Apakah Sopir Ambulans Memerlukan SIM Khusus? Ini Penjelasannya

- Sopir ambulans wajib punya SIM A atau SIM B1 sesuai jenis kendaraan yang digunakan
- Tidak cukup hanya punya SIM, harus ikut pelatihan khusus seperti mengemudi defensif dan pertolongan pertama
- Tanggung jawab dan etika sopir ambulans sangat penting, termasuk menjaga keselamatan pasien dan petugas medis di dalam kendaraan
Dalam situasi darurat, ambulans menjadi kendaraan yang sangat vital. Sopir ambulans dituntut untuk mengemudi dengan cepat namun tetap aman demi menyelamatkan nyawa pasien. Mereka seringkali harus menerobos kemacetan, melawan arah, atau melanggar lampu merah dengan pengawalan khusus. Namun, di balik tanggung jawab besar itu, muncul pertanyaan penting: apakah mereka memerlukan Surat Izin Mengemudi (SIM) khusus?
Pertanyaan ini sering muncul di masyarakat karena peran sopir ambulans dianggap lebih berat dibanding pengemudi biasa. Mereka bukan hanya mengangkut penumpang, tetapi juga memikul tanggung jawab atas kondisi pasien di dalam mobil. Maka wajar jika publik mempertanyakan apakah regulasi di Indonesia telah mengatur secara khusus terkait kualifikasi sopir ambulans.
1. Sopir ambulans wajib punya SIM A atau SIM B1

Secara umum, sopir ambulans wajib memiliki SIM A, sesuai dengan jenis kendaraan yang digunakan. Jika ambulans berbasis kendaraan penumpang biasa (seperti Toyota Hiace, Grand Max, atau APV), maka SIM A sudah mencukupi. Namun jika ambulans berbasis kendaraan besar atau memiliki berat lebih dari 3.500 kg, maka sopir wajib memiliki SIM B1, yang diperuntukkan bagi kendaraan berat non-penumpang.
Hal ini sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penerbitan dan Penandaan SIM, yang mengatur klasifikasi SIM berdasarkan jenis kendaraan. Tidak ada SIM “khusus ambulans” secara spesifik, namun tetap ada klasifikasi SIM yang disesuaikan dengan jenis dan berat kendaraan yang dikemudikan.
2. Tidak cukup hanya punya SIM, harus ikut pelatihan khusus

Meskipun memiliki SIM A atau B1, bukan berarti semua orang langsung layak menjadi sopir ambulans. Banyak rumah sakit dan lembaga penyedia ambulans mewajibkan sopirnya untuk mengikuti pelatihan khusus, seperti pelatihan mengemudi defensif dan tanggap darurat, agar sopir mampu bermanuver cepat tapi aman, pelatihan pertolongan pertama, agar sopir bisa membantu tim medis dalam keadaan darurat, serta simulasi rute dan koordinasi dengan petugas lalu lintas, agar tahu cara meminta pengawalan atau berkoordinasi saat menghadapi kemacetan. Pelatihan ini biasanya diberikan oleh instansi seperti Dinas Kesehatan, PMI, atau lembaga pelatihan sertifikasi profesional.
3. Tanggung jawab dan etika sopir ambulans

Menjadi sopir ambulans bukan hanya soal mengemudi cepat. Mereka dituntut punya empati, kedisiplinan tinggi, serta kemampuan mengambil keputusan cepat dalam situasi mendesak. Mereka juga harus mampu menjaga keselamatan pasien, keluarga pasien, dan petugas medis yang ikut di dalam kendaraan.
Selain itu, sopir ambulans tidak boleh menyalahgunakan status kendaraan darurat untuk kepentingan pribadi, seperti menerobos jalan tanpa membawa pasien. Hal ini bisa dikenakan sanksi hukum dan mencoreng kepercayaan masyarakat terhadap layanan gawat darurat.
Jadi, sopir ambulans tidak memerlukan SIM “khusus”, tapi harus punya SIM yang sesuai jenis kendaraan—dan dibekali pelatihan tambahan. Perannya sangat krusial, bukan hanya sebagai pengemudi, tapi juga sebagai bagian dari tim penyelamat. Maka, pelatihan teknis dan mental sama pentingnya dengan kepemilikan SIM dalam profesi ini.