Kenapa Amerika Serikat Tak Punya QR Nasional seperti QRIS?

- Sistem pembayaran di AS didominasi kartu kredit dan debit, sehingga QR code kurang diminati.
- Pasar pembayaran yang terfragmentasi & berbasis swasta membuat adopsi satu standar QR tunggal hampir mustahil dilakukan.
- Tidak ada lembaga tunggal seperti Bank Indonesia untuk mengatur standar pembayaran nasional.
Di era digital, pembayaran menggunakan kode QR semakin populer di berbagai negara, termasuk Indonesia dengan sistem QRIS yang memudahkan transaksi lintas platform. Namun, berbeda dengan Indonesia, Amerika Serikat justru tidak memiliki standar QR nasional yang menyatukan ekosistem pembayaran. Hal ini menimbulkan pertanyaan kenapa negara maju dengan teknologi finansial canggih justru tidak mengadopsi sistem serupa?
Jawabannya terletak pada sejarah, kebiasaan masyarakat, hingga regulasi yang berlaku di Negeri Paman Sam. Sistem pembayaran di sana berkembang dengan jalur yang berbeda dibanding negara Asia, khususnya dalam hal adopsi teknologi. Untuk selengkapnya, berikut ini lima alasan utama kenapa Amerika Serikat tak punya QR nasional seperti QRIS di Indonesia.
1. Sistem pembayaran di AS sudah lama didominasi kartu kredit dan debit

Sejak lama, masyarakat Amerika terbiasa menggunakan kartu kredit dan debit sebagai metode utama transaksi non-tunai. Infrastruktur pembayaran berbasis kartu sudah menyebar luas, mulai dari mesin EDC hingga jaringan Visa dan Mastercard. Kartu debit dan kredit menawarkan kenyamanan, sehingga konsumen tidak merasa butuh sistem alternatif seperti QR nasional. Akibatnya, inovasi QR code tidak mendapat ruang sebesar di negara-negara berkembang. Selain itu, kartu lebih mudah dibawa ke mana saja tanpa jaringan internet.
2. Pasar pembayaran yang terfragmentasi dan berbasis swasta

Di Amerika Serikat, sistem pembayaran banyak dikendalikan oleh perusahaan swasta seperti Apple Pay, Google Pay, PayPal, Venmo, Cash App, hingga Zelle. Masing-masing memiliki ekosistem sendiri tanpa standar nasional yang memaksa integrasi. Kompetisi antarswasta membuat adopsi satu standar QR tunggal hampir mustahil dilakukan. Pemerintah pun cenderung membiarkan pasar berjalan tanpa intervensi kuat.
3. Tidak ada lembaga tunggal seperti Bank Indonesia

Indonesia memiliki Bank Indonesia sebagai bank sentral yang bisa mengatur standar pembayaran nasional, termasuk meluncurkan QRIS. Sebaliknya, Amerika Serikat memiliki sistem lebih terdesentralisasi dengan Federal Reserve yang fokus pada kebijakan moneter, bukan pembayaran retail. Peran regulasi tersebar pada banyak lembaga, sehingga sulit ada satu aturan tunggal. Fragmentasi otoritas inilah yang membuat QR nasional sulit diwujudkan.
4. Kebiasaan dan preferensi konsumen di Amerika Serikat

Konsumen Amerika lebih terbiasa melakukan pembayaran dengan tap kartu debit atau kredit berbasis NFC. Selain itu, banyak yang sudah nyaman menggunakan Apple Pay dan Google Pay di smartphone atau smartwatch. QR code di AS lebih sering dipakai untuk keperluan non-pembayaran, seperti membuka menu restoran atau mengakses tiket acara. Karena itu, QR sebagai metode transaksi kurang diminati.
5. Perbedaan konteks ekonomi juga menjadi alasan utama

Di Indonesia, QRIS sangat membantu UMKM yang kesulitan menerima kartu karena biaya mesin EDC yang mahal. QRIS hadir sebagai solusi murah, praktis, dan inklusif bagi pedagang kecil hingga besar. Sebaliknya, UMKM di Amerika sudah lama bisa menerima kartu dengan biaya terjangkau melalui layanan seperti Square. Maka, kehadiran QR nasional tidak dianggap kebutuhan mendesak bagi ekosistem bisnis negara tersebut.
Amerika Serikat tak punya QR nasional seperti QRIS di Indonesia karena memiliki jalur perkembangan pembayaran digital yang berbeda. Meski tanpa QR nasional, adopsi pembayaran non-tunai di AS tetap tinggi berkat dominasi kartu dan platform privat. Menurut laporan Federal Reserve Bank of Atlanta, sekitar 70 persen konsumen AS membuat pembayaran melalui HP setidaknya sekali dalam setahun hingga Oktober 2023. Ini adalah sebuah kenaikan yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.