Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Setahun Prabowo-Gibran: Ini Penilaian Pengamat Soal Penetrasi EV

Ilustrasi pabrik mobil (freepik.com/usertrmk)
Ilustrasi pabrik mobil (freepik.com/usertrmk)

Jakarta, IDN Times - Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka resmi menjadi Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Indonesia pada 20 Oktober 2024. Artinya, pemerintahan Subianto-Gibran kini genap berusia satu tahun. Sejumlah gebrakan pun telah dilakukan Prabowo-Gibran dalam setahun terakhir, termasuk di dunia otomotif.

Untuk meningkatkan penetrasi kendaraan listrik di tanah air, Prabowo-Gibran misalnya langsung memperpanjang kebijakan insentif untuk kendaraan listrik yang sebelumnya berlaku di masa pemerintahan Jokowi. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 12 Tahun 2025.

Peraturan ini mulai berlaku sejak 4 Februari 2025. Dengan aturan ini, mobil listrik dengan Tingkat Komponen Produk Dalam Negeri (TKPDN) 40 persen mendapat insentif sebesar 10 persen dari harga jual dan mobil hybrid mendapat insentif insentif PPnBM sebesar 3 persen dari harga jual. Prabowo-Gibran menyiapkan dana sebesar Rp 6,16 triliun untuk menyukseskan program insentif tersebut.

Selain memperpanjang insentif untuk kendaraan listrik, Prabowo juga mendorong produsen kendaraan listrik berivenstasi di tanah air. Kebijakan ini merupakan salah satu strategi pemerintah untuk mencapai target 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta unit motor listrik di Indonesia pada 2030 mendatang.

"Presiden Prabowo mengakselerasi dan memperketat arah fundamental yang diletakkan Jokowi. Arah kebijakannya jadi lebih tegas. Jika sebelumnya fokusnya menarik minat konsumen dengan insentif, kini penekanannya memaksa komitmen inestasi dan produksi lokal semua pemain yang ambil paket insentif impor," kata Pakar Otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu, saat dihubungi IDN Times, Jumat (17/10/2025).

1. Fokus membangun fondasi industri

ilustrasi pabrik mobil. (unsplash.com/Hyundai Motor Group)
ilustrasi pabrik mobil. (unsplash.com/Hyundai Motor Group)

Yannes Martinus menilai pemerintah kini harus lebih fokus mendorong pabrikan kendaraan listrik membangun pabrik mereka di Indonesia, bukan lagi sekadar memberikan insentif. Sebab, dengan membangun pabrik, ongkos produksi bisa ditekan yang akhirnya harga jual kendaraan listrik bisa menjadi lebih terjangkau.

Pemerintah sendiri saat ini telah memberikan batas waktu insentif PPN DTP (Ditanggung Pemerintah) dan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) hingga 31 Desember 2025. Sampai saat ini, pemerintah masih membahas apakah kebijakan insentif untuk kendaraan listrik yang akan berakhir pada 31 Desember 2025 akan kembali diperpanjang.

"Dan 2026 semua pemain terkait harus sudah beroperasi sesuai komitmen TKDN minimal 40 persen ya. Fokus pemerintah terlihat bergeser cepat dari sekadar meramaikan jalanan dengan mobil EV baru menjadi membangun pondasi industri dari hulu ke hilir secara nyata dan terukur dengan reward dan punishment ketat," kata Yannes.

2. Kebijakan insentif belum cukup untuk dongkrak penjualan EV

Mobil listrik yang terhubung ke meteran parkir. (unsplash.com/@haberdoedas)
Mobil listrik yang terhubung ke meteran parkir. (unsplash.com/@haberdoedas)

Yannes juga menilai kebijakan insentif untuk kendaraan EV belum cukup untuk mendongkrak penjualan EV di tanah air. Sebab, selain situasi ekonomi makro yang sedang tidak pasti, insentif kendaraan listrik hanya dinikmati oleh kelas menengah-atas yang menjadikan mobil EV sebagai kendaraan kedua atau ketiga.

