Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pejuang Lebanon Bebas Usai 41 Tahun Mendekam di Penjara Prancis

grafiti mendukung Georges Ibrahim Abdallah (Drong~commonswiki, CC BY-SA 4.0 <https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0>, via Wikimedia Commons)

Jakarta, IDN Times - Georges Ibrahim Abdallah, seorang pejuang pro-Palestina asal Lebanon, dibebaskan pada Jumat (25/7/2025) setelah mendekam selama 41 tahun di penjara Prancis. Ia kemudian langsung diterbangkan ke Beirut.

Dilansir dari Al Jazeera, keluarga Abdallah menyambutnya di ruang VIP bandara, sementara puluhan pendukungnya berkumpul di area sekitar sambil mengibarkan bendera Palestina dan Partai Komunis Lebanon. Pembebasan Abdallah menandai berakhirnya salah satu masa penahanan terpanjang di Prancis yang melibatkan seorang tahanan politik.

“Ini bukan momen penuh sentimentalisme. Ini tentang penantian panjang selama 40 tahun. Ini tentang keteguhan di tengah penundaan, banding, dan diskriminasi. Ini bukan saatnya untuk bernostalgia, melainkan puncak dari waktu dan keadilan,” kata saudara laki-lakinya, Robert Abdallah.

Sesampainya di Beirut, Abdallah, yang kini berusia 74 tahun, akan melakukan perjalanan ke kampung halamannya di Qoubaiyat, Lebanon utara. Di sana, serangkaian acara telah dipersiapkan untuk menyambut kepulangannya.

1. Dipenjara atas pembunuhan diplomat AS dan Israel

Ditangkap pada 1984, Abdallah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada 1987 atas pembunuhan atase militer Amerika Serikat (AS), Charles Robert Ray, dan diplomat Israel, Yacov Barsimantov.

Meski selalu membantah keterlibatan langsung dalam pembunuhan tersebut, Abdallah tak pernah menampik dukungannya terhadap gerakan perlawanan yang ia dirikan, yaitu Faksi Revolusioner Bersenjata Lebanon, kelompok Marxis yang berpihak pada perjuangan Palestina dan pan-Arab, serta berupaya mengusir kekuatan asing, terutama Israel, dari tanah Lebanon.

Abdallah sebenarnya telah lama memenuhi syarat untuk dibebaskan, namun ia tetap dipenjara karena tekanan politik, khususnya dari AS dan Israel. Bulan lalu, Pengadilan Banding Paris memutuskan untuk menyetujui pembebasan Abdallah yang mulai berlaku pada Jumat, dengan syarat bahwa ia harus meninggalkan wilayah Prancis dan tidak pernah kembali.

Pengadilan mempertimbangkan lamanya masa hukuman yang telah dijalani Abdallah serta usianya yang sudah tua. Di Prancis sendiri, narapidana dengan hukuman seumur hidup biasanya dibebaskan setelah menjalani masa hukuman kurang dari 30 tahun.

2. Abdallah disebut sebagai korban keadilan negara

Dilansir dari BBC, salah satu tokoh yang mendukung kampanye pembebasan Georges Abdallah adalah pemenang Nobel Sastra 2022, Annie Ernaux. Ia menyebut Abdallah sebagai korban keadilan negara yang seharusnya membuat Prancis malu.

Sementara itu, Yves Bonnet, mantan kepala intelijen yang pernah mencoba merundingkan pertukaran Abdallah pada 1985, mengatakan bahwa Abdallah diperlakukan lebih buruk daripada pembunuh berantai dan AS terobsesi untuk tetap menahannya di penjara.

Menurut harian Le Monde, tidak ada satu pun tahanan Palestina, termasuk mereka yang divonis penjara seumur hidup di Israel, yang telah menjalani hukuman lebih dari 40 tahun.

3. Abdallah dianggap sebagai sosok pahlawan

Dilansir dari France24, partai Komunis Lebanon menjadi salah satu kekuatan politik pertama yang menyambut pembebasan Abdallah. Mereka memujinya sebagai pejuang perlawanan yang tetap kukuh pada pendiriannya meski dipenjara selama 4 dekade.

Hizbullah juga menggambarkan Abdallah sebagai pahlawan perlawanan dan simbol bagi setiap tahanan, pejuang, dan orang terhormat yang yang menentang kekuasaan tiran.

Namun, partai-partai besar lainnya seperti Pasukan Lebanon dan Kataeb, dua faksi Kristen terkemuka yang berakar pada era perang saudara di Lebanon, memilih diam.

“Wajar jika banyak faksi politik Lebanon, terutama partai-partai Kristen seperti Kataeb dan Pasukan Lebanon, tidak memberikan pernyataan terbuka untuk menyambut kepulangan Georges Abdallah. Meskipun ia berasal dari latar belakang Kristen, Abdallah tidak pernah mewakili identitas kelompok yang biasanya diusung oleh partai-partai tersebut," kata psikolog politik dan sosial, Ramzi Abou Ismail.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rama
EditorRama
Follow Us