Koalisi PM Israel Netanyahu Nyaris Runtuh imbas Kebijakan Wajib Militer

- Pengunduran diri massal UTJ
- Dampak langsung pada koalisi dan stabilitas pemerintahan
- Kontroversi RUU wajib militer dan tekanan internal
Jakarta, IDN Times - Koalisi pemerintahan Israel mengalami guncangan besar usai partai agama United Torah Judaism (UTJ) mengumumkan pengunduran diri pada Selasa (15/7/2025). Situasi ini membuat Perdana Menteri Benjamin Netanyahu hanya menguasai mayoritas tipis di parlemen, berpotensi mengubah arah politik Israel di tengah konflik.
Keputusan hengkangnya UTJ terjadi di tengah perdebatan soal wajib militer untuk pelajar ultra-ortodoks. Peristiwa ini terjadi setelah negosiasi panjang antara pemerintah dan partai-partai religius menemui jalan buntu.
1. Pengunduran diri massal UTJ
Enam dari tujuh anggota UTJ secara resmi menyerahkan surat pengunduran diri dari seluruh posisi di komite parlemen dan kementerian pada Senin (14/7/2025). Langkah ini diambil sebagai bentuk protes atas kegagalan pemerintah memenuhi janji pengecualian wajib militer bagi pelajar sekolah agama Yahudi.
"Pemerintah telah berulang kali melanggar komitmen untuk menjamin status pelajar seminari," ujar Degel Hatorah, salah satu faksi dalam UTJ, dilansir Euronews.
Setelah pertemuan dengan para rabi utama, anggota faksi tersebut memutuskan untuk keluar dari koalisi dan pemerintahan.
Pihak UTJ mengatakan bahwa pengecualian wajib militer bagi pelajar agama adalah syarat utama saat mereka sepakat bergabung dengan koalisi Netanyahu pada akhir 2022.
2. Dampak langsung pada koalisi dan stabilitas pemerintahan
Pengunduran diri UTJ menyebabkan koalisi Netanyahu hanya menyisakan 61 dari total 120 kursi di Knesset. Kondisi ini membuat posisi Netanyahu sangat rentan terhadap dinamika politik berikutnya.
"Ketika satu partai utama keluar, keseimbangan langsung terancam. Koalisi kini sangat tergantung pada dua partai sayap kanan yang menolak kompromi dalam perundingan gencatan senjata Gaza," kata analis politik Israel, Shuki Friedman.
Keputusan UTJ berlaku efektif dalam 48 jam sejak surat pengunduran diri diserahkan, sehingga Netanyahu masih memiliki waktu terbatas untuk negosiasi.
Sampai saat ini, partai ultra-ortodoks lain, Shas, belum memutuskan apakah akan mengikuti langkah UTJ. Jika Shas juga mundur, Netanyahu akan kehilangan mayoritas dan pemerintahan berisiko tumbang.
3. Kontroversi RUU wajib militer dan tekanan internal
Pemerintah Israel lagi-lagi gagal mencapai kesepakatan soal aturan baru yang ingin membebaskan pelajar ultra-ortodoks dari wajib militer. Faksi Degel Hatorah menolak beberapa isi aturan itu karena merasa persyaratannya semakin memberatkan pelajar agama dan justru membuat pembebasan dari wajib militer bisa tertunda sampai proses seleksi militer selesai.
“Partisipasi dalam pemerintahan harus dihentikan segera karena pemerintah gagal melindungi studi para pelajar Torah,” kata Rabbi Dov Lando, pemimpin spiritual Degel Hatorah, dilansir J-Wire.
Menteri Urusan Yerusalem dan Warisan Yahudi, Meir Porush, mengaku bahwa rancangan undang-undang baru sama sekali tidak memenuhi tuntutan Dewan Tetua Torah.
Di lain pihak, Ketua Komite Hubungan Luar Negeri dan Pertahanan Knesset, Yuli Edelstein, menyatakan tidak menyetujui undang-undang penghindaran wajib militer. Hal ini memperkuat posisi oposisi di parlemen serta meningkatkan bara konflik internal di kubu pemerintahan.