Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Reportase Lintas Sumatra: Kejamnya Kelok 44, Indahnya Danau Maninjau

Dua mobil Mazda yang digunakan Tim Jalan Pulang IDN Times di tepi Danau Maninjau, Bukittinggi (IDN TimesTimes/Dwi Agustiar)

Pekanbaru, IDN Times - Tim Jalan Pulang menyambangi Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka di tepi Danau Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatra Barat pada Selasa (27/2/2024). Kunjungan itu jadi bagian perjalanan Tim Jalan Pulang menyusuri rute Padang menuju Bukittinggi.

Kami bertolak dari Kota Padang menuju Bukittinggi pada Selasa pagi sekitar pukul 09.00 WIB. Cuaca cerah dengan terik sinar matahari mengiringi perjalanan kami menuju Bukittinggi saat itu.

Perjalanan menuju Bukittinggi ini bisa dibilang perjalanan paling menyenangkan dalam lima hari terakhir, sebab pemandangan di kiri dan kanan jalan sangat indah. Perbukitan hijau yang membentang, hamparan sawah yang menguning menjelang panen, serta ngarai yang indah di sepanjang jalan sungguh memanjakan mata.

Kami bahkan menyaksikan betapa indahnya Air Terjun Lembah Anai yang berlokasi di tepi Jalan Raya Padang-Bukittinggi, tepatnya di Kabupaten Tanah Datar di kaki Gunung Singgalang.

Air terjun setinggi 35 meter itu menjadi salah satu spot wisata air favorit di Sumatra Barat dan itu terbukti dari banyaknya masyarakat yang berfoto di sana ketika Tim Jalan Pulang datang melewatinya.

Selain menawarkan pemandangan hamparan alam yang indah, perjalanan menuju Bukittinggi juga terasa menyenangkan karena kondisi jalan yang relatif mulus. Tidak banyak lubang yang kami temui sepanjang rute Padang-Bukittinggi.

Meski begitu, perjalanan menuju Bukittinggi memberikan kami pengalaman seru ketika harus melewati rute ekstrem Kelok 44 atau Kelok Ampek Puluh Ampek di Kabupaten Agam menuju Danau Maninjau.

1. Sensasi melintasi rute ekstrem Kelok 44

IDN Times/Dwi Agustiar

Perjalanan menyusuri ranah Minang memang diwarnai sejumlah rute ekstrem. Setelah Sitinjau Lauik, Tim Jalan Pulang mesti menghadapi rute ekstrem lainnya yang ada di Kelok 44.

Kelok 44 sendiri merupakan jalur ekstrem yang legendaris di Indonesia. Jalur ini bahkan sudah terkenal di kalangan para pesepeda karena kerap digunakan untuk ajang balap sepeda internasional.

Kelok 44 memiliki dua jalur dengan kondisi jalan cukup mulus yang tidak terlalu lebar sehingga pengemudi mesti ekstra sabar ketika melintasinya. Selain itu, mesin kuat dan rem pakem jadi satu hal wajib bagi setiap kendaraan yang ingin melintasi Kelok 44.

Untungnya Tim Jalan Pulang mengendarai Mazda CX-60 yang telah terbukti mampu menaklukkan rute ekstrem seperti Sitinjau Lauik. Gak heran jika kemudian Kelok 44 jadi tantangan lain untuk ditaklukkan Tim Jalan Pulang.

Seperti di Sitinjau Lauik, Mazda CX-60 dengan mesin 3.300 cc yang bisa menyemburkan torsi hingga 450 Nm dapat dengan mudah melibas 44 belokan curam nan tajam di rute tersebut.

Meski ekstrem, Kelok 44 menawarkan pemandangan Danau Maninjau yang luar biasa indah dipandang mata. Hal itu jadi motivasi tersendiri bagi Tim Jalan Pulang ketika meliuk-liuk di Kelok 44.

Hanya saja, kalau bisa jangan lewat jalur ini pada malam hari. Sebab selain sepi, minim penerangan, dan jalurnya sempit, beberapa titik di jalan ini sepertinya juga rawan longsor. Apalagi ada jurang di sisi kiri atau kanan jalan.

2. Pemandangan indah Danau Maninjau

IDN Times/Dwi Agustiar

Sebagai informasi, Danau Maninjau merupakan danau vulkanik yang berada di ketinggian 461,50 meter di atas permukaan laut. Danau ini terbentuk akibat letusan gunung api dan danau ini memang sudah terkenal dari dulu dengan keindahannya.

Danau Maninjau sendiri menjadi tempat budidaya ikan dengan Keramba Jaring Apung (KJA). Oleh karena itu, lokasinya sangat ideal untuk memancing karena sebagian besar penguhuni Danau Maninjau adalah ikan nila dan ikan mas. Tak jarang Tim Jalan Pulang melihat ada warga yang memancing di sana.