Ia mengatakan, mobil yang paling laris di Indonesia adalah mobil yang dibanderol dengan harga kurang dari Rp300 juta. Di rentang harga ini, ada mobil-mobi LCGC yang laris manis di pasaran. Namun untuk mobil listrik, sedikit sekali yang harganya kurang dari Rp300 juta. Dengan harga kurang dari Rp300 juta, pilihannya mobil listrik yang tersedia antara lain Wuling Air ev, Vinfast VF3, dan BYD ATTO 1.

"Kebijakan insentif PPN, bea masuk, dan sebagainya terbukti berhasil sebagai pemicu awal, tapi tampaknya tidak cukup untuk mendongkrak penjualan hingga menembus pasar massal. Karena pasar terbesar mobil Indonesia berada di harga di bawah Rp300 jutaan, baru di fase Agustus muncul EV-EV yang harganya hampir setara LCGC ICE, yang kebanyakan pembelinya adalah first time car buyers dengan middle income di mana segmen ini justru sedang susut signifikan daya belinya," kata Yannes.

3. Perlunya roadmap industri EV nasional yang transparan

ilustrasi mobil listrik (unsplash.com/Hyundai Motor Group)
ilustrasi mobil listrik (unsplash.com/Hyundai Motor Group)

Yannes juga menambahkan pemerintah perlu menarik investor asing untuk berinvestasi di industri EV tanah air. Untuk itu, perizinan berinvestasi perlu dipermudah dan dibuat transparan. Kebijakan yang diambil pemerintah juga harus konsisten, tidak berubah-ubah seiring berubahnya pemerintahan.

Dia juga menjelaskan, harus ada badan yang bisa memangkas semua perizinan lintas kementerian, mulai dari izin industri, impor mesin, ketenagakerjaan hingga pertanahan secara terpadu dan cepat. Selain itu, Yannes menambahkan, harus ada roadmap industri EV nasional yang jelas, dan konsisten berbasis waktu.

"Buang kerumitan, karena di balik kerumitan biasanya ada sesuatu yang terkait high cost economy. Kemudian, harus mempersiapkan investasi SDM lokal yang cerdas dan siap pakai untuk bekerja dengan sistem industry 4.0 yang canggih, melalui kerja sama dengan perguruan-perguruan teknik terkemuka di negeri kita," ujar dia.

4. Perlu adanya transfer teknologi inti

Ilustrasi pabrik mobil. (unsplash.com/carlos aranda)
Ilustrasi pabrik mobil. (unsplash.com/carlos aranda)

Yannes juga meminta pemerintah yang akan genap berusia satu tahun pada 20 Oktober nanti untuk mulai membuka peluang bagi pengusaha lokal juga dapat masuk sebagai vendor rantai pasok komponen APM. Selain itu, SDM lokal juga perlu ditingkatkan karena Indonesia masih sangat kekurangan teknisi bersertifikat dan kompeten untuk perawatan EV yang membutuhkan keahlian khusus yang kualifikasinya di atas kendaraan ICE.

Pemerintah juga dinilai perlu mendorong pabrikan untuk melakukan transfer teknologi inti, bukan hanya sekadar merakit kendaraan di dalam negeri. Transfer teknologi ini penting agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga bagian dari rantai pasok global kendaraan listrik. Dengan penguasaan teknologi, mulai dari sistem baterai, motor listrik, hingga perangkat lunak pengendali, industri otomotif nasional berpotensi tumbuh secara mandiri.

"Jangan seperti yang sudah-sudah, APM merakit mobil di sini dengan memboyong semua industri parts dengan teknologi inti yang mereka kunci dan tidak pernah diberikan pada bangsa kita, sehingga tidak pernah terjadi transfer teknologi inti,, tidak terjadi peningkatan kecerdasan kita dalam teknologi inti kendaraan," katanya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Agustiar
EditorDwi Agustiar
Follow Us

Latest in Automotive

See More

Start-Stop Engine Beneran Bikin Irit atau Sekadar Gimmick?

18 Okt 2025, 09:05 WIBAutomotive