Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
BYD Sealion 7, SUV premium yang jadi pelengkap line up BYD Indonesia. (IDN Times/Dheri Agriesta).
BYD Sealion 7, SUV premium yang jadi pelengkap line up BYD Indonesia. (IDN Times/Dheri Agriesta).

Intinya sih...

  • Harga EV masih mahal, ekonomi makro belum pulih

  • Insentif bukan solusi permanen

  • Tumpang tindih regulasi investasi

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka bakal genap berusia setahun pada 20 Oktober 2025. Berbagai program telah digulirkan, seperti Program Makan Bergizi Gratis, Program Cek Kesehatan Gratis (CKG), Koperasi Desa Merah Putih, hingga Program Sekolah Rakyat. Selain itu, Prabowo-Gibran juga melanjutkan program untuk mempercepat penetrasi kendaraan listrik di tanah air.

Pemerintah, misalnya, telah memperpanjang insentif pajak untuk mobil listrik dan hybrid. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 12 Tahun 2025, yang mulai berlaku sejak 4 Februari 2025. Dengan aturan ini, mobil listrik dengan Tingkat Komponen Produk Dalam Negeri (TKPDN) 40 persen mendapat insentif sebesar 10 persen dari harga jual dan mobil hybrid mendapat insentif insentif PPnBM sebesar 3 persen dari harga jual.

Untuk mendukung program insentif kendaraan listrik tersebut, Prabowo-Gibran telah menyiapkan dana sebesar Rp 6,16 triliun. Semua demi mencapai target 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta unit motor listrik di Indonesia pada 2030 mendatang. Sayangnya, target tersebut masih jauh dari kenyataan. Sebab, menurut Kementerian Perindustrian, populasi kendaraan listrik (KBLBB) per Juni 2025 baru 274.802 unit. Dari angka itu, mobil listrik hanya berkontribusi sekitar 77.277 unit.

"Serapan terasa masih sangat jauh di bawah angka target per tahun untuk mencapai angka impian itu. Untuk mencapainya berarti harus bisa gabungan APM EV jual 76 ribu BEV dan lebih dari 300 ribu sepeda motor listrik setiap tahunnya mulai 2026 hingga 2030," kata Pakar Otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, melalui pesan tertulis kepada IDN Times, Jumat (17/10/2025).

Apa saja kendala yang harus segera diselesaikan Prabowo-Gibran untuk meningkatkan populasi mobil dan motor listrik di tanah air?

1. Harga EV masih terbilang mahal

Dapat menampung 5 unit mobil (Wuling)

Yannes Martinus mengatakan ada beberapa faktor yang membuat pasar kendaraan listrik di Indonesia belum sepenuhnya bergairah. Salah satu faktornya adalah harga mobil listrik yang masih terbilang mahal, melampaui daya beli segmen pasar terbesar di Indonesia.

Saat ini, menurut Yannes, pangsa terbesar mobil di Indonesia berada di bawah Rp300 jutaan. Tak banyak pilihan mobil listrik yang dibanderol dengan harga segitu, di antaranya ada Wuling Air ev, BYD Atto 1, dan Vinfast VF3. Semuanya mobil-mobil imut dengan jarak tempuh dan fitur yang terbatas. Namun, daya beli konsumen di kelas ini justru sedang melemah, mereka terimbas kondisi ekonomi makro yang sedang tidak baik-baik saja.

"Jadi harga murah EV yang terjadi kemarin lebih efektif untuk menarik pelanggan yang jadi pelanggan mobil di atas range LCGC, tetapi sulit sekali menarik perhatian konsumen middle income class, segmen buyers terbesar LCGC yang sedang rontok daya belinya," kata Yannes Martinus.

Karena itu, untuk meningkatkan penetrasi mobil listrik, pemerintahan Prabowo-Gibran perlu mencari cara agar gap harga antara mobil listrik dengan mobil berbahan bakar fosil (ICE) tidak terlalu jauh. Beberapa cara yang bisa ditempuh antara lain dengan meminta produsen mobil listrik memproduksi mobil mereka di tanah air. Selain bisa memangkas harga, memproduksi mobil di tanah air juga bisa menyerap tenaga kerja lokal.

2. Insentif bukan solusi permanen

ilustrasi berada di showroom mobil (pexels.com/Antoni Shkraba)

Pemerintah, sejak era Presiden Jokowi hingga Prabowo, telah memberikan insentif untuk mendongkrak penjualan kendaraan listrik. Namun kebijakan ini dinilai kurang pas. Sebab, insentif hanya dinikmati oleh masyarakat yang berada di kelas menengah-atas yang sebenarnya telah stabil secara ekonomi. Itu sebabnya, kebanyakan pembeli mobil listrik sebenarnya sudah memiliki mobil berbahan bakar bensin (ICE) di rumahnya.

"Subsidi yang ada lebih pada memberikan kenikmatan pada segmen konsumen EV yang sama dari kelas menengah-atas yang sebetulnya sudah memiliki kemampuan finansial lebih settle," kata Yannes Martinus.

Ia menilai insentif kepanjangan justru bisa menciptakan distorsi pasar yang tidak sehat. Sebab, insentif akan membuat produsen enggan berinovasi menurunkan harga produksi, seperti dengan membangun pabrik di dalam negeri yang bisa menurunkan harga jual kendaraan listrik.

"Karena, toh, penjualannya sudah keenakan dibantu oleh diskon dari pemerintah," katanya.

3. Tumpang tindih regulasi investasi

ilustrasi diskusi mengenai regulasi baru (usnplash.com/Headway)

Masalah lain yang bisa menghambat penetrasi kendaraan listrik di Indonesia adalah rumitnya regulasi investasi. Padahal, proses perizinan investasi harus disederhanakan dan dibuat transparan agar memudahkan investor. Selain itu, kebijakan investasi juga harus konsisten dari waktu ke waktu agar investor mendapatkan jaminan kepastian.

"Harus ada roadmap industri EV nasional yang tranparan, jelas dan konsisten berbasis waktu. Ini harus mencakup target TKDN, fase insentif yang transparan dan terukur dalam bahasa yang jelas, dan standar emisi yang tidak akan berubah setiap kali ada pergantian menteri. Konsistensi kebijakan adalah segalanya," kata Yannes.

Pemerintah juga harus menjamin kemudahan berinvestasi dengan mencoret semua kerumitan dan birokrasi yang tidak perlu. Sebab, dengan birokrasi yang mudah dan transparan, cost untuk berinvestasi juga bisa dipangkas. Dengan begitu, harga jual kendaraan listrik pun bisa ditekan.

"Buang kerumitan, karena di balik kerumitan biasanya ada sesuatunya yang terkait high cost economy," katanya.

4. Infrastruktur masih jadi masalah utama

ilustrasi mobil listrik (pexels.com/Philippe WEICKMANN)

Masalah lain yang harus segera diatasi pemerintah adalah masih minimnya Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Hingga Juli 2025, jumlah SPKLU di Indonesia tercatat sebanyak 4.186 unit yang tersebar di sekitar 2.789 lokasi. Namun, distribusinya belum merata karena sebagian besar berada di Pulau Jawa, terutama di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Pada saat yang sama, ada 274.802 unit. di Indonesia Artinya, satu SPKLU saat ini harus melayani sekitar 66 kendaraan listrik.

Padahal, ketersediaan SPKLU yang memadai menjadi salah satu faktor penting untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk beralih dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik. Tanpa jaringan pengisian yang luas, masyarakat akan tetap ragu karena khawatir kehabisan daya di tengah perjalanan.

Karena itu, sangat penting bagi pemerintah memperbanyak jumlah SPKLU dan memperluas jangkauannya hingga ke daerah-daerah terpencil. Untuk itu, pemerintah bisa menggandeng PLN, Pertamina, dan pengembang properti agar pembangunan SPKLU dapat berjalan lebih cepat. Pemberian insentif fiskal maupun kemudahan perizinan bisa menjadi langkah strategis untuk menarik investasi di sektor ini.

5. Pembelian kendaraan listrik belum sepenuhnya didukung leasing

ilustrasi kredit mobil (freepik.com/xb100)

Hambatan lainnya adalah pembiayaan kredit yang belum sepenuhnya mendukung pembelian kendaraan listrik. Keterbatasan dukungan dari lembaga keuangan ini berdampak langsung pada kecepatan transisi menuju ekosistem transportasi rendah emisi. Sebab, banyak masyarakat yang tertarik membeli kendaraan listrik namun terkendala akses pembiayaan yang terjangkau.

Selain itu, nilai residual kendaraan listrik yang belum stabil membuat bank dan leasing sulit menilai risiko kredit dengan tepat. Padahal, jika pembiayaan dibuat lebih fleksibel dan kompetitif, penjualan kendaraan listrik bisa meningkat signifikan, mendukung target pemerintah untuk menghadirkan 500 ribu mobil listrik dan 2 juta motor listrik dalam beberapa tahun mendatang.

Karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk mengatasi masalah ini, misalnya dengan memberikan insentif atau jaminan kredit kepada lembaga pembiayaan yang mendukung penjualan kendaraan listrik. Selain itu, pemerintah dapat mendorong kerja sama antara produsen kendaraan listrik dan lembaga keuangan untuk menghadirkan program pembiayaan berbunga rendah.

"Banyak leasing masih ragu atau memberikan syarat sangat ketat untuk kredit mobil listrik bekas karena risikonya yang tinggi, ini menghambat terbentuknya pasar sekunder yang sehat," kata Yannes Martinus.

Editorial Team