Suhu di Danau Maninjau sangat sejuk dan udaranya terasa segar sekali. Duduk menatap sinar matahari sore yang keemasan jatuh ke permukaan danau sambil menikmati secangkir kopi menjadi penyegar bagi pikiran dan hati kami yang lelah setelah menempuh perjalanan berhari-hari.

Selain itu, ada pula tempat bersejarah yang bisa kamu kunjungi ketika tengah berada di Danau Maninjau. Salah satu tempat bersejarah itu adalah Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka.

3. Menyusuri jejak perjuangan Buya Hamka di tanah kelahirannya

IDN Times/Dwi Agustiar

Buya Hamka adalah seorang ulama kharismatik, politisi, wartawan, sastrawan, dan pahlawan nasional yang lahir di sekitar Danau Maninjau atau tepatnya di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya Agam.

Buya Hamka yang punya nama asli Haji Abdul Malik Karim Amrullah lahir di sana pada 17 Februari 1908. Namun, Buya Hamka tidak banyak menghabiskan waktu di tanah kelahirannya karena harus merantau sejak usia 16 tahun.

Kami tiba di Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka menjelang Magrib, tepatnya pukul 17.00 WIB. Seorang pria langsung menghampiri dan menyapa kami dengan ramah. Saat itu sebenernya museum sudah akan tutup namun si bapak mempersilakan kami memasukinya.

"Sudah mau tutup tapi tidak apa-apa kalau mau masuk museum," kata bapak yang bernama Amir Syakib Hamka. Ternyata pria yang berusia 67 tahun tersebut adalah putra bungsu Buya Hamka. 

Menurut penuturannya, Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka dibangun 24 tahun silam atau tepatnya pada 2000 dan diresmikan setahun setelahnya. Uniknya, pembangunan museum untuk mengenang dan menghormati Buya Hamka justru diinisiasi oleh negara tetangga, Malaysia.

"Saat masa perang dengan Jepang, rumah Buya Hamka ini rata dengan tanah, hancur. Kemudian setelah masa kemerdekaan, ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) ingin membangun kembali rumah Buya Hamka di sini, di tanah aslinya. Setelah itu, jadilah Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka ini pada tahun 2000," kata Amir.

Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka dapat dilihat dengan jelas karena berdiri gagah berhadapan dengan Danau Maninjau. Museum ini nampak sederhana dengan desain rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang. Kayu menjadi material utama Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka.

Sebelum masuk ke dalamnya, kami diwajibkan melepas alas kaki dan menaiki beberapa anak tangga karena posisinya yang memang ada sedikit di atas jalan. Kami pun diminta mengisi buku tamu sebelum melihat isi dalam musuem.

Di bagian kanan museum, ada ruang tamu dengan 5 rak buku kaca tempat menyimpan buku-buku koleksi Buya Hamka yang terdiri dari 31 judul dari 137 karangan Buya Hamka.

Di sisi lain, di sebelah kiri pintu masuk museum terdapat spot foto yang dilengkapi dua kursi rotan dan foto-foto Buya Hamka. Tepat di sebelah kanannya, ada sebuah kamar tidur berisi tempat tidur, lemari kaca berisi pakaian kebesaran Buya Hamka, dan etalase penyimpanan baju serta syal milik Buya Hamka. Kamar tidur ini diberi keterangan milik orangtua Buya Hamka, yakni H. Abdul Karim dan sang istri.

Seperti kamar tidur yang digunakan masyarakat pada zaman dahulu, ranjang di dalamnya dihiasi kelambu berwarna putih, lengkap dengan sepasang bantal dan selimut. Di dalam kamar tidur juga terdapat pakaian berupa gamis dan batik yang kerap digunakan oleh Buya Hamka saat menghadiri acara-acara resmi.

Tidak ada biaya yang ditetapkan untuk memasuki Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka. Namun, kamu bisa berkontribusi melestarikan museum ini dengan memberikan donasi melalui kotak donasi yang ada di dalam museum atau membeli karya-karya Buya Hamka yang dijual di museum.

Tim Jalan Pulang pun memperoleh pengalaman luar biasa saat menginjakkan kaki di Danau Maninjau, tanah kelahiran Buya Hamka. Kami pun ingin kembali suatu saat nanti untuk mengeksplor Danau Maninjau lebih luas lagi.

Tim Jalan Pulang pun kemudian melanjutkan perjalanan menuju Bukittinggi pada pukul 18.00 WIB.

Program Jalan Pulang ke Ranah Minang 2024 ini dipersembahkan oleh Telkom Indonesia #ElevatingYourFuture

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Agustiar
EditorDwi Agustiar
Follow Us