Apakah Orang yang Takut Ketinggian Boleh Mendaki Gunung?

Mendaki gunung bisa dibilang jadi hobi yang cukup diminati masyarakat Indonesia belakangan ini, khususnya di kalangan pemuda-pemudi. Letak geografis Indonesia yang dilintasi banyak gunung dan bentang alam yang begitu indah jadi daya tarik tersendiri bagi kita untuk coba mendaki gunung-gunung di sekitar tempat tinggal.
Hanya saja, aktivitas mendaki gunung tentu tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Perlu persiapan logistik, mental, serta kesehatan yang mumpuni supaya proses naik, berkemah, sampai turun dari gunung nantinya dapat berjalan dengan lancar.
Berbicara soal persiapan mental dan kesehatan, tak sedikit orang yang sebenarnya memiliki fobia terhadap ketinggian, tetapi tetap berminat untuk mendaki gunung. Nah, orang-orang dengan ketakutan berlebih dengan ketinggian itu sering disebut dengan akrofobia. Kira-kira apakah mereka tetap boleh mendaki gunung yang jadi salah satu tempat tertinggi? Yuk, cari tahu jawabannya sama-sama!
1. Apa gejala dari orang yang mengalami akrofobia?

Sebelum masuk pada pembahasan utama, rasanya penting untuk menjelaskan tentang akrofobia, termasuk gejala-gejala dari pengidapnya. Sebab, terkadang seseorang bisa saja memiliki jenis fobia ini, tetapi masih belum menyadarinya. Dilansir Cleveland Clinic, seseorang yang mengidap akrofobia itu diidentifikasi dengan rasa takut luar biasa disertai kecemasan saat berada pada situasi yang melibatkan dengan ketinggian, semisal berdiri di atas gedung ataupun menaiki tangga.
Sebenarnya, bagi manusia pada umumnya tetap akan merasakan takut atau cemas saat berada pada ketinggian tertentu. Namun, pada orang dengan gejala akrofobia akan merasakan ketakutan yang luar biasa, bahkan pada ketinggian yang sebenarnya biasa saja ataupun pada tempat yang sebenarnya aman untuk dinaiki. Lebih-lebih lagi, akrofobia dapat dirasakan siapa saja dari kelompok umur mana saja.
Secara statistik, akrofobia termasuk salah satu fobia paling umum yang ada di dunia. Sekitar 3—6 persen manusia di seluruh dunia memiliki fobia yang satu ini. Adapun, beberapa tanda atau gejala yang bisa diamati untuk mengetahui apakah kita termasuk orang dengan akrofobia atau tidak seperti berikut ini:
Perasaan takut berlebih sampai prasangka buruk saat berada pada ketinggian berapa pun;
Ingin segera pergi dari tempat-tempat tinggi;
Detak jantung yang lebih cepat saat berada di ketinggian;
Kepala terasa kunang-kunang sampai pusing;
Mual-mual;
Gemetaran;
Ritme nafas yang pendek dan cepat sampai terasa sesak nafas.
2. Apakah orang yang mengalami akrofobia boleh mendaki gunung?

Setelah mengetahui apa itu fobia terhadap ketinggian, sekarang kita masuk pada pembahasan utama terkait boleh atau tidaknya seseorang dengan akrofobia mendaki gunung. Ternyata, jawabannya bisa iya dan tidak, tergantung pada seberapa parah fobia yang dialami orang tersebut. Jika kondisi akrofobia sudah sangat parah, aktivitas mendaki gunung sama sekali tidak dianjurkan karena aktivitas yang satu ini banyak melibatkan diri dengan ketinggian.
Meskipun demikian, orang-orang yang mengalami akrofobia ringan ataupun sudah menjalani terapi, masih memungkinkan untuk naik gunung, tentunya dengan sederet checklist yang harus dipenuhi. Dilansir Eco-Africa Climbing, orang dengan akrofobia umumnya baru merasakan efek ketakutan saat berada di tepian bangunan atau ketinggian. Selama tetap melihat dataran di sekitar yang luas, pengidap fobia ini seharusnya masih dapat mengatasinya.
Apalagi, kebanyakan jalur pegunungan itu memang menggunakan medan yang lebih sesuai untuk pendaki umum, ketimbang jalur profesional yang lebih rumit. Jika mendaki gunung bersama rekan, tak hanya orang dengan akrofobia itu dapat merasa lebih aman, tetapi juga memperoleh perlindungan ekstra jika mengalami kondisi yang membahayakan. Untuk itu, penting bagi seseorang dengan akrofobia jika ingin mendaki gunung untuk mengetahui berapa tingkat fobia pada diri sendiri, kesiapan fisik dan mental sebelum mendaki, menentukan jalur pendakian yang aman, sampai membawa rekan dalam perjalanan.
3. Beberapa cara mengatasi akrofobia

