Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Reportase Lintas Sumatra: Lubang dan Longsor Mengintai Sepanjang Jalan

IDN Times/Dwi Agustiar
IDN Times/Dwi Agustiar

Padang, IDN Times - Sinar mentari sedang terik-teriknya ketika Tim Jalan Pulang IDN Times memulai perjalanan hari keempat dari Dharmasraya menuju Kota Padang pada Minggu (25/2/2024). Perjalanan hari kedua dan ketiga dari Kota Palembang menuju Dharmasraya bisa kamu baca di sini.

Kami memulai perjalanan dari rumah makan Umega sekitar pukul 14.00 WIB. Rumah makan khas Minang ini cukup populer bagi para pelintas yang menuju Kota Padang dari Lubuk Linggau atau sebaliknya karena posisinya persis di antara kedua kota tersebut.

Menu di resto juga bervariasi, mulai dari rendang, ayam gulai, ayam bakar, gulai cingcang, hingga telur balado. Dan yang paling penting harganya cukup bersahabat. Sehingga kami menyempatkan mampir ke resto ini untuk makan siang sekaligus beristirahat sebelum beranjak lagi ke Kota Padang.

Jarak dari Dharmasraya menuju Kota Padang sekitar 200 kilometer dengan waktu tempuh 5-7 jam. Namun itu dengan asumsi perjalanan berjalan normal. Sebab perjalanan kami menuju Kota Padang ternyata penuh kejutan!

1. Jalan penuh lubang

IDN Times/Dwi Agustiar
IDN Times/Dwi Agustiar

Dari RM Umega kami langsung bertolak ke Padang melewati Jalan Lintas Sumatra. Kondisi jalan hingga ke Sawah Lunto tidak bisa dibilang mulus. Sebab banyak sekali lubang, baik besar maupun kecil, bertebaran di sepanjang jalan.

Lubang-lubang tersebut membuat kami harus menurunkan kecepatan berkali-kali sehingga perjalanan menjadi tersendat. Kondisi tersebut semakin diperparah oleh hujan yang turun cukup deras saat kami melintas di Desa Sungai Lansek dan Desa Batuang di Kabupaten Sijunjung.

Air hujan membuat lubang-lubang tersebut menjadi tergenang sehingga kami harus ekstra waspada agar tidak menghantam lubang tersebut. Untungnya Mazda CX60 yang kami bawa cukup lincah dan gesit.

Mobil ini, meski bodinya cukup bongsor, namun sangat lincah saat diajak bermanuver. Kami pun bisa bergerak sat-set menghindari lubang-lubang tersebut.

Selain lubang yang bertebaran di banyak ruas jalan, tantangan lain di jalur ini adalah banyaknya truk yang berseliweran di kiri dan kanan jalan. Truk-truk tersebut seringkali berjalan sangat lambat karena membawa beban berat. Pada saat yang sama jalanan cukup ramai, sehingga tidak mudah untuk menyalipnya.

Untungnya lagi, kami menggunakan Mazda CX-60. Mobil ini dibekali mesin 3.283 cc yang mampu menghasilkan tenaga hingga 280 hp dan torsi puncak 450 Nm. Tenaga tersebut disalurkan ke roda dengan sistem percepatan otomatis 8 percepatan. 

Dengan tenaga dan torsi sebesar itu, plus transmisi yang sangat pintar, sangat mudah bagi kami menyalip truk-truk di sepanjang jalan menuju Kota Padang. 

2. Ancaman longsor di Sawahlunto

IDN Times/Dwi Agustiar
IDN Times/Dwi Agustiar

Selain lubang dan truk, ancaman lain yang kami hadapi adalah tanah longsor, terutama setelah memasuki kawasan Sawahlunto. Daerah ini dikelilingi tiga kabupaten, yakni Tanah Datar, Solok, dan Sijunjung.

Ketiga kabupaten tersebut memiliki topografi layaknya kawasan Puncak di Jawa Barat yang berbukit dan penuh tebing. Ruas jalannya membentang di area perbukitan sehingga membuat kami harus menghadapi rute naik-turun dan berkelok-kelok cukup terjal.

Sehingga, selain kemampuan berkendara yang mumpuni, juga diperlukan mobil yang sehat dan bertenaga untuk melintas di jalur ini. Kamu juga harus bisa membaca situasi karena longsor bisa terjadi kapan saja, apalagi ketika hujan deras.  

Dengan kondisi jalan yang berlubang, rawan longsor serta hujan, kami pun melaju dengan sangat lambat sehingga baru tiba di Sawahlunto sekitar pukul 17.25 WIB. Cukup melelahkan pikiran dan tenaga.

Kami menepi sejenak ke Masjid Agung Nurul Islam. Masjid ini dibangun pada 1894. Saat itu bangunan masjid masih berfungsi sebagai pusat pembangkit listrik tenaga uap. Baru pada 1952 bangunan dengan desain yang sangat cantik ini beralih fungsi menjadi masjid.

Tak jauh dari masjid bersejarah tersebut berdiri Museum Kereta Api Sawah Lunto, lengkap dengan kereta api uap yang diparkir di depan museum. Sehingga tak terasa hampir satu jam kami beristirahat di Sawahlunto.

Udara yang segar, kota yang bersih, serta perbukitan hijau yang mengelilingi kota ini menjadikan kami betah berlama-lama singgah. Namun waktu terus berdetak dan kami harus kembali bergerak. 

3. Sensasi melintasi Sitinjau Lauik malam hari

IDN Times/Dwi Agustiar
IDN Times/Dwi Agustiar

Hari mulai malam ketika Mazda CX-60 kami kembali bergerak menuju Kota Padang. Sebenarnya sangat tidak ideal berkendara pada malam hari di jalan Lintas Sumatra. Sebab jalannya tidak mulus, banyak truk, dan motor sering kali berbelok tanpa menyalakan sein terlebih dahulu.

Selain itu kami juga harus melintasi Sitinjau Lauik, tanjakan ekstrem yang berada Jalur Solok menuju Padang, persisnya di Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang, Sumatra Barat. Tanjakan ini sempat viral di media sosial karena banyak bus, truk dan kendaraan pribadi kecelakaan karena gagal menanjak. 

Tanjakan Sitinjau Lauik memang sulit ditaklukkan. Pertama, karena tanjakannya cukup curam. Kedua, ada tikungan yang sangat tajam di ujung tanjakan. Ketiga, tanjakannya juga sangat panjang sehingga sering kali truk, bus, dan kendaraan pribadi kehabisan nafas di tengah tanjakan. 

Situasi menjadi semakin menegangkan karena saat kami tiba di tanjakan Sitinjau Lauik sudah pukul 22.00 WIB. Untungnya Mazda CX-60 dibekali mesin yang bisa memuntahkan torsi hingga 450 Nm sehingga tanjakan ekstrem di Sitinjau Lauik bisa kami lalui tanpa kendala berarti. 

Tim tiba di hotel sekitar pukul 22.45 WIB. Badan dan pikiran terasa begitu lelah namun perjalanan panjang masih menanti kami besok. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Agustiar
EditorDwi Agustiar
Follow Us