja Indonesia yang di Vatican menghadiri pelantikan Pope Leo XIV mengatakan bahwa Bapa Suci Leo XIV seperti kembarnya Bapa Suci Francis, inklusif, pro orang miskin dan termarginalisasi, mendirikan jembatan bukan tembok pemisah.

Mari kita bekerja sama untuk menggagalkan niat Presiden Trump mengisolasi AS, agar negara ini tetap tebuka seperti sebelumnya. Apakah kiranya Presiden Trump mau melebur patung Status of Liberty di Pantai New York yang menyilakan semua imigran berteduh di Amerika sebagai ‘land of the free and home of the brave’, semoga tidak akan terlaksana. Apakah FBI Director Kash Patel, Second Lady Usha Vance tidak mengakui asal usulnya? Dan bagaimana dengan First Lady Melania Trump?

Semoga saja, seperti kebijakan Tariff Trump yang ambruk, Upaya isolasi ini juga serupa, Insya Allah. Demikian pula dengan upaya menutup universitas AS dari orang-orang asing yang ingin belajar di universitas tersebut, semoga gagal dan semua tetap terbuka seperti sebelumnya. Siapapun tidak bisa mengubah jalannya sejarah, sebagaimana mantan Fed Chair Pro Janet Yellen yang mengatakan kebijakan tarif Presiden Trump ini adalah suatu kebijakan yang ‘self - inflicted wound, menyakiti diri sendiri’.

Profesor Jeffrei Sachs dari Universitas Columbia secara gamblang menjelaskan, defisit neraca perdagangan AS timbul bukan karena negara-negara lain nakal terhadap AS, itu hanya tanda bahwa AS belanja jauh lebih besar dari kemampuan produksinya, dan mambayar dengan karta kredit yang membuat deficit APBN membengkak terus. Ini yang membuat Profesor Jeffrey Sachs, Janet Yellen dan mantan menkeu dan mantan Presiden Harvard University, Larry Summers, semua sependapat tidak bisa memberikan nilai lulus buat kebijakan Presiden Trump dan tim ekonominya, semua gagal.

Professor Sachs lebih sadis lagi, mengatakan sebagai tambahan Mickey Mouse lebih pinter dari Presiden Trump, meski dia tetap mengakui dia presidennya. Mekipun saya tidak pernah berjudi, menurut saya, kebijakan larangan mahasiswa asing masuk ke universitas-universitas AS akan gagal seperti kebijakan tarif.

Ada juga berita kurang sedap yang menyebutkan bahwa Presiden Trump murka terhadap Harvard University itu disebabkan tidak diterimanya putera kesayangannya, Barron Trump,  masuk universitas kenamaan ini. Saya tidak tahu apakah hal ini benar, tetapi kalau benar ya, meskipun bisa dimaklumi tetap saja, memalukan.

Saya ingin menutup ulasan ini dengan suatu cerita lain yang menurut saya sangat menarik buat disimak. Pada waktu telah diumumkan bahwa conclave berhasil memilih pemimpin baru buat umat Katolik sedunia yang berjumlah lebih dari 1,4 miliar tersebar di seluruh jagad ini, Presiden Trump ingin menjadi orang pertama mengucapkan selamat kepada beliau karena beliau orang Amerika. Biasanya hal demikian dipersiapkan berminggu-minggu, ini sampai instan, dan Pope Leo XIV menyanggupi. Sebelum pertemuan staf Presiden Trump memberitahu tentang protokol ketat untuk bertemu Bapa Suci.

Tetapi Presiden Trump menjawab, saya tidak jongkok pada raya atau ratu, karena itu juga kepada Pope, hanya kepada Tuhan saja jongkok. Sebelum masuk staf masih membujuk tetapi tidak berhasil. Tetapi setelah berhadapan, Presiden Trump mengangkat tangannya untuk menjabat tangan Pope Leo, tetapi Pope Leo tetap saja tidak menggerakkan tangan.

Setelah diam sejenak Pope Leo mempersilakan Presiden Trump untuk mendekat ke
wastafel dan Pope Leo membasuh tangan Presiden Trump, mengeringkan dengan handuk dan gentian Presiden Trump melakukan hal yang serupa. Pope Leo menjelaskan bahwa Tuhan Jesus membasuh kaki para muridnya sebagai tanda seorang pemimpin yang berani melayani, bukan dilayani. Ini suatu pelajaran spiritual sangat dalam dari Pope Leo buat Presiden Trump, semoga diterima dengan baik. Insya Allah.

Dalam berita terakhir Hakim Federal Massachusetts Allison D. Borough mengeluarkan Keputusan Statusquo, menghalangi Keputusan Presiden Trump untuk melarang mahasiswa asing belajar di Harvard. Suatu kemenangan telak buat Harvard U yang disambut gembira oleh President Harvard Professor Allan Garber dan seluruh civitas akademi. (Dradjad, London, 31/05/2025).

Guru Besar Emeritus Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (FEBUI), Jakarta.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Umi Kalsum
EditorUmi Kalsum
Follow Us