Sebenarnya, ketakutan manusia pada ketinggian atau akrofobia itu ada kaitannya dengan mekanisme pertahanan diri secara naluriah. UK Climbing melansir, ketakutan manusia terhadap ketinggian termasuk hal yang wajar dan bahkan jadi salah satu penyebab kita bisa bertahan hidup. Sebab, dengan adanya rasa takut dengan ketinggian, manusia dapat memitigasi risiko atau bahaya yang mungkin terjadi jika berada di tempat yang sangat tinggi.
Ada satu bagian penting di otak kita yang memberikan sensasi rasa takut pada ketinggian pada manusia pada umumnya, yakni amigdala. Bagian otak ini berbentuk seperti kacang almond yang terletak pada sistem limbik dan punya fungsi memproses emosi (khususnya rasa takut), membentuk memori, serta pembelajaran. Semua orang memiliki rasa takut pada ketinggian pada kadar tertentu berkat amigdala, tetapi orang dengan akrofobia jauh jauh lebih sensitif pada masalah tersebut.
Artinya, untuk mengatasi fobia ini, perlu terapi yang berkaitan dengan mengontrol rasa takut, panik, dan emosi berlebih yang dihasilkan dari bagian otak tersebut. Dilansir Verywell Health, salah satu terapi yang sering dilakukan adalah cognitive-behavioral therapy atau CBT. Terapi ini akan dijalani oleh seseorang dengan akrofobia lewat memberikan simulasi situasi yang sama pada fobia yang dimiliki secara bertahap dan terukur. Dalam proses CBT, pengidap akrofobia akan diajarkan untuk mengontrol reaksi panik dan memperoleh kembali kontrol emosi ketika menghadapi situasi yang memicu fobia.
Terapi lain yang umum dicoba adalah exposure therapy. Terapi yang satu ini dilakukan dengan cara yang mirip seperti CBT, yakni pemberian simulasi pada fobia yang dimiliki seseorang secara terukur. Bedanya, simulasi yang diberikan ini akan terus diulang-ulang sampai pengidap fobia (dalam kasus ini akrofobia) mengalami penurunan rasa cemas terhadap hal yang sama.
Ketika akrofobia sudah menimbulkan komplikasi medis, biasanya pasien akan diberikan obat tertentu untuk mengatasi rasa takut dan kecemasan berlebih. Selain itu, dokter atau ahli terapi juga akan menyarankan untuk rutin melakukan relaksasi dan meditasi supaya pikiran jauh lebih rileks, baik saat menghadapi fobia ataupun pada kondisi normal.
Pada akhirnya, orang yang mengidap fobia pada ketinggian alias akrofobia itu masih bisa mendaki gunung. Hanya saja, perlu persiapan dan penilaian lebih dari diri orang tersebut sebelum, saat, dan setelah mendaki gunung. Jangan sampai demi menyalurkan hobi, kita memaksakan diri secara berlebihan hingga membahayakan tubuh. Kalau tetap berminat, selalu ingat untuk mengonsultasikan kondisi akrofobia dengan ahlinya sebelum merencanakan pendakian gunung, ya!
Referensi
"Acrophobia (Fear of Heights)". Cleveland Clinic. Diakses Agustus 2025.
"Can I Climb Kilimanjaro Africa If I Have a Fear of Heights". Eco-Africa Climbing. Diakses Agustus 2025.
"How to Overcome Your Fear of Heights". UK Climbing. Diakses Agustus 2025.
"Acrophobia: The Fear of Heights". Verywell Health. Diakses Agustus 2025.