Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kota-kota Ini Menerapkan Electronic Road Pricing, Jakarta Menyusul?

ilustrasi kemacetan (pexels.com/Stan)
Intinya sih...
  • ERP adalah sistem jalan berbayar otomatis yang mengenakan tarif kepada kendaraan untuk mengurangi kemacetan pada jam sibuk di Jakarta.
  • Singapura, London, Stockholm, dan Milan telah menerapkan ERP dengan hasil yang efektif dalam mengurai kemacetan dan menurunkan volume kendaraan.
  • Tarif ERP bervariasi tergantung lokasi dan jam sibuk, menggunakan teknologi sensor dan kamera otomatis tanpa transaksi manual seperti di tol.

Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, mengatakan pihaknya akan menerapkan Electronic Road Pricing (ERP) begitu semua prasarananya telah dirampungkan. ERP adalah sistem jalan berbayar otomatis yang mengenakan tarif kepada kendaraan yang melewati area tertentu untuk mengurangi kemacetan, terutama pada jam sibuk.

Beberapa kota di dunia telah lama menerapkan ERP. Hasilnya, kebijakan ini cukup berhasil mengurai kemacetan. Sebab, dibandingkan sistem jalan tol konvensional, ERP lebih fleksibel karena menggunakan teknologi sensor dan kamera otomatis, tanpa palang atau transaksi manual seperti di tol.

Nah, berikut kota-kota atau negara yang telah menerapkan ERP.

1. Singapura: Pionir sistem ERP sejak 1998

ilustrasi lalu lintas (pexels.com/Lynde)
ilustrasi lalu lintas (pexels.com/Lynde)

Singapura adalah negara pertama di dunia yang menerapkan sistem ERP secara penuh dan modern. Diluncurkan pada tahun 1998, sistem ini menggantikan Area Licensing Scheme (ALS) yang berbasis manual. Di Singapura, kendaraan yang melewati gantry ERP secara otomatis dipotong tarifnya melalui kartu prabayar bernama CashCard yang terhubung ke perangkat dalam mobil.

Tarif ERP di Singapura bervariasi tergantung lokasi dan jam sibuk. Sebagai contoh, melintasi pusat kota Orchard Road atau Central Business District (CBD) pada jam padat bisa dikenakan biaya antara SGD 0.50 hingga SGD 3.00  (sekitar Rp6.000 hingga Rp36.000) sekali lewat. Tarif berubah secara dinamis setiap tiga bulan berdasarkan data kemacetan.

Kebijakan ERP terbukti sangat efektif. Setelah diterapkan, volume kendaraan yang masuk ke pusat kota turun drastis, dan waktu tempuh perjalanan menjadi lebih stabil. Masyarakat pun lebih terdorong menggunakan transportasi umum seperti MRT atau bus.

2. London: Congestion Charge berbasis teknologi kamera

ilustrasi lalu lintas (pexels.com/Oltion Bregu)
ilustrasi lalu lintas (pexels.com/Oltion Bregu)

Meskipun secara teknis berbeda dari ERP Singapura, London memiliki sistem sejenis bernama  Congestion Charge, yang berlaku sejak 2003. Wilayah pusat kota London dikenai tarif harian sebesar 15 poundsterling (sekitar Rp300.000) untuk kendaraan yang masuk antara pukul 7 pagi hingga 6 sore pada hari kerja.

Pengawasan dilakukan lewat kamera otomatis yang membaca nomor kendaraan, dan pengemudi wajib membayar secara daring. Jika tidak membayar tepat waktu, denda bisa mencapai 160 poundsterling (sekitar Rp3 juta). London juga menerapkan sistem tambahan seperti Ultra Low Emission Zone (ULEZ) untuk kendaraan dengan emisi tinggi.

Hasilnya, jumlah kendaraan yang masuk ke pusat kota London menurun sekitar 30% dalam beberapa tahun pertama, dan kualitas udara membaik. Namun, seiring berjalannya waktu, efek pengurangan kemacetan cenderung stagnan karena meningkatnya jumlah kendaraan pribadi dan layanan ride-sharing seperti Uber.

3. Stockholm: Sistem congestion tax berbasis jam sibuk

ilustrasi lalu lintas (pexels.com/Aleks Magnusson)
ilustrasi lalu lintas (pexels.com/Aleks Magnusson)

Swedia menerapkan Stockholm Congestion Tax sejak 2006, yang berlaku pada jam sibuk di kawasan pusat kota Stockholm. Sistem ini menggunakan teknologi kamera untuk mengenali pelat nomor kendaraan yang masuk dan keluar zona pusat kota. Tarif yang dikenakan bervariasi antara SEK 11 hingga SEK 35 per perjalanan (sekitar Rp16.000 hingga Rp50.000), tergantung jam dan hari.

Kendaraan dikenai biaya maksimal SEK 105 (sekitar Rp150.000) per hari. Tidak seperti Singapura yang menggunakan kartu prabayar, di Stockholm tagihan dikirim ke alamat pemilik kendaraan dan harus dibayar setiap bulan.

Efektivitasnya sangat terasa. Setelah sistem diterapkan, lalu lintas turun sekitar 20 persen, waktu tempuh membaik, dan polusi udara menurun signifikan. Stockholm bahkan sempat melakukan referendum dan mayoritas warga memilih untuk mempertahankan sistem ini secara permanen.

4. Milan dan kota lain di Eropa

ilustrasi kemacetan (pexels.com/Life Of Pix)

Milan, Italia, juga menerapkan sistem serupa bernama Area C, di mana kendaraan harus membayar 5 Euro (sekitar Rp90.000) per hari untuk masuk ke pusat kota pada hari kerja. Sistem ini menyasar kendaraan pribadi dan mendorong penggunaan transportasi umum serta kendaraan rendah emisi. Beberapa kota besar di Jerman, Norwegia, dan Belanda juga tengah mengembangkan sistem jalan berbayar dengan pendekatan serupa.

So, sistem Electronic Road Pricing telah terbukti efektif mengurangi kemacetan di banyak kota besar dunia, terutama saat dikombinasikan dengan kebijakan transportasi publik yang kuat dan tarif yang disesuaikan secara dinamis.

Singapura, London, Stockholm, dan Milan adalah contoh kota yang berhasil menurunkan volume lalu lintas serta meningkatkan kualitas udara. Meskipun tidak selalu permanen dampaknya tanpa dukungan kebijakan lain, ERP menjadi instrumen penting untuk mengatur mobilitas perkotaan yang semakin padat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Agustiar
EditorDwi Agustiar
Follow Us