Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Tanda Kamu Belum Siap Naik Gunung walau Niat Sudah Bulat

ilustrasi mendaki gunung (pexels.com/Eric Sanman)
ilustrasi mendaki gunung (pexels.com/Eric Sanman)
Intinya sih...
  • Fisik dan napas lemah menandakan belum siap secara fisik
  • Peralatan mendaki yang memadai sangat penting untuk keselamatan
  • Kemampuan bertahan mental dan pengetahuan navigasi juga diperlukan
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Mendaki gunung jadi salah satu pilihan healing dan petualangan yang makin populer. Namun, semangat dan niat saja tidak cukup buat menghadapi kerasnya alam di ketinggian. Persiapan fisik, mental, dan logistik jadi kunci utama agar pendakian berjalan aman dan menyenangkan.

Banyak yang nekat naik gunung hanya karena ajakan teman atau demi konten sosial media, tanpa sadar bahwa medan gunung bukanlah tempat main-main. Artikel ini akan membahas lima tanda yang menunjukkan kalau seseorang sebenarnya belum siap mendaki. Coba cek, jangan-jangan salah satu tanda ini masih ada dan perlu diperbaiki dulu sebelum melangkah ke ketinggian.

1. Fisik masih lemah dan napas cepat habis

ilustrasi latihan fisik (unsplash.com/Shengpengpeng Cai)
ilustrasi latihan fisik (unsplash.com/Shengpengpeng Cai)

Mendaki gunung bukan cuma soal niat, tapi juga kemampuan fisik. Jalur menanjak, udara tipis, dan waktu tempuh yang panjang bisa menguras tenaga lebih cepat dari yang dibayangkan. Kalau naik tangga saja sudah bikin napas megap-megap, artinya tubuh belum siap menerima tantangan di ketinggian.

Latihan rutin seperti jogging, naik turun tangga, atau latihan kardio bisa membantu membangun daya tahan tubuh. Selain itu, kekuatan otot kaki dan punggung juga penting untuk menopang beban tas carrier. Pendaki yang kurang fit biasanya jadi beban tim, memperlambat laju dan meningkatkan risiko kecelakaan.

2. Belum punya peralatan yang memadai

ilustrasi menikmati keindahan alam (unsplash.com/suraj kardile)
ilustrasi menikmati keindahan alam (unsplash.com/suraj kardile)

Gunung bukan tempat yang bisa ditaklukkan dengan asal-asalan. Peralatan yang tepat bisa jadi penyelamat, apalagi saat cuaca berubah ekstrem atau kondisi tak terduga muncul. Jika belum punya sepatu gunung, jaket windproof, matras, atau tas carrier yang ergonomis, lebih baik tahan dulu keinginan untuk naik.

Menyewa alat mungkin bisa jadi solusi, tapi tetap harus paham cara pakainya. Sepatu biasa bisa bikin terpeleset, jaket tipis tidak akan cukup menghalau dingin, dan tas tanpa kerangka bisa menyiksa punggung. Lebih baik menabung dulu dan investasi ke perlengkapan yang layak, daripada menyesal di tengah pendakian karena kelalaian sendiri.

3. Gampang panik di situasi tak terduga

ilustrasi mendaki gunung (unsplash.com/NEOM)
ilustrasi mendaki gunung (unsplash.com/NEOM)

Gunung menyimpan banyak kejutan, dan tidak semuanya menyenangkan. Bisa saja cuaca berubah mendadak, jalur licin karena hujan, atau salah satu anggota tim cedera. Kalau belum bisa berpikir jernih dan tenang dalam kondisi darurat, itu sinyal kuat bahwa mental belum siap mendaki.

Panik bikin keputusan jadi kacau dan bisa membahayakan seluruh tim. Di gunung, kemampuan bertahan mental sama pentingnya dengan kekuatan fisik. Belajar tenang, fokus, dan mendengarkan instruksi saat keadaan genting adalah hal penting yang perlu diasah sebelum benar-benar mendaki.

4. Minim pengetahuan navigasi dan survival

ilustrasi melakukan navigasi (pexels.com/Pavel Danilyuk)
ilustrasi melakukan navigasi (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Jalur pendakian bisa terlihat jelas di awal, tapi tak menutup kemungkinan ada titik yang membingungkan atau bahkan membuat tersesat. Kalau belum bisa membaca peta topografi, memahami arah angin, atau bahkan tidak tahu cara menggunakan kompas, itu pertanda kamu belum siap untuk mendaki secara mandiri.

Pengetahuan survival, seperti membuat bivak darurat, menghemat air, atau menangani luka ringan, juga wajib dikuasai. Karena di atas gunung, sinyal bisa hilang dan bantuan tak selalu cepat datang. Jangan sampai hanya mengandalkan orang lain tanpa punya kemampuan dasar bertahan hidup.

5. Motivasi hanya demi konten sosial media

ilustrasi foto di gunung (unsplash.com/Spenser Sembrat)
ilustrasi foto di gunung (unsplash.com/Spenser Sembrat)

Banyak yang mendaki gunung karena tergoda foto-foto keren di Instagram atau TikTok. Padahal, realita pendakian tidak seindah filter yang dipasang di media sosial. Kalau motivasinya hanya demi konten, besar kemungkinan tidak siap menghadapi kesulitan di jalur pendakian.

Gunung adalah tempat belajar menghargai alam, melatih kesabaran, dan memahami batas diri. Bukan sekadar latar estetik untuk menaikkan likes atau views. Jika tujuan utama bukan karena cinta terhadap alam dan petualangan, maka pendakian bisa terasa menyiksa. Pikirkan ulang, apakah mendaki hanya demi eksistensi atau karena memang ingin bertumbuh dari pengalaman.

Mendaki gunung memang jadi pengalaman yang seru dan penuh makna. Namun, semua itu hanya akan terasa jika dilakukan dengan persiapan yang matang, baik secara fisik, mental, maupun perlengkapan. Jangan sampai naik gunung hanya bermodal nekat, lalu menyesal saat menghadapi kenyataan di medan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Naufal Al Rahman
EditorNaufal Al Rahman
Follow